Cerita Bersambung

GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh : Makmur Hendrik ) Bag 66

Bagi yang belum baca bag 1 s.d bag 65 klik disini;

GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh : Makmur Hendrik ) Bag 65

Sambungan dari bag 65…

setiap perkembangan baru di sini. Lagi pula Puti Pualam telah kembali….”

“Alhamdulillah. Kami pergi dulu, Datuk…. Assalamualaikum….”

“Walaikum salam. Selamatlah….”

Kedua lelaki tadi kembali bergegas ke belukar darimana mereka datang tadi. Kemudian lenyap di sana. Penghulu tadi kemudian berbalik, menghadap pada si Giring Giring Perak yang masih duduk di atas kudanya. Wajahnya kali ini kelihatan cerah. Tidak setegang tadi. Demikianlah pula seluruh penduduk.

“Selamat datang di kampung kami anak muda. Kalau saya tak salah tafsir, Sutan adalah anak muda perkasa bernama si Giring Giring Perak….”

Si Giring giring Perak menatap lagi keliling. Penduduk negeri ini nampaknya dalam keadaan cemas.

“Saya hanya anak yang tak tahu siapa ayah bunda saya….”

“Maafkan kekakuan kami tadi. Kami khawatir akan pembalasan Belanda. Sutan telah menolong puteri kami di balai tadi. Terima kasih. Silahkan naik ke rumah….”

Dia menoleh ke rumah gadang itu. Gadis yang dia tolong tadi tak kelihatan lagi. Tapi jelas, di atas rumah ada beberapa perempuan dan lelaki. Semua menatap ke bawah, ke arahnya.

“Naiklah. Semua penduduk di sini adalah sahabat Sutan….”

Anak muda itu turun dari kuda hitam yang dia rampas dari serdadu Kompeni pagi tadi. Suara giring giring perak berdering saat kakinya mencecah tanah. Suara deringnya yang sayu melantun ketika dia melangkah.

Semua orang memandangnya dengan kagum bercampur hiba. Cerita tentang dirinya, tentang seorang anak muda yang mencari ayah dan bundanya, yang selalu memakai giring giring kemana pun dia pergi, telah duluan tersebar.

Dia membasuh kaki di anak tangga. Kemudian dengan mengucap salam, dia mengiringkan lelaki tua tadi naik ke rumah. Di atas rumah dia disalami oleh lelaki tadi.

“Saya Datuk Nan Hitam. Mamak Puti Nuri Pualam Biru yang Sutan selamatkan tadi. Saya atas nama keluarga kami, mengucapkan terima kasih… Hanya Tuhan jua yang akan membalas budi Sutan….”

Dia tak menjawab. Perhatiannya tertarik pada sesosok jenazah yang terbaring di tengah ruangan. Dia menatap mayat yang ditutup kain itu.

Dia adalah Sutan Fadil Alamsah. Kakak Puti Nuri yang mati di balai tadi. Kami berhasil melarikan mayatnya ketika Belanda tengah memburu Sutan waktu melarikan diri dengan Puti tadi….

Ucapan datuk ini terhenti tatkala di pintu ruang tengah muncul seorang lelaki. Datuk itu bergegas berdiri. Demikian pula semua orang di sana. Lelaki itu sudah tua. Rambutnya sudah memutih. Tapi dia kelihatan agung.

Pakaiannya terbuat dari beludru hitam mengkilat dengan sulaman benang emas. Semua orang yang ada dalam ruangan itu kelihatan amat menghormati lelaki ini. Begitu muncul, lelaki tua itu menatap lurus lurus pada si Giring Giring Perak.

“Selamat datang di rumah kami, anak muda. Terima kasih atas bantuanmu pada anak gadis saya. Juga pada teman teman kami yang dibunuh Belanda….”

Si Giring Giring Perak tidak menyahut. Dia hanya menatap diam. Ada yang aneh dalam sikap orang orang di rumah ini terasa di hatinya. Mereka kelihatan adalah kaum bangsawan. Kenapa harus berada di Kampungpisang ini?

Tapi dia tak sempat bertanya, karena saat itu orang orang mengadakan upacara penguburan Sutan Fadil Alamsah. Kakak Puti Nuri. Selesai penguburan nasi telah terhidang di rumah. Mereka makan bersama. Tapi si Giring Giring Perak tak melihat Puti Nuri.

“Kulihat engkau merasa heran dengan kehadiran kami di kampung ini….”

Datuk Nan Hitam berkata perlahan setelah mereka selesai makan. Anak muda itu terkejut akan ketajaman firasat datuk ini.

“Kami memang bukan penduduk asli kampung ini….” ujar datuk itu.

Kami dari Limo Kaum. Dua puluh tahun yang lalu negeri itu terlibat dalam pertikaian antara suku. Pertikaian itu berobah menjadi perang berkuah darah. Peperangan tidak hanya terbatas pada suku yang bertikai saja.

Tapi siapa saja yang ada di negeri itu, harus ikut angkat senjata. Sebab mereka harus mempertahankan harta dan nyawa mereka. Kami termasuk orang yang dikalahkan. Kami melarikan diri dari pertempuran yang tak beradab itu.

Sejak itulah kami menetap di sini. Kami memilih tempat ini karena merasa aman. Ketika kami pindah kemari, negeri ini masih merupakan hutan belukar dan sedikit ladang. Kami datang empat keluarga. Kamilah membuka negeri ini menjadi kampung.

Kini sudah ramai. Penduduk yang semula di dasar ngarai sana, dan juga yang berada di kaki bukit ini, pada pindah kemari. Di sini tanahnya memang bagus untuk perkampungan. Itulah sebabnya, kenapa di kampung ini ada penduduk yang bertalian darah dengan Pagaruyung….

Si Giring Giring Perak mengangguk angguk kecil. Malam itu dia terpaksa tidur di rumah gadang tersebut. Tapi sampai larut malam. Puti Nuri tetap tak muncul. Lelaki tua yang gagah itupun tak kelihatan. Nampaknya kedua anak beranak tersebut memisahkan diri dalam bilik mereka.

Tapi persis tengah malam, bangsawan itu muncul dalam pakaian kebesarannya. Di sampingnya tegak Puti Nuri. Gadis itu juga dalam pakaian bangsawannya. Dia memakai baju kurung dari beludru berwarna kuning emas dengan bunga hitam.

Dia muncul dengan menundukkan kepala. Sekali ketika dia akan duduk di ujung ruangan, matanya melirik pada anak muda itu. Si Giring Giring Perak menjadi heran akan sikap keluarga ini.

Para penghulu nampaknya juga hadir menjelang tengah malam tersebut. Mereka mengambil tempat di sepanjang ruangan tengah. Si Giring Giring Perak dan Datuk Nan Hitam masih duduk di tempat mereka tadi. Nampaknya seperti ada rapat yang penting, pikirnya melihat kesibukan itu.

Dia sudah berniat untuk mengundurkan diri dari ruangan tersebut ketika ayah Puti Nilam, bangsawan Limo Kaum yang bernama Rajo Tuo itu bicara.

“Sutan, sekali lagi kami atas nama keluarga mengucapkan terima kasih atas bantuan Sutan terhadap anak gadis kami Puti Nuri….”

Si Giring Giring Perak jadi segan mendengar ucapan terima kasih itu masih diulangi. Namun sebelum dia menjawab. Orang tua anggun itu bicara lagi.

Anak muda, kami telah mendengar siapa engkau. Sudah sejak engkau menyelamatkan pengungsi pengungsi dari Pariaman itu di Bukit Tambuntulang. Kami sudah dihubungi oleh pengikut pengikut Datuk Sipasan yang berniat menyerang Belanda dua purnama lagi di Pariaman.

Kami telah menjanjikan bahwa kami akan ikut serta. Dari Luhak Agam ini ada tiga puluh lelaki yang akan ikut jihad Fisabilillah melawan Belanda di Pariaman itu nantinya. Mungkin itu tak banyak, tapi kalau Datuk itu bisa menghimpun tenaga dari luhak luhak yang lain rasanya akan cukup kuat….’

“Kini, ada soal rumit yang ingin kami sampaikan padamu….”

Orangtua itu memandang pada anak gadