EkonomiPolitik

MENCERMATI BOLA PANAS KASUS BANK CENTURY DI TAHUN POLITIK 2018

.

.

=================

Critical Studies :
PERBANKAN JUGA HARUS BERDAYA SAING

Daya Saing (Competitiveness) telah menjadi idiom yang popular di era kompetisi global. Idiom ini merasuk ke semua sektor termasuk ke dalam bisnis perbankan di Indonesia. Lantas diantara perbankan yang ada (Bank BUMN, Bank BUMD/BPD, Bank Swasta, Bank Campuran Asing, Bank Asing) yang manakah yang telah memiliki Daya Saing ?

Daya Saing disini adalah bagaimana perbankan tersebut mampu merespon perubahan market dengan baik sehingga bisnis tetap suistanable dan semakin memiliki daya untuk melakukan penetrasi dan konglomerasi pasar serta unggul dalam kompetisi global. Adapun indikator kualitatif dan kuantitatif yang bisa dipakai adalah berdasarkan CAMEL (Capital, Aset Quality, Management, Earning dan Liquidity) serta Sensitivity to Market Risk.

Adanya UU PPKSK sebagai landasan pijak terhadap Bank Sistemik akibat krisis merupakan langkah tepat sehingga resiko perbankan tidak lagi menjadi beban APBN sehingga Bank itu sendiri harus lebih extra hati hati dalam menjalankan operasional bisnisnya. Tentu ini akan memicu Daya Saing itu sendiri, dimana perbankan yang dikelola dengan Tata Kelola yang baik menjadi sebuah keniscayaan.

Memang dengan Grup Khazanah dan Temasek secara aset kita kalah jauh, tetapi adanya wacana Holding Bank BUMN setidaknya bisa jadi angin segar untuk semakin kompetitif khususnya Bank milik pemerintah/Himbara (BUMN). Permodalan memang menjadi isu penting, tetapi Tata Kelola yang baik jauh lebih penting untuk tetap suistanable dan unggul di segmen bisnis di industri. Lantas adanya relaksasi aturan baru oleh otoritas terhadap LCR (Liquidity Coverage Ratio) terkait KPMM (Kewajiban Penyediaan Modal Minimum) yg diatur dalam PBI No. 15/12/2014 khususnya terhadap Bank yang berdampak sistemik (DSIB/Domestic Sistemicaly Important Bank) yang di bagi dalam 5 bucket apakah sudah tepat ? dan mampukah Cadangan Modal Tambahan selain Modal Inti Tier 1 ini mampu mendongkrak Daya Saing perbankan di tanah air ?

Dengan adanya Cadangan Modal Tambahan ini (Capital Conservative Buffer 2,5 % dari ATMR, Countercyclical Buffer 0-2,5 % dari ATMR, Capital Surcharge untuk Bank Sistemik 1-3,5 % dari ATMR yang sebelumnya 1-2,5 % dari ATMR) semestinya perbankan cukup tangguh dan berdaya saing dari sisi permodalan (Capital) baik perbankan Buku I, II, III ataupun IV. Apalagi indikator yang digunakan dalam menentukan Bank berdampak sistemik sudah terukur dengan jelas berdasarkan : Eksposure, Interconnectedness, dan Complexity usaha Bank, justru yang beresiko sebenarnya adalah Bank kategori BUKU IV yang bermodal besar dikarekan eksposure, interconectedness dan complexcity usaha yang sangat kompleks (bukan Bank kecil sekelas Bank Century).

