.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh ; Makmur Hendrik) Bag 50…

.

Bagi yang belum baca bag 1 s.d Bag 49 klik disini :

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 49…

Sambungan dari Bag 49…

Gadis itu masih muda mentah. Paling paling umurnya enam belas tahun. Hanya badannya yang subur saja menyebabkan dia nampak sudah dewasa. Dan mungkin agak bodoh.

“Hai, Uda Lepai….” himbaunya.

“Halo Lebok….” kata Lepai sambil melangkah.

“Ah, Uda Lepai ini pakai hallo pula…mana pula ada orang pakai hallo zaman ini….”

“Ah, tak apa. Tak apa… mau minum cindul, Uda?”
“Ya, maulah. Ebok haus….
Mana ayah ibumu?”

“Mereka ke ladang….”
Lepai meletakkan tempayan cendolnya dekat pintu. Menyendokkan segelas, memberikan santan dan gula banyak banyak agar terasa sedap. Lalu memberikannya pada Lebok. Tangan mereka bersentuhan ketika gadis gepuk itu menerima cendol tersebut.

Darah Lepai tiba tiba menggelegak. Mata Lebok mengerling dan bibirnya tersenyum. Mata Lepai jadi liar. Tapi dia berusaha menenangkan diri.

“Hmmm… mana ayah dan ibumu?” tanyanya dengan suara menggigil.

“Uda ini pekak badak, mah. Tadikan sudah Ebok katakan, mereka ke ladang….”

“Sirrr…! Gupp.. gupp..! Darah Lepai berdesir kencang, jantungnya berdegup-degup.
Panas hari Bok, boleh Uda naik?”

“Mmm…”

“Kijap saja, kan Ebok mau cindul Uda….” ujarnya makin menggigil.

Lebok memperhatikan jalan di depan rumahnya, menatap ke hulu kemudian ke hilir. Sementara Lepai sudah mendudu saja naik. Lalu, Lebok pun meminum cindulnya sampai puas.

Kini, di pasar Kabunsikolos ini, dia mengingat dosanya pada anak bininya di rumah Lebok itu. Mengingat sambil menanggungkan parasaian kena dihajar Kapten Verde. Jidat dan pipinya lebam, dan dia mengais-ngais butiran cendolnya dalam upaya mencari dua giginya yang patah kena hajar si kapiten.

Selain giginya yang rontok kena tangan berturut turut oleh Pandeka Sangek dan Kapten Verde, dua gentong tempat cendol yang selalu dia pikul juga hancur. Hukum karma berlaku pada dirinya. Doa isteri dan anak anaknya yang teraniaya ternyata dikabulkan Tuhan.

Tuhan menghukum si Lepai yang berselera badak ini. Dia tertunduk, teringat anak bininya dan dia menyesal. Marano den, keluhnya memandang cendolnya yang terserak serak.

oOo

Sementara itu, enam orang mata mata yang ditugaskan oleh Kapten Verde akhirnya berangkat juga menuju Bukit Tambuntulang.
Semula mereka sudah berniat untuk tak pergi. Baik spion Melayu yang empat orang itu maupun spion Belanda yang dua orang, sama sama merasa gacar untuk memasuki rimba Tambuntulang yang angker itu.

Tidak hanya harimau yang banyak di sana. Tetapi kekejaman penyamun penyamun itu lebih menakutkan daripada seekor atau tiga ekor harimau. Namun ancaman Kapten Verde ternyata lebih menakutkan hati mereka.

Mereka berangkat juga dengan membawa keris, pistol dan mesiu secukupnya ditambah dendeng panggang sebagai perbekalan dalam hutan. Selama penyelidikan itu mereka takkan menghidupkan api. Karena hal itu bisa diketahui oleh penyamun penyamun di sana.
Mereka tidak menempuh jalan biasa. Karena di jalan biasa itu akan segera diketahui oleh mata mata penyamun tersebut. Mereka menempuh jalan memintas.

Naik bukit dan turun lurah. Amat sengsara perjalanan itu. Tapi itulah jalan yang dianggap paling selamat.
Mereka harus berjuang dengan melawan pacat dan ular berbisa. Kendati sebagai pesilat dan pelacak jejak yang tangguh, halangan itu cukup berat bagi mereka. Dari Silaiang ke Bukit Tambuntulang mereka tempuh selama empat hari.

Mereka berada di kaki bukit itu kini. Berada dalam hutan yang lebat. Mulai saat itu, pembicaraan hanya bisa dilakukan secara berbisik. Atau dengan isyarat isyarat.
Ketika menyeberangi sungai kecil dan dangkal serta berbatu besar, mereka berbagi jalan. Mereka berjanji akan bertemu di tempat itu sore nanti. Bukit Tambuntulang itu akan mereka jelajah berdua dua. Terbagi dalam tiga rombongan.

Rombongan pertama terdiri dari mata mata Belanda bernama Sersan Rudolf dan seorang lelaki bernama Cudai. Mereka bergerak arah Utara. Rombongan kedua seorang Belanda lagi dengan Pudin. Naik ke Tambuntulang melalui Selatan.

Menjelang tengah hari mereka tiba tiba menemui suatu dataran yang luas. Di tengah dataran itu kelihatan sekitar dua puluh buah rumah. Rumah rumah yang cukup bagus. Tengah hari itu suasana kampung tersebut kelihatan lengang. Yang kelihatan hanyalah kain kain yang terjemur.

Tak syak lagi. Ini pastilah perkampungan penyamun penyamun Bukit Tambuntulang itu. Bagaimana menghitung berapa kekuatan mereka? Ada dua puluh dua rumah yang berjejer dengan rapi. Kalau setiap rumah dihuni oleh empat orang, itu berarti ada sekitar delapan puluh penyamun. Suatu kekuatan yang luar biasa.
Mereka lalu mempelajari situasi sekeliling perkampungan itu. Pada sudut sudut tertentu kelihatan ada rumah pengintai. Di rumah pengintai itu nampak seorang penjaga yag selalu mengawasi sekelilingnya.

Anak buah Kapten Verde tak berani banyak bergerak. Sekali mereka dilihat, dan kehadiran mereka diketahui, maka tamatlah riwayat mereka. Penyamun penyamun itu pastilah pergi mencari mangsanya di bawah sana. Sebab kampung itu kelihatan sunyi.

Salah seorang spion Melayu tiba tiba memberi kode pada Belanda yang ada di sisinya. Dia lalu memberi isyarat ke sebuah rumah. Belanda itu melihat ke sana. Dia melihat seorang perempuan turun dari rumah itu.

Bersambung ke bag 51…

Catatan Redaksi Foto ilustrasi Lisda Hendrajoni Ketua TP-PKK Pesisir Selatan Sumbar, tidak ada kaitan dengan cerbung ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *