“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 38…
.
Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 37 klik disini;
Sambungan dari Bag 37…
juga banyak yang mati hari itu?
“Itu urusan mereka untuk membalasnya. Apakah mereka mampu atau tidak untuk membalas….”
“Kalau mereka tak mampu?
Hukum rimba berlaku. Siapa yang kuat dia yang berkuasa….”
“Lalu bagaimana dengan puluhan atau ratusan orang yang telah kalian rampok dan kalian sembelih di bukit itu selama puluhan tahun ini?”
“Kalau mereka ingin membalas, silahkan datang ke sana….!”
Si Giring Giring Perak tersenyum tipis. Mereka bertatapan. Dan Pandeka Sangek ingin memulai perkelahian ini. Dia tahu bahwa dia berada di pihak yang menang. Anak muda itu terpaksa melindungi pengungsi pengungsi tersebut. Terlebih lagi dia harus melindungi perempuannya.
Dia melihat tadi betapa salah seorang dari perempuan perempuan itu, yang paling muda, dan yang paling cantik pula, mendekap anak muda itu ketika mula mula muncul.
Nah, kelemahan itu akan dia pergunakan. Betapa pun jua, serangan harus diarahkan pada dua sasaran. Pertama pada anak muda itu sendiri, dan yang kedua pada para pengungsi itu untuk memecah konsentrasi anak muda tangguh itu.
Dengan perhitungan demikian, Pandeka Sangek mengibaskan tangan memberi isyarat. Bagi si Giring Giring Perak maupun Datuk Sipasan belum bisa menduga apa arti kibasan tangan penguasa dari Gunung Rajo itu, ketika tiba tiba seluruh suluh dan damar yang nyala mengelilingi mereka pada padam serentak!
Ketika mata mereka masih berkunang-kunang akibat perobahan dari terang kegelap itu, ketika konsentrasi mereka belum bekerja penuh, saat itu pula belasan batang tombak meluncur ke arah mereka dari segala penjuru.
Bukan main berbahayanya serangan ini. Baik si Giring Giring Perak maupun Datuk Sipasan dan teman temannya tak mengetahui darimana datangnya serangan itu. Mata mereka tak melihat apa apa.
Dalam keadaan seperti itu, si Giring Giring Perak terpaksa mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menolong nyawa mereka. Dengan mempergunakan pendengarannya yang amat tajam, kemudian menggabungkan dengan ilmu meringankan tubuh yang tangguh, anak muda dari Gunung Talang ini melompat ke udara.
Tangannya masih memegang selendang Siti Nilam. Di udara dia berjumpalitan dalam gelap. Tangannya bekerja cepat. Dia tak menangkap seluruh tombak itu dengan belitan selendangnya. Tapi dengan tenaga batinnya yang tinggi dia mengibaskan selendang itu berputar di udara.
Sungguh hebat! Seluruh tombak itu mencong arahnya terkena sambaran angin yang dikibaskan dari selendang di tangannya. Hanya dalam enam hitungan sejak dia melompat tadi, anak muda ini turun lagi di tanah. Persis di tempatnya semula. Saat itu pula semula suluh dihidupkan lagi secara serentak.
Sekilas saja, Pandeka Sangek mengerti bahwa serangan dengan tombak yang pertama tadi tak satu pun yang mengenai lawan. Dia sempat mendengar suara desakan angin ketika anak muda itu melambung ke udara dalam gelap tadi, dan dia juga mendengar suara tombak yang terpukul arahnya oleh kibasan tenaga dalamnya itu.
Kini dia mempergunakan taktik kedua. Begitu suluh hidup, dan si Giring Giring Perak serta teman temannya tiba tiba kembali merasa silau disebabkan nyala suluh yang tiba tiba itu, kembali beberapa tombak melayang. Tombak tombak itu diarahkan pada rombongan Datuk Sipasan.
Sementara Pandeka Sangek sendiri menyerang anak muda itu dengan serangan pisau beracun. Lemparan pisau beracunnya yang kecil kecil, tak lebih dari sebesar kelingking, amat berbahaya. Pisau itu selain amat tajam dan runcing, juga telah disepuh dengan bisa yang amat tangguh.
Tak usah tertancap, goresan kecil saja yang dia timbulkan pada salah satu bagian kulit di tubuh manusia, sanggup merenggut nyawa. Anak muda itu amat arif akan hal ini. Karenanya dia tak mau berlaku gegabah. Saat itu matanya masih dalam keadaan silau karena puluhan suluh yang dihidupkan tiba tiba.
Kini dia hanya mengandalkan pendengarannya yang amat tajam itu. Dia memejamkan mata. Mendengar pisau pisau kecil itu menggebu ke arahnya. Lebih dari lima buah. Enam batang tombak melesat pula ke arah teman teman di belakangnya.
Kalau keadaan begini terus, yaitu jika mereka diserang terus terusan dalam keadaan silau, dimana suluh tiba tiba dihidupkan, kemudian dimatikan, dihidupkan lagi, dan seterusnya, dan mereka diserang dalam keadaan begitu, lama lama pasti banyak korban yang jatuh.
Karena itu, dia harus mencari akal untuk mengatasi taktik Pandeka Sangek ini. Dia yakin, di tiap suluh yang dihidupkan matikan itu, pasti ada seorang lelaki yang menjaga.
Mereka siap meniup suluh itu hingga padam jika diisyaratkan oleh pimpinan mereka. Dan siap pula menghidupkannya dengan catuih api begitu isyarat berupa suitan berbunyi.
Dia tak ingin suluh itu dimatikan. Karena kegelapan bisa membuat rombongan Datuk Sipasan jadi celaka. Karenanya untuk menolong dan mengawasi mereka, suluh itu harus hidup terus.
Dengan pikiran begini, si Giring Giring Perak lalu memusatkan perhatiannya pada suluh suluh itu. Jumlah suluh itu yang hidup kini hanya lima belas buah. Tegak mengelilingi mereka dalam jarak delapan depa.
Dia yakin, teman temannya yang berada di belakang pasti mampu menghindarkan hujaman tombak itu. Mereka bukan pesilat pesilat awam. Meski belum mempunyai ilmu tinggi, namun tidak terlalu rendah.
Dengan berpikiran demikian, anak muda ini menanti datangnya pisau pisau beracun yang.
Bersambung ke Bag 39…