.Cerita Bersambung

GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh : Makmur Hendrik ) Bag 65

Bagi yang belum baca 1 s.d bag 64 klik disini;

GIRIANG GIRIANG PERAK ( Oleh: Makmur Hendrik) Bag 64..

Sambungan dari bag 64…

“Saya duduk di depan sajalah…’ katanya dengan wajah pucat.

“Di depan?”

“Ya…”

“Tunggulah di atas pendakian sana… kini pegang saja kuat kuat….”

“Tidak. Saya pindah saja ke depan…”

“Tidak mungkin sekarang. Kuda ini melorot ke bawah kalau dihentikan di tengah tebing ini… pegang saja kuat kuat, akan saya bantu agar engkau tak jatuh….”

Nuri tak bicara lagi. Meski dia tetap takut, tapi dia memeluk tubuh anak muda itu erat erat dari belakang. Ketakutan akan jatuh menghilangkan rasa malunya. Tak lama kemudian kuda itu sampai di puncak tebing. Si Giring Giring Perak menghentikan kudanya.

“Nah, turunlah agar saya juga dapat turun. Agar engkau bisa pindah ke depan….”

Tapi Nuri berobah pula pendiriannya. Dia lihat jalan telah datar. Nah, bukankah tak ada lagi kemungkinan untuk jatuh? Karenanya dia lalu berkata.

“Saya tak jadi pindah ke depan. Biar saja di sini. Jalan sudah datar bukan?”

“Yah. Jalan sudah datar. Nah kalau begitu pegang kuat kuat….”

Kemudian dia mulai menjalankan kuda itu. Mula mula perlahan. Tapi karena hari sudah sore, dia mempercepat lari kudanya. Nuri mula mula merasa aman di belakang. Tapi karena kuda berlari kencang, dan dia berada di belakang dia jadi terguncang guncang kuat.
Perutnya terasa sakit terguncang guncang begitu. Tapi dia malu untuk mengatakan mau pindah lagi. Dia tahan saja ketakutan dan sakit perutnya. Namun si Giring giring Perak dapat menangkap suara keluhannya yang tertahan. Anak muda itu menghentikan kudanya.

“Kenapa Nuri?”

“Tidak. Tidak apa apa… teruslah….”

Si Giring Giring Perak tersenyum. Dia jadi hiba pada gadis ini. Perlahan dia pegang tangan Nuri, kemudian menurunkannya. Gadis itu tak menolak. Wajahnya sudah pucat karena menahan sakit perut disebabkan goncangan lari kuda.

Anak muda itu kemudian menaikkannya ke depan. Nuri tak menolak. Kini dia berada dalam pelukan si Giring Giring Perak. Dia tak usah lagi mengeluarkan tenaga untuk memegang agar tak jatuh.

“Kau bisa tidur….” kata anak muda itu ketika dia mulai menjalankan kudanya perlahan.

Nuri yang duduk menyamping, memejamkan mata. Dia memang lelah dan mengantuk. Ketika kuda itu berlari kencang, dan angin bersuitan membelai tubuh mereka, dia tak dapat menahan kantuknya.
Dia menyandarkan kepala ke bahu anak muda tersebut. Kemudian tertidur. Si Giring Giring Perak tersenyum melihat gadis itu tidur. Tangan kanan memegang tali kekang kuda. Tangan kirinya memeluk tubuh Nuri agar tak jatuh.

Kampungpisang dimana gadis itu tinggal adalah sebuah kampung yang terletak di sebuah bukit di barat Fort de Kock. Antara benteng Tuan Kock dengan bukit itu dipisahkan oleh sebuah ngarai yang lebar dan amat dalam. Yaitu Ngarai Sianok.

Hari sudah sore ketika kuda yang mereka tunggangi memasuki kampung itu dari arah matahari terbenam. Orang orang kampung kelihatan sepi.

“Sepi… kata si Giring Giring Perak Perlahan.”

Nuri yang masih duduk di depannya menatap heran. Tak biasanya kampung ini sepi.

“Terus saja ke ujung kampung….” katanya perlahan.

Ketika mereka hampir sampai ke ujung kampung, mereka melihat orang berkerumun di sana. Orang orang kampung itu pada menoleh. Lalu mendekati mereka. Mereka dikejutkan oleh bunyi giring giring yang berdering perlahan.

“Rumah yang ramai itu adalah rumah kami…’ kata Nuri perlahan, memandang ke arah kerumunan orang kampung itu.

Si Giring Giring Perak melihat ke arah rumah itu. Dia telah menjalani hampir seluruh kampung itu tadinya. Rumah gadis ini ternyata rumah yang paling besar dan paling indah di seluruh kampung. Nampaknya dia seorang kaya, atau seorang bangsawan. Tapi bangsawan mana yang bertempat tinggal di Kampungpisang ini?

“Itu Puti Nuri Pualam Biru…” salah seorang berseru.

Yang lain pada berkerumun. Salah seorang kelihatan berlari ke rumah besar tersebut.

“Hmm, Puti Nuri Pualam Biru…” si Giring Giring Perak bergumam perlahan.

Nuri menoleh padanya.

“Puti telah sampai ke rumah…’ katanya perlahan.

Nuri merasa ada nada lain dalam ucapan anak muda yang telah menolongnya itu. Semacam nada rendah diri. Kuda mereka tetap melangkah, kini menyeruak di antara kerumunan orang kampung yang berbisik bisik sesamanya.

Bayangkan, seorang gadis, Puti pula, kini berkuda dalam pelukan seorang anak muda di atas kuda. Kuda itu berwarna hitam legam. Dan yang menarik adalah anak muda yang memeluk Puti itu. Seorang anak muda yang berpakaian serba putih, berikat kepala putih.
Kelihatannya seperti seorang sastrawan. Bertubuh semampai. Beberapa orang yang tadi ada di Pasar Banto segera mengenalinya. Bahwa anak muda inilah yang telah melanyau keempat serdadu Belanda itu.

Si Giring Giring Perakkah dia? bisik orang orang di pinggir jalan.

Siapa lagi yang berpakaian serba putih dan tangguh selain dari pemilik nama itu? yang lain menyela sambil berjalan mengikuti kuda tersebut.

Dan akhirnya kuda itu sampai di depan rumah adat besar beratap ijuk itu. Di depan rumah, beberapa penghulu kelihatan berdiri. Nuri turun dari kuda itu perlahan dengan berpegangan pada tangan si Giring Giring Perak. semua pada diam menatapnya.

Anak muda itu mengedarkan pandangannya keliling.

“Assalamualaikum….” katanya perlahan.

“Waalaikum salam …” hampir serentak tapi berlahan pula, semua yang hadir di sana menyahuti.

Si Giring Giring Perak masih tetap di atas kuda hitam itu. Menatap orang orang yang berdiri memandang ke arahnya. Ada ketegangan kelihatan mencekam mereka. Tiba tiba mereka menoleh ke arah belukar di belakang rumah gadang itu.

Dari balik balik semak, muncul dua orang lelaki berpakaian serba hitam. Nampaknya baru dari perjalanan yang jauh. Seorang penghulu maju ke depan.

“Bagaimana?” tanyanya pada kedua lelaki yang datang itu.

Yang lain mendengarkan dengan diam.

“Mereka memang mengadakan pembersihan. Tapi arahnya tidak kemari. Tak ada tanda tanda bahwa mereka mengetahui kita di sini….”

“Syukurlah. Tapi apakah pengawasan di puncak ngarai tetap dilakukan?
Semua tetap seperti itu. Tak berobah….”

“Baik. Kembali saja ke sana. Kami menanti

Bersambung ke bag 66..

Foto diatas bukan Nuri yang ada dalam cerita ini tapi dia adalah Lisda Hendrajoni calon anggota DPR-RI dari Partai Nasdem. Tak ada kaitannya dengan cerita bersambung ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *