GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 63..
Bagi yang belum membaca bag 1 s.d bag 62, klik disini;
Sambungan dari bag 62..
mata Melayu yang melaporkan kejadian ini….
Mereka menatap keliling. Ada tiga ekor kuda yang tegak diam dekat mayat Belanda Belanda itu. Tanpa menunggu waktu berlalu lebih lama, kedua lelaki itu mendekati dua ekor kuda. Sambil naik yang satu terdengar berkata.
“Berbahaya berada di sini sanak. Naiklah ke atas kuda yang satu itu. Bawa serta gadis itu. Kalau kau tinggalkan, dia akan dibuat sengsara oleh Ulando Ulando itu. Cepatlah, sebelum terlambat…!”
Tanpa menunggu jawaban, kedua mereka lalu memacu kuda ke arah yang berlawanan dengan datangnya bunyi derap kuda. Dari ujung jalan yang lain, muncul sepasukan tentara Kompeni berkuda. Si Giring Giring Perak sebenarnya amat mudah buat menyelamatkan diri.
Sekali tubuhnya bergerak, dia sudah bisa menghilang di balik rumah atau sudah berada jauh dari situ. Tapi dia khawatir pada nasib gadis yang dia selamatkan tadi. Dan juga khawatir pada nasib kedua lelaki yang baru saja melarikan diri dengan kuda Belanda tersebut.
Bila tentara Kompeni yang baru datang itu memburu terus, kedua orang itu pasti tertangkap. Sebab dari cara mereka mendepak kuda pertama kali tadi, dia sudah melihat bahwa kedua lelaki itu hanya bisa naik kuda. Hanya bisa. Tidak mahir.
Sementara tentara Kompeni itu adalah penunggang penunggang kuda yang mahir. Dengan perhitungan begini anak muda itu melompat pula ke punggung kuda yang masih tersisa. Kemudian sekali sambar gadis yang tadi dia tolong, kembali terduduk di atas pelana, di depannya.
Serdadu Kompeni itu sudah dekat. Si Giring Giring Perak memacu kudanya ke arah Selatan. Yaitu kearah yang berlainan dengan arah lari kedua lelaki tadi. Tentara Kompeni yang baru datang itu melihat dia melarikan diri dengan kuda milik mereka.
Komandannya segera memerintahkan untuk memburu. Empat orang di antaranya segera tinggal mengurus mayat – mayat teman mereka. Sementara sebelas orang lainnya memburu si Giring Giring Perak.
Anak muda itu melarikan kudanya arah ke Luhak Limapuluh. Dia menjaga jarak agar tetap terlihat oleh pemburunya. Dengan demikian dia ingin serdadu itu benar benar jauh dari arah yang dituju oleh kedua lelaki tadi.
Kejar mengejar itu berlangsung cukup lama. Ternyata serdadu Kompeni ini tak bisa menandingi anak muda itu dalam memacu kuda. Kuda yang ditunggangi anak muda itu tetap berada jarak yang tak berobah.
Padahal serdadu itu telah mengerahkan seluruh kepandaian mereka dalam memacu kuda. Kuda yang dia tunggangi bersama gadis itu, seperti tak merasakan beban sedikit pun. Anak muda itu mempergunakan ilmu si ringan ringannya yang sempurna.
Setelah merasa cukup jauh membawa serdadu itu, di sebuah kaki bukit dia lalu membelok ke kanan. Kemudian dengan cepat mengambil jalan memutar. Rimbunnya hutan menyebabkan dia terlindung dari pandangan serdadu serdadu itu.
Kini dia dengan aman melanjutkan perjalanan. Ketika akan menyeberangi sebuah sungai yang berbatu dan dangkal, dia menghentikan kudanya. Gadis yang di depannya dia turunkan. Kuda tersebut dia biarkan minum air sungai yang jernih itu dengan puas.
Dia sendiri juga harus. Dia meneguk air sungai itu. Terasa sejuk dan menyegarkan.
Hei, tidak haus? tanyanya pada si gadis yang tegak terpaku di belakangnya.
Ketika dia menoleh, dia jadi tertegun. Gadis itu tegak menatapnya dengan sinar matanya yang bening. Mukanya yang bundar dengan alis tebal hitam serta hidung yang mancung membuat dia seperti peri di tengah rimba sunyi itu. Gadis itu menatapnya terus dengan diam. Dia kikuk dengan pakaiannya yang robek robek.
Tidak haus? tanya lagi.
Gadis itu tak menjawab. Tapi dia berjalan perlahan ke tepi sungai. Berjongkok di sebelahnya. Kemudian menyauk air sungai yang dingin itu dengan tangannya. Dan meneguknya perlahan. Sebondong anak ikan berwarna warni lewat di depan mereka. Bekejaran di antara batu batu sungai.
Gadis itu menatap ikan ikan yang bekejaran itu. Kemudian mengangkat kepalanya. Menoleh pada si Giring Giring Perak. Matanya yang bersinar gemerlap kembali menatap dengan diam.
“Terima kasih, Uda telah menyelamatkan nyawa dan kehormatan saya….”
“Tidak usah dipikirkan. Kemana engkau akan kuantarkan?”
Gadis itu tidak menjawab. Malah mulai menangis terisak isak.
“Tenanglah. Kita sudah selamat. Kini engkau harus pulang agar orangtuamu tidak cemas….”
“Abangku….”
“Ada apa dengan abangmu….”
“Dia meninggal di kedai itu. Lehernya ditebas oleh Belanda dengan kelewang….”
Si Giring Giring Perak terdiam. Dia teringat pada dua mayat yang tergeletak di Pasar Banto itu. Rupanya salah satu adalah abang gadis itu.
“Mengapa Belanda sampai membunuhnya?”
Gadis itu masih terisak. Si Giring Giring Perak menantinya dengan sabar. Ketika gadis itu sudah agak reda tangisnya, dia kembali bertanya.
“Kenapa Belanda sampai membunuh abangmu dan teman temannya?”
“Mereka diketahui menyusun kekuatan bersama Tuanku Nan Renceh….”
“Oo. Saya sering mendengar tentang Tuanku Nan Renceh. Pemuka Islam di Tilatang Kamang. Patutlah abangmu mereka buru. Belanda sedang marah karena pembunuhan serdadu serdadunya di Kabunsikolos….”
Gadis itu masih menatapnya. Dia memperhatikan anak muda yang telah menolongnya ini. Anak muda yang sering dibicarakan di rumahnya ketika ada rapat rapat beberapa pemuka Islam dimana ayah dan abangnya ikut jadi penggerak.
Mereka, lelaki lelaki yang ikut rapat itu, sering membicarakan anak muda tangguh ini. Anak muda yang menaklukkan Gampo Bumi dan Pandeka Sangek. Dua orang seperguruan dari Tambuntulang. Suatu hal yang selama ini tak pernah bisa dibayangkan orang akan terjadi. Kiranya inilah anak muda itu.
“Engkau sendiri mengapa hadir di sana tadi?”
Gadis itu terkejut dari lamunannya mendengar pertanyaan ini.
“Saya disuruh emak membeli lemang….”
“Tapi kenapa abangmu dan teman temannya juga berada di dalam?”
“Kedai itu memang kedai kami….”
“Hmm. Siapa yang menjalankan jual beli dikedai itu?”
“Adik ayah. Dan dia termasuk yang mati bersama abang….”
“Yang terikat dan melarikan diri dengan kuda Belanda itu?”
“Lelaki yang dua tadi?”
“Ya…”
“Mereka juga pengikut Tuanku Nan Renceh….”
“Hei, siapa namamu?”
Gadis itu menunduk. Mukanya bersemu merah. Anak muda itu tahu gadis ini seorang pemalu. Nampaknya anak seorang bangsawan. Itu terlihat dari pakaiannya dan juga cara dia bicara.
Saya sendiri tidak punya nama. Maksud saya, saya tak pernah tahu siapa nama saya. Juga ayah dan bunda saya. Bahkan saya tak tahu dimana saya dilahirkan. Satu satunya tanda diri saya adalah giring giring perak yang saya pakai ini.
“Saya berharap suatu saat ada orang yang pernah mengenal saya atau keluarga saya. Karena saya sering memakai giring giring perak. Nah, siapa namamu, Dik?”
Gadis itu masih tetap menatapnya dengan sinar mata yang lembut. Ketika dia juga balas menatap, gadis itu menunduk dan menjawab perlahan.
“Nama saya Nuri….”
“Nuri….?”
“Ya, Nuri, kenapa ?”
“Nama yang indah. Mengingatkan saya pada burung nuri yang berbulu indah….”
Gadis itu menunduk malu. Mukanya bersemu merah. Namun di balik mukanya yang merah, si Giring Giring Perak yang bertelinga amat tajam dapat mendengar suara gelang gelang di perut gadis itu berbunyi.
Bersambung ke Bag 64..
Catata Redaksi : Foto arak arakan anak Daro Jo marapulai (mempelai wanita dan pria)) diatas sebuah prosesi adat dalam acara pernikahan disalah satu Kabupeten di Sumbar. Foto ini tidak ada sangkut pautnya dengan cerbung ini.