Penulis melihat selain faktor CAMEL dan Sensitivity to Market Risk yang bisa dijadikan indikator Daya Saing Perbankan di tanah air, faktor TI/Teknologi Informasi Digital menjadi urgent dan strategis kedepannnya meskipun investasinya cukup mahal, Digital Banking System perlahan tapi pasti merupakan fenomena di industri yang tidak terelakkan, kita lihat Grup Khazanah, Temasek dan DBS Singapura semakin berlomba dengan Digitalisasi ini. Harapan kita tentu perbankan kita juga perlahan dan pasti juga segera berlari mengejar Khazanah dan Temasek dan DBS Singapura. Nah apa iya masih ada potensi sistemik terhadap perbankan nasional dimasa yg akan datang jika semua indikator sdh terpenuhi ? Yg pasti Sensitivity to Risk Market akan lebih diperhatikan khususnya dalam melakukan investasi, sehingga tidak mengalami nasib yang sama dengan yang dialami Bank Century (merupakan bank hasil merger tiga bank yakni Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac) di 2009 silam dimana mengalami collaps akibat eskalasi gempa tektonik Sub Prime Mortgage yang melanda beberapa institusi finansial negeri Paman Sam yang meliputi : Fannie Mae (Federal National Mortgage Association), Freddie Mac (Federal Home Loan Mortgage Association), Goldman Sach, Morgan Stanley, Lehmans Brother dan Merryll Lynch yang rontok beberapa saat setelah Kasus Sub Prime Mortgage mendera. Sebagai konsekwensi dari Kasus Sub Prime Mortgage ini telah mengharuskan Pemerintah AS menggelontorkan dana bail out sebesar 700 Miliar USD yakni dengan investasi langsung ke institusi finansial dan menopang pasar kredit konsumer agar negara adidaya AS tidak terseret ke lubang resesi yang semakin parah dan dalam. Adapun collaps nya Bank Century terjadi dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama setelah terlebih dahulu Pengadilan Belanda pada tanggal 1 Desember 2008 memutuskan pailit atas anak usaha Bank Indonesia di Belanda yakni Bank Indover.

Adapun indikator makro waktu itu adalah :
i). Harga minyak dunia terjun bebas ke level 50 USD per barel, ii). Defisit APBN 2008 sebesar 1,3 % dari PDB atau sekitar 60,5 Triliun Rupiah, iii). Asumsi defisit APBN 2009 sebesar 1 % dari PDB atau sekitar 51,4 Triliun Rupiah, iv). BI Rate 9,25 % berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada tanggal 4 Desember 2008, v). Adanya pembatasan pembelian USD melalui underlying transaction baik untuk transaksi spot, forward dan derivatif, yakni untuk transaksi yang diatas 100 Ribu USD, vi). GWM Bank Umum sebesar 5 % untuk GWM Utama (Statutory Reserve) berupa simpanan giro di BI dan 2,5 % untuk GWM Sekunder (Secondary Reserve) berupa SBI dan atau SUN di BI berlaku sejak tanggal 24 Oktober 2008, sedangkan untuk GWM Valas menjadi 1 % berlaku sejak tanggal 14 Oktober 2008 (berdasarkan revisi PBI No. 10/19/2008 tentang GWM yang diterbitkan BI pada tanggal 14 Oktober 2008), vii). Tingkat bunga fasilitas pinjaman harian (overnight) perbankan melalui transaksi repo dari BI Rate plus 100 bps menjadi BI Rate plus 50 bps sekaligus menyesuaikan FASBI Rate dari semula BI Rate minus 100 bps menjadi BI Rate minus 50 bps, viii). Pemerintah telah mencairkan tambahan hutang luar negeri baru pada Desember 2008 sebesar 2,8 Miliar USD atau setara dengan 30,8 Triliun Rupiah.

Beranjak dari dikabulkannya gugatan Praperadilan Budi Mulya yang telah menambah deretan tersangka baru Bank Century Gate antara lain Boediono Cs maka sepertinya kedepannya permasalahan Bank Century Gate ini akan menjadi bola panas baru di tahun politik 2018 ini yang yg bisa saja nantinya akan memakan korban kakap baru ??? Sebab katanya bail out yang seharusnya hanya 2 Triliunan Rupiah malah jadi 6,7 Triliun Rupiah (seperti yang disampaikan Ekonom Rizal Ramli di ILC TV One beberapa hari yang lalu) sehingga menimbulkan potensi kerugian negara yang sangat signifikan yakni sebesar 4,7 Triliun Rupiah, wah… Kita sebagai rakyat tentu berharap sengkarut ini segera menemukan titik terang dan terang benderang sehingga tontonan Kasus Bank Century ini benar benar endingnya berpihak kepada rakyat dan apa iya Perbankan kita begitu lemahnya dan belum berdaya saing baik di waktu kasus ini mencuat ataupun dimasa kini, ataukah ini benar benar politis, entahlah…” Semoga Kita Semua Tercerahkan”

Yosi Afianto, S.Si
Direktur Eksekutif
INDO SYIRKAH INSTITUTE &
Praktisi Lembaga Keuangan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *