GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh; Makmur Hendrik) Bag ke 56
Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 55 klik disini;
Sambungan dari Bag 55
Tiga orang segera rubuh terkena serpihan peluru bedil balansa itu. Yang lain pada berlarian panik. Dalam waktu yang sangat singkat, pasar Kabunsikolos itu jadi sepi.
Sayuran, kain kain dan segala macam jualan pagi itu, ditinggalkan berserak oleh pemiliknya. Mereka lari menyelamatkan nyawa mereka dari amukan Kompeni yang kalap itu. Apa yang terjadi?
Di dahan kayu di depan markas Kompeni itu, ternyata tergantung dua buah kepala. Kepala pertama adalah kepala Cudai. Kepala kedua adalah kepala Stein. Kepala mereka digantung dengan mengikatkan tali pada rambut mereka yang mengental oleh darah. Kemudian digantungkan pada dahan kayu tersebut.
Pada batang kayu besar dimana kepala itu tergantung, sebuah surat yang ditulis dengan darah dipakukan dengan memakai sebuah pisau. Siapa saja yang lewat dapat membaca tulisan merah itu. Dan Kapten Verde juga membacanya.
Surat itu tanpa tanda tangan. Tanpa nama pengirim. Tapi jelas siapa yang menempelkannya di sana. Pastilah pihak penguasa Bukit Tambuntulang. Kepala serta surat berdarah itu nampaknya ditaruh malam tadi. Ketika semua penjaga tengah tertidur di dalam dinginnya malam yang menusuk tulang.
Kapten Verde memerintahkan menurunkan kedua kepala itu. Kemudian dia merobek surat tersebut. Lalu berjalan ke markasnya. Di dalam markasnya, dia membariskan anak buahnya. Dia menanyai siapa yang piket malam tadi. Dua orang serdadu maju ke depan.
Kalian lihat siapa yang menggantungkan kedua kepala itu di sana?
Keduanya menggeleng, dan keduanya tiba tiba kena tampar oleh si kapten.
Kemana saja kalian, malam tadi! bentaknya.
Kedua serdadu itu belum sempat menjawab. Tatkala tamparan Verde kembali menghujam muka mereka berkali kali.
“Tangkap dan kurung mereka sepekan!” perintah Verde setelah dia puas menangani anak buahnya yang lalai itu.
Dua orang kurir segera dia utus ke Fort de Kock membawa suratnya. Kurir itu mengendarai kuda. Menjelang sore, kurir itu datang kembali bersama dua puluh pasukan berkuda yang dikirim oleh Kolonel De Cappelen.
Kini, setelah ditambah dengan dua puluh orang pasukan berkuda, maka Kapten Verde memiliki lima puluh orang pasukan berkuda dengan senjata lengkap. Kapten Verde segera menyusun siasat. Dia tahu, bahwa keenam mata mata yang dia kirim, sudah terbunuh semua di Bukit Tambuntulang itu.
Berita kematian mata mata itu, dan pertempuran beberapa bulan yang lalu antara pasukan berkuda Kompeni dengan penyamun di Tambuntulang, yang berakhir dengan kocar kacirnya pasukan berkuda Kompeni itu, membuat berang yang amat sangat di hati Jenderal De Kock.
Perintahnya jelas, agar penyamun itu disikat semua. Maksud semula membiarkan penyamun penyamun itu tetap di sana, agar mereka terus mengacau keamanan di Minangkabau, dan dengan demikian permusuhan antara orang orang Minang tetap berlangsung, tak boleh lagi diteruskan.
Artinya, penyamun penyamun itu tak boleh lagi dibiarkan berkuasa di sana. Sebab mereka telah berani membunuh serdadu serdadu Kompeni. Karenanya mereka harus dilenyapkan.
Gerak cepat nampaknya dilakukan oleh Verde. Esok paginya, dia sendiri memimpin pasukan berkuda itu menyerbu ke Bukit Tambuntulang. Namun sial lagi-lagi menimpanya, ketika dia sampai di jempatan kayu di Silaiang Kariang, jembatan itu tiba tiba runtuh.
Untung saja tak ada korban nyawa. Daerah itu tak mungkin dituruni tanpa jembatan. Kalau akan melanjutkan perjalanan, maka orang harus merayap di dinding batu yang terjal belasan meter dalamnya. Anak buah Gampo Bumi telah meruntuhkan jembatan itu untuk menghalangi serbuan mereka!
Jalan lain tak ada. Di kiri menganga jurang yang dalam dan berhutan lebat. Di kanan tegak batu cadas menjulang tinggi. Jalan lain tak mereka jumpai. Kalau akan ke Bukit Tambuntulang juga, maka jalan harus memutar ke tepi Danau Maninjau di Luhak Agam, atau ke tepi Danau Singkarak di Tanahdatar.
Itu bisa memakan waktu sebulan lebih. Dari segi taktis, jelas ini tak ada manfaatnya. Dengan menyumpah nyumpah Verde memimpin pasukannya kembali ke Kabunsikolos. Penyerangan ke Tambuntulang itu batal sudah.
Namun ketika dia sampai ke Kabunsikolos, dia kembali dibuat terkejut. Markas yang pagi tadi dia tinggalkan kini telah jadi abu. Empat orang serdadu Kompeni yang dia tinggalkan semua tergeletak tanpa nyawa. Dia memandang keliling.
Api sudah berhenti memamah bangunan yang mereka jadikan markas itu. Puing puingnya kelihatan mengepulkan asap diantara reruntuhannya. Kampung itu sepi. Usahkan manusia, bahkan ayam dan kerbau pun yang selama ini sering gentayangan di jalanan, kali ini tak kelihatan.
Dia lalu memerintahkan pasukan berkudanya untuk menangkapi sepuluh lelaki di negeri Kabunsikolos, Tanahhitam dan Gunung. Dalam waktu yang tak begitu lama, kesepuluh lelaki itu berhasil mereka dapatkan. Mereka tak mau tahu apakah lelaki lelaki yang mereka tangkap itu berkeluarga atau tidak.
Kesepuluh lelaki itu dibariskan dengan tangan terikat di depan markas yang telah jadi abu tersebut. Kapten Verde memerintahkan untuk membuka baju mereka semua. Serdadu Belanda yang lima puluh orang itu melaksanakan tugas tersebut.
Verde tegak di depan mereka. Hari sudah menjelang sore.
Siapa di antara kalian yang melihat atau mengetahui siapa orangnya yang membakar markas ini?
Tak ada yang menjawab. Tak satu pun. Verde mencabut pistolnya. Sebuah letusan bergema.
Bersambung ke Bag 57…
Catatan: foto ilustrasi adalah Lisda Hendrajoni ketua IPEMI Sumbar, tak ada kaitan dengan cerbung ini.