Cerita Bersambung

GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh; Makmur Hendrik) Bag ke 55

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 54 klik disini;

GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 54…

Sambungan dari Bag 54….

“Kami memang jahannam buyung. Kerja kami jelas di sini, yaitu menyamun. Tetapi engkau lebih jahannam lagi. Engkau bekerja pada Ulando untuk jadi mata mata. Engkau bebas keluar masuk kampung menyiasati apa saja, untuk kemudian kau laporkan pada Ulando.
Sejahat jahat kami sebagai penyamun, kami bertarung dulu untuk hidup. Tapi kami tidak beniat menjual diri kami pada bangsa yang menjajah negeri ini. Bagi kami Ulando tetap musuh kami.
Karena jiwa budakmu, engkau harus mati. Kepalamu berikut kepala Ulando yang kau bunuh tadi, akan dikirim pada Verde sebagai tanda bahwa mata mata yang dia kirim telah mampus semuanya. Nah, itulah bukti bahwa janji untuk mengirim dirimu pulang saya tepati.
Bangkai- bangka kalian akan tetap di rimba ini. Jika tidak harimau, maka ulat akan menyantapnya. Tapi engkau mujur. Kepalamu akan kami bungkus baik baik dengan kain merah. Dan akan kami kirimkan dengan tiga utusan ke Kabunsikolos… he… he… he…”

“Anjing. Penyamun anjing. Babi…!”

“He… hee tadi saya telah menonton waang main kuda kudaan dengan si Kamek di atas bukit sana. Waang memang kuat dan pandai main. Si Kamek benar benar puas waang buat. Sebagai hadiah, maka dia pula yang akan menyudahi nyawa waang. Waang dapat melihat tubuhnya yang padat itu untuk terakhir kalinya….”

Sehabis berkata begini, Gampo Bumi memberi isyarat dengan bertepuk dua kali. Dari atas bukit dua orang lelaki seperti berlari turun ke bawah sambil menyeret tubuh seorang perempuan. Perempuan itu ditegakkan di depan Cudai. Dan di antara matanya yang masih kuyu, Cudai dapat mengenali perempuan itu.
Dia adalah perempuan yang tadi dia sergap ketika mandi di sumur. Dia tak mengerti apa yang akan dilakukan oleh perempuan itu. Dia sudah tak punya daya lagi untuk bergerak.

“Ayo, mulailah tugasmu…” ujar salah seorang wakil Gampo Bumi.

“Ayoo, ayooo…” seru yang lain.

Perempuan itu berumur sekitar tiga puluh lima tahun. Tubuhnya aduhai, wajahnya cantik, kalau tidak cantik, mana mau penyamun penyamun itu memeramnya di markas mereka.

Semula perempuan itu berniat melarikan diri. Tapi sebuah tamparan dari Gampo Bumi membuat dia jatuh terduduk di tanah.

“Mulailah! Atau kepalamu juga saya penggal!”

Mendengar ancaman Gampo ini, perempuan itu tegak lambat lambat. Sebuah gendang tiba tiba dipukul dengan irama hangat. Perempuan itu meliuk liukkan tubuhnya. Penyamun penyamun itu bersorak dan bertepuk mengikuti liuk tubuh perempuan yang menggairahkan itu.

Jika tadi hiburan mereka berupa perkelahian saling bunuh sesama mata mata, kini berupa tarian yang merangsang. Makin cepat irama gendang makin menjadi jadi liuk dan goyang pinggul perempuan itu.

Tiba tiba gendang berhenti. Perempuan itu juga berhenti goyang tubuhnya. Gendang dipukul satu satu, dan dengan mengikuti suara gendang, perempuan itu perlahan lahan menanggalkan kain yang membalut tubuhnya yang hitam manis dan padat berisi.

Pekik penyamun itu makin menjadi tatkala kain perempuan itu tergeletak di tanah. Dengan tubuh hanya berbalut kain dari pinggang ke bawah, goyang perempuan itu makin menjadi. Makin menjadi dan makin merapat pada Cudai. Makin rapat, hingga tubuh mereka bergeseran.

Cudai bukannya terangsang. Malah jadi muak. Dia ingin muntah. Tiba tiba perempuan itu mencabut pedang dari pinggang seorang penyamun, mata Cudai terbeliak takut. Lalu tiba tiba dia menebas kepala Cudai.

Tragis benar nasib lelaki yang menjadi mata mata Belanda ini. Dia disudahi oleh perempuan bertelanjang dada, yang justru belum beberapa saat sebelumnya dia nikmati tubuhnya. Kepala Cudai terguling ke tanah. Darah menyembur dari lehernya yang putus.

Penyamun penyamun itu bertepuk tangan dan bersorak. Perempuan itu rubuh tak sadarkan diri. Betapa pun juga, harkat kewanitaannya tak bisa menerima perlakuan yang melebihi hewan itu. Tubuhnya dipangku kembali ke perkampungan di atas bukit.

Kepala Cudai dan kepala Stein dibungkus dengan kain merah. Tubuh mereka diperdiarkan tergeletak di rimba itu. Dan acara hiburan bagi para penyamun hari itu berakhirlah sudah. Bukit itu kembali sepi. Kembali menjadi Bukit Tambuntulang yang menegakkan bulu roma.

Tak seorang pun yang tahu, kapan kekejaman dan pembantaian di kawasan ini akan berakhir. Banyak cerita yang dituturkan turun temurun tentang tragedi di bukit ini.

oOo

Hari itu adalah hari balai di Kabunsikolos dan sekitarnya. Orang orang dari sekitar kampung itu pada berdatangan ke balai. Namun kehebohan besar terjadi.

Semua orang berkumpul di depan markas Kapten Verde. Mereka pada menjauh dan tegak dengan perasaan takut. Di depan markas VOC itu lebih dari selusin serdadu Kompeni kelihatan berjaga dengan senjata terhunus.

Tak lama kemudian terdengar derap kuda mendekat. Yang datang tak lain dari Kapten Verde. Dia turun di depan markas. Kemudian kelihatan menanyai komandan markas. Komandan markas itu, seorang letnan, menunjukkan ke sebuah pohon empat puluh depa di depan markas.

Kapten itu melangkah ke pohon tersebut diiringi oleh selusin anak buahnya. Di bawah pohon dia berhenti. Tubuhnya kelihatan menggigil karena berang. Sumpah serapahnya terdengar melengking lengking.

Dia meraih sebuah bedil dari anak buahnya. Kemudian mengarahkan pada orang orang yang tegak menyaksikan peristiwa itu. Bedil belansa itu meledak. Terdengar pekik dan jerit dari penduduk yang terkena tembakkan kapiten itu.

Bersambung ke Bag 56…

Catatan Redaksi diatas foto Pulau Batu Kereta Painan Sumbar tidak ada hubungan dengan cerita ini.

One thought on “GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh; Makmur Hendrik) Bag ke 55

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *