.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 20…

.

.

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 19 klik dibawah ini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 19…

Sambungan dari Bag 19…

Datuk itu terkejut mendengar pertanyaan perempuan yang menjual paniaram itu.

Ya… eh maaf. Tidak jadi…. berkata begini, dia lalu bergegas.

Aneh, hatinya jadi tak sedap. Dia teringat pada isterinya yang tinggal sendiri di rumah. Ada apa? Sebagai seorang guru silat, dan sebagai seorang pemeluk agama Islam yang mempercayai Tarikat, dia percaya pada isyarat isyarat batin.

Dia yakin, firasatnya tentang isterinya menunjukkan ada hal hal yang menyeramkan yang tengah menimpa isterinya. Dengan fikiran begini datuk itu berjalan cepat cepat menuju ke Kampung Silaiang, di mana rumahnya berada.
Makin lama hatinya makin tak sedap. Dan makin lama jalannya makin cepat. Makin cepat. Dan akhirnya dia berlari melompati petak petak sawah. Menempuh jalan memintas agar lebih cepat sampai ke rumahnya.

Orang orang yang tengah bekerja di sawah jadi terheran heran melihat lelaki itu berlarian seperti dikejar setan. Tak ada yang menduga, bahwa lelaki itu sebenarnya bukan sedang dikejar setan. Melainkan tengah mengejar setan yang sedang melaknati tubuh isterinya.
Dia seperti mendengar jerit anaknya. Jerit isterinya. Kambut yang dia bawa, yang berisi pisang, cabe dan minyak yang dia beli di pasar Sikolos tadi, tercampak entah dimana dalam larinya menuju rumah. Ketika atap rumah sudah kelihatan, dia terhenti.
Sayup sayup, dia mendengar suara tangis anaknya! Lelaki ini mengerahkan semua kepandaian yang pernah dia pelajari. Yaitu kepandaian meringankan tubuh ketika berlari. Makin dekat, makin kuat debar hatinya. Makin kencang aliran darahnya.

Dalam loncatan yang terakhir dia melihat anaknya tergolek di halaman, melihat gadis kecilnya yang berusia dua tahun duduk bersila di tanah. Berusaha mendiamkan adiknya yang tertelungkup dan menangis pilu. Gadis kecilnya itu juga menangis.

Dalam tangisnya, terdengar suara kanak kanaknya yang belum sempurna menyebut huruf, berusaha mendiamkan adiknya.

“Diamlah dik. Diamlah… sebentar lagi ayah pulang. Ayah akan memukul orang yang menyakiti ibu… diamlah diiik…!”

Dan saat itu Datuk Sipasan mengakhiri loncatannya di halaman tersebut. Selain anaknya, dia juga melihat ada kain panjang di halaman itu. Kain panjang! Seingatnya, kain itu milik Siti Nilam. Dan selain kain panjang, juga ada perian yang di sekitarnya terserak air.

Pastilah gadis itu baru dari tepian mengambil air seperti biasa. Dan air yang masih mengalir dari dalam perian itu, Datuk ini mengetahui, peristiwa itu baru saja terjadi. Pasti baru saja!

Perian itu mungkin belum sampai dua puluh bilangan jari terletak di sana. Kalau isterinya dan Siti Nilam dibawa lari orang, maka jaraknya pasti belum sampai lima puluh langkah dari rumahnya. Dia memandang keliling, tak ada yang mencurigakan. Hanya ada dua tubuh lelaki yang telah jadi mayat.

Dan tiba tiba telinganya yang tajam menangkap bunyi nafas memburu. Menangkap bunyi desah dan dengus nafas dari atas rumahnya!! Sekali loncat dia menerjang pintu rumah yang terletak di anak tangga keempat.

Dengan menimbulkan suara bergedubrak keras, pintu terpelanting ke dalam. Menghantam kepala lelaki yang tengah menciumi dada Siti Nilam! Kedua lelaki itu, yang tengah meremasi dada dan menciumi segenap tubuh kedua perempuan itu jadi terkejut separoh mati.
Sepintas, Datuk Sipasan melihat betapa tubuh isterinya dan tubuh Siti Nilam sudah tak berkain secabik pun. Sementara kedua lelaki itu hanya tinggal celana kotoknya saja!

“Setan…!” teriak Datuk Sipasan di tengah gigilan tubuhnya karena berang.

Lelaki yang tadi kepalanya kena hantam daun pintu yang berada di tubuh Nilam, tengah berusaha untuk tegak ketika tangan datuk itu bergerak menghantam kepalanya. Dia menangkis. Tapi tangannya ditangkap datuk itu.

Begitu tertangkap, begitu kukunya yang beracun dia tekankan sekuat tenaga. Kemudian dalam suatu sentakan tubuh lelaki itu dia putar dan dia hempaskan ke lantai. Tubuh lelaki itu berkelojotan sebentar, lalu dari mulutnya keluar buih hitam.

Tubuhnya berobah pula jadi hitam. Dan dia mati diserang bisa sipasan yang amat tangguh yang merupakan senjata simpanan datuk itu. Tetapi saat itu lelaki yang satu lagi, menghantam Datuk Sipasan. Tubuh Datuk ini tersijaja ke dinding terkena hantaman itu. Punggungnya terasa linu.

Dia berbalik segera, dan kini dia berhadapan dengan lelaki yang tadi menggumul tubuh isterinya! Lelaki itu kini memegang keris. Datuk Sipasan memajukan kaki kanan selangkah. Kemudian dia tegak dengan kuda kuda yang kukuh menghadapi lelaki itu.

“Kau yang bernama Datuk Sipasan yang dari Piaman?” tanya lelaki berkeris itu.

Datuk Sipasan tak menjawab. Amarahnya membuat dia menjadi muak dan benci separoh mati kepada lelaki yang hampir saja menodai isterinya itu. Hampir saja. Kalau dia terlambat datang barang semenit lagi, mungkin isterinya dan Siti Nilam telah dinodai kedua lelaki ini.

O, alangkah terkutuknya. Dan dan mengingat ini datuk tersebut membuka serangan. Dia mengirimkan tendangan dengan kaki kanan yang di depan. Tendangan ini tendangan pancingan dalam jurus rantai nan ampek. Yaitu jurus yang mengandalkan kombinasi empat tendangan.
Satu tendangan sapuan sambil menunduk rendah dengan kaki kiri berputar ke bawah menyapu kaki lawan, kemudian serangan kedua menghantam pangkal telinga lawan dengan punggung kaki sambil melompat, begitu kaki mencecah tanah, lalu berputar dan menghantam tumit ke pusar lawan.

Serangan terakhir adalah serangan meloncat, menghunjamkan kedua tumit ke tubuh lawan. Jika lawan tengah terbaring karena serangan terdahulu,

Bersambung ke Bag 21…

Catatan Redaksi: Foto ilustrasi cerbung ini adalah Lisda Hendrajoni (Ketua TP-PKK Pesisir Selatan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *