Warga Unjuk Rasa Di Mapolres Solok Sumatera Barat


PILARBANGSANEWS. COM. SOLOK,– Ratusan warga yang mengatasnamakan dirinya Masyarakat Salingka Gunung Talang, Kabupaten Solok, mendatangi Mapolres Solok Arosuka, Jumat (29/12). Mereka melakukan unjuk rasa, meminta aparat Polres Arosuka untuk membebaskan Andra alias Kacak, seorang warga yang ditahan di Mapolres Arosuka.

Sebelumnya, Andra ditangkap aparat kepolisian terkait kasus pembakaran mobil PT Hitay Daya Energy di Kecamatan Lembang Jaya pada 20 November 2017 lalu. Andra dijemput paksa pada Jumat (29/12) dinihari sekitar pukul 02.00 WIB, di Lembang Jaya, Kabupaten Solok.

Berita terkait klik disini

Seribuan Warga Solok Demo Tolak Pembangunan Listrik Geotermal

Namun, para pengunjuk rasa tidak bisa masuk ke Mapolres, karena tertahan di pintu gerbang Mapolres yang dijaga puluhan anggota Dalmas. Akhirnya, mereka melakukan orasi di pintu gerbang. Dalam orasinya, mereka meminta Polres Solok Arosuka untuk melepaskan warga mereka yang ditangkap oleh aparat kepolisian terkait kasus pembakaran mobil PT Hitay Daya Energy di Kecamatan Lembang Jaya pada 20 November 2017.

Kapolres Solok Arosuka AKBP Ferry Irawan, akhirnya menemui para pengunjuk rasa. Dalam pertemuan dengan beberapa orang wakil pengunjuk rasa, Ferry mengatakan penangkapan dilakukan oleh Polda Sumbar, bukan oleh petugas dari Mapolres Solok Arosuka. 
Menurutnya, Andra alias Kacak terpaksa dijemput paksa oleh aparat Dirreskrimun Polda Sumbar pada Jumat (29/12) sekitar pukul 02.00 WIB.

“Yang bersangkutan akhirnya dijemput paksa, karena tidak pernah datang memenuhi dua kali surat panggilan,” ungkap Ferry.

Pengunjuk rasa akhirnya bergerak menuju Tugu Ayam di depan Kantor Bupati Solok, dengan niat menggelar aksi demonstrasi. Tapi aksi tersebut gagal terlaksana karena dihalau oleh personel Dalmas Polda Sumbar yang baru datang ke lokasi.

Kurang Sosialisasi
Eksplorasi panas bumi (geothermal) di Batu Bajanjang, Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok ini merupakan bagian dari target proyek energi nasional 35.000 mega watt oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Di Solok, potensi energi listrik yang dihasilkan, diperkirakan mencapai 58 MW. Reaksi muncul pertama kali saat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang pada 3 Juli 2017 memberikan siaran pers terkait proyek energi panas bumi (geothermal) di Kabupaten Solok. LBH Padang mengaku menerima pengaduan dari masyarakat Nagari Batu Bajanjang, Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok, terkait penerbitan izin panas bumi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal. Yakni, surat izin No 2/1/IPB/PMA/2017 kepada investor PT Hitay Daya Energy, dengan masa kontrak 37 tahun.
Koordinator Divisi HAM LBH Padang, Wendra Rona Putra saat itu mengatakan, penetapan wilayah kerja di Gunung Talang-Bukit Kili dikhawatirkan akan mengancam pertanian masyarakat.

“Status di sekitar Gunung Talang yang ditetapkan Kementerian Kehutanan sebagai hutan lindung, sebagai penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah. Pengeboran panas bumi di Gunung Talang akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumber mata air dan ekosistem hutan,” katanya.

Siaran pers dari LBH Padang ini, akhirnya memantik gelombang penolakan dari masyarakat di Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok. Khususnya warga di Nagari Batu Bajanjang dan sekitarnya. Mereka yang hadir dalam forum-forum sosialisasi proyek panas bumi perusahaan bersama camat dan wali nagari, terang-terangan menolak. Warga meminta pemerintah mengkaji ulang izin proyek panas bumi ini.

Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup UNP, Indang Dewata, melihat masyarakat kurang dilibatkan dalam proyek ini hingga terjadi miskomunikasi. Menurutnya, dalam setiap proyek, seharusnya mengutamakan pelibatan masyarakat.

“Masyarakat tak dilibatkan utuh, hingga timbul gejolak. Semua proyek pasti ada dampak tetapi ketika masyarakat terlibat utuh, mereka akan mendapatkan informasi dengan cukup. Harus sosialisasi yang cukup ke masyarakat, baik oleh PT Hitay, maupun oleh Pemkab Solok,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Panas Bumi Indonesia, Hasanudin, menyebutkan pengusahaan panas bumi dan penetapan potensi pembangkit listrik hasil survei dan pemerintah menetapkan sebagai wilayah kuasa panas bumi (WKP) pada 2014.  Ia berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 2777 K/30/MEM/2014. Penetapan itu, kemudian ditindaklanjuti dengan lelang, mulai pengumuman WKP Nomor 03/10.10/WKP-4/KESDM/2016, pada 25 April 2016.

Berdasarkan pertimbangan teknis, adminstrasi, keuangan dan penawaran harga tenaga listrik, diputuskan pemenang lelang konsorsium PT. Hitay Daya Energy, berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 7257 K/30/MEM/2016 tertanggal 3 Oktober 2016.
Pada 23 Februari 2017, katanya, terbit izin panas bumi kepada PT Hitay. Sebagai Independen Power Producer (IPP) yang resmi mendapatkan penugasan pemerintah untuk penyediaan listrik kapasitas 20 MW.

“Berdasarkan UU Nomor 21/2014 tentang Panas Bumi, pengusahaan panas bumi bukan termasuk pertambangan, namun pemanfaatan jasa lingkungan. Kekhawatiran kerusakan lingkungan, pencemaran air, tak akan terjadi. Air pembangkit listrik nanti berasal dari kedalaman di bawah 1.000 meter, hingga tak akan memberi dampak bagi ketersediaan air tanah masyarakat,” ujarnya.

Dia mencontohkan, di Kamojang, Darajat, Gunung Salak, Wayang Windu, Dieng, dan lain-lain yang sudah memanfaatkan PLTP selama 20 tahun dan tidak menyebabkan dampak negatif terhadap masyarakat. “Pemandian air panas merupakan salah satu manfaat dari air hydrothermal,” katanya.

Mengenai kekhawatiran pencemaran udara berupa CO2 dan H2S, merupakan gas yang keluar dari gunung api secara alami.

“CO2 dan H2S dalam panas bumi terlarut dalam air hydrothermal. Karena proses pemanfaatan panas bumi melalui siklus tertutup maka kadar CO2 dan H2S terlepas ke udara sangat minim bahkan mendekati 0%,” ujarnya.

Hasanudin juga menyatakan, panas bumi juga tak berdampak buruk bagi sumber air dan kesuburan lahan pertanian.
“Pengembang panas bumi akan selalu menjaga lingkungan, menjaga hutan tetap hijau karena ketika hutan sekitar panas bumi rusak matilah panas bumi,” ujarnya.

Menanggapi reaksi tersebut, Pemkab Solok melalui Bupati Solok Gusmal mengaku memahami keinginan masyarakat yang menolak rencana pembanguna proyek geothermal. Namun menurut Gusmal, pemerintah daerah tidak berwenang dalam hal perizinan karena izin dari Kementerian Energi dan Sumbar Daya Mineral (ESDM).

“Pemkab Solok tidak berwenang dalam hal perizinan. Izin proyek geothermal ini langsung dari Kementerian ESDM,” ujarnya.
Sementara itu, Senior Project Manager PT Hitay Daya Energy, Novianto, menyatakan pihaknya akan mendalami keinginan dan kendala proyek strategis tersebut di Kabupaten Solok. 
Menurutnya, Solok Selatan yang juga dibuka proyek geothermal tersebut, justru tidak ada penolakan. Bahkan dengan kapasitas yang lebih besar.

“Berkat sinergitas dengan Pemkab Solsel, tidak ada penolakan dari masyarakat. Padahal, di sana kapasitasnya mencapai 80 megawatt. 
Sementara di Solok hanya 20 megawatt. Kita berharap masalah ini bisa cepat selesai dan kami bisa mengambil sikap tentang proyek ini di Kabupaten Solok dan Sumbar,” ujarnya.

Sikapi Dengan Baik
Menanggapi penolakan warga tersebut, Anggota DPRD Kabupaten Solok, Jon Firman Pandu, menyatakan hal itu hendaknya disikapi dengan baik. Menurutnya, hal ini tidak lepas dari kurangnya sosialisasi dari Pemkab Solok dan PT Hitay Daya Energy. Seharusnya, sosialisasi tersebut dilakukan secara menyeluruh ke masyarakat, tidak hanya ke masyarakat Batu Bajanjang saja.

“Pada dasarnya, saya sebagai putra asli dari daerah tersebut, sangat mendukung proyek energi pembangkit listrik terbarukan tersebut. Apalagi, ini merupakan aset penting bagi kita di masa depan. Namun, harusnya masyarakat diberikan pemahaman dulu,” ujarnya.

Senada dengan itu, Anggota DPRD lainnya, Mulyadi, juga berharap Pemkab Solok dan PT Hitay Daya Energy harus lebih gencar melakukan sosialisasi terhadap eksplorasi geothermal (panas bumi) di Nagari Batu Bajanjang, Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok. Anggota DPRD Kabupaten Solok, Mulyadi, mengharapkan Pemkab Solok dan PT Hitay segera “turun gunung” menjelaskan secara persuasif ke masyarakat tentang program strategis nasional tersebut.

“Ini merupakan program strategis nasional di Kabupaten Solok. Pemkab dan PT Hitay harus lebih gencar lagi melakukan sosialisasi. Jangan sampai, program ini kandas, hanya karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang  proyek geothermal ini,” ujar Mulyadi.

Mulyadi menegaskan saat ini, beberapa masyarakat yang kontra, membayangkan eksplorasi geothermal ini sama dengan ekplorasi minyak dan gas. Bahkan, menurutnya, sejumlah isu disebarkan dengan menyamakan proyek ini, akan sama seperti musibah lumpur Lapindo.

“Masyarakat yang kontra ini jumlahnya jauh lebih sedikit dari yang pro dengan eksplorasi geothermal ini. Namun, yang kontra ini sangat aktif melakukan propaganda. Bahkan, keaktifan ini sudah masuk ke taraf kurang wajar. 
Akibatnya kedua belah pihak  saat ini saling curiga dan sangat berpotensi menimbulkan gesekan. Di sinilah, peran Pemkab Solok sangat dibutuhkan untuk meredam isu ini,” ujarnya. (rijal islamy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *