Jambi

​MENELUSURI CAHAYA BUDHA DI BUMI SRIWIJAYA


PILARBANGSANEWS. COM. BATANG KAPEH.-

Cahaya Budha di nusantara pernah bersinar terang di masa Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dari Abad ke 7 hingga Abad ke 12. Sriwijaya juga sempat menjadi pusat pengajaran agama Budhis di Asia Tenggara.

Sementara itu tiga pusat kerajaan yang dikenal dengan nama Sriwijaya ini muncul di Jambi, Palembang, dan ada yang mengatakan di Kedah di Semenanjung Malaya, Malaysia.

Ketiganya berjaya pada periode berbeda dengan rentang waktu hingga 700 tahun. Hingga kini, masyarakat ketiga kota itu mengklaim, mereka adalah ”keturunan” asli Sriwijaya.

Sriwijaya adalah negara maritim yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari pelayaran dan perdagangan. Negara yang hidup dari perdagangan tentu tidak lepas dari SDA yang dapat menjadi komoditas perdagangan antara lain berupa hasil hutan, hasil tambang, dan hasil bumi yang banyak digemari orang Arab, Persia, India, dan Cina.

Dalam hal pelayaran dan perdagangan, tidak lepas kaitannya dengan pelabuhan. Karena itulah para pakar beranggapan bahwa pusat pemerintahan negara ini harus terletak di tepi pantai pada teluk yang terlindung. Sementara itu pada masa lampau garis pantai Sumatera bagian tenggara terletak jauh di pedalaman. Di daerah Jambi terdapat sebuah teluk yang besar, tempat bermuara Sungai Batanghari (Taufik Abdullah & A.B. Lapian, Indonesia dalam Arus Sejarah jilid 2, 2012, h.63)

BERAFILIASI


Sriwijaya sering digambarkan sebagai emporium yang luas wilayah kekuasaannya membentang dari Sumatera Selatan hingga ke Jawa, pesisir Kalimantan, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Kamboja. 

Banyak yang menyebut wilayah tadi ditaklukkan dengan kekuatan militer oleh Sriwijaya. Dengan konsep itu berarti pusat emporium hanya ada di satu titik, seperti emporium Roma.

Sebagian ahli arkeologi menemukan fakta lain. Dari kajian catatan sejarah dan prasasti, Junus Satrio Atmodjo (Arkeolog) menganalisis bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya sebenarnya tidak berada di satu tempat, tetapi berpindah-pindah. Hal ini sesuai dengan konsep mandala yang dianut agama Buddha.

”Konsep penaklukan dikembangkan oleh Belanda, bukti yang dipakai hanya prasasti yang isinya kutukan. Bukti lain nyaris tidak ada.

Dari berbagai catatan sejarah, perang pada masa Sriwijaya hanya terjadi ketika Raja Rajendra Choladewa dari India menyerang Sriwijaya yang saat itu berpusat di Palembang.

Mandala adalah pusat dunia. Gambaran dunia menurut ajaran Hindu-Buddha berbentuk persegi empat dengan gunung meru (paling suci) di tengahnya. Sistem kekuasaan masa kerajaan di Sumatera menganut konsep Mandala. Raja yang memiliki pengaruh kuat, kerajaannya menjadi pusat dari kerajaan lain yang lebih kecil di sekitarnya.

Kerajaan-kerajaan kecil itu membangun afiliasi dengan kerajaan besar untuk mendapatkan pengaruh. Sebaliknya, kerajaan besar berafiliasi dengan tujuan menguasai pusat-pusat perdagangan. ”Perkawinan menjadi cara lazim untuk membangun afiliasi. Di sini peran perempuan sangat penting dalam perpolitikan.

MELAYU KUNO


Sebelum muncul Sriwijaya, di Muara Jambi sebenarnya sudah ada kerajaan bernama Melayu. Keberadaan Kerajaan Melayu (kuno) itu disebut dalam catatan China, Tang Hui Yao, yang menyebut, pada tahun 645 M Melayu mengirimkan utusan ke China. Di kawasan percandian Muara Jambi ada sungai bernama Sungai Melayu. Sungai itu menghubungkan Sungai Batanghari dengan rawa-rawa di sekitar percandian.

Empat puluh tahun kemudian, muncul catatan (prasasti Kedukan Bukit) yang menyebut ada Kerajaan Sriwijaya di Palembang pada tahun 683. Artinya, dalam rentang 40 tahun ada dua kekuatan besar kerajaan di Sumatera. Namun, Junus yakin Melayu lebih kuat dari Sriwijaya. ”Kalau Melayu bisa mengirimkan utusan sampai ke China, berarti kerajaan itu sudah lebih mapan,” kata Junus.

Dari catatan Tang disebutkan, Melayu menjadi bagian dari Sriwijaya. Namun, kata Junus, tidak bisa serta-merta disimpulkan bahwa ada ekspedisi militer menyerang Melayu. Sampai sekarang belum ada bukti.

Ia punya teori lain, Melayu bergabung dengan Sriwijaya melalui diplomasi perkawinan. Namun, belum jelas kenapa nama Sriwijaya yang muncul.
Ketika berafiliasi, pusat Kerajaan Sriwijaya berpindah ke Palembang.

Selain berafiliasi dengan Melayu, Sriwijaya juga berafiliasi dengan Kedah di Semenanjung Malaya, kemungkinan melalui perkawinan.

Para ahli menemukan bukti arkeologis di Jambi, Palembang, dan Kedah yang hampir sama. Candi di Kedah, menurut Junus, mirip di Muara Jambi. Temuan lain, seperti manik-manik serta keramik berpola dan berangka tahun sama, pada abad ke-8.

Melalui perkawinan, simbol-simbol mandala raja bisa berpindah ke keturunannya. Keturunan itu kemudian diangkat menjadi raja berikutnya.

Masa keemasan Sriwijaya di Palembang terjadi pada 850 M. Pada masa yang sama, kawasan percandian Muara Jambi dibangun. Hal ini dibuktikan dengan pemeriksaan usia karbon dari tiga candi besar di Muara Jambi, yakni Candi Gumpung, Tinggi, dan Koto Mahligai. Ketiganya berasal dari abad ke-8. Belum ditemukan bukti ada candi dibangun abad ke-6 pada masa nama Melayu dikenal.

Nama Melayu disebut lagi pada tahun 1275 dalam Negarakertagama ketika Kerajaan Singosari dari Jawa Timur melakukan ekspedisi Pamalayu. Nama Pamalayu merujuk bahwa ekspedisi menuju ke Melayu.

Terlepas dibangun oleh Sriwijaya atau Melayu, dari beragam peninggalan, kawasan percandian Muara Jambi didesain menjadi bagian dari sebuah kota besar. Hal itu, antara lain, dari adanya kanal-kanal yang mengelilingi kawasan percandian yang mengalirkan air Sungai Batanghari.

ANDRA USMANEDI,S.PdI,M.Pd

Guru Honorer di SMA Negeri 1 Batang Kapas dan Wartawan Pilarbangsanews.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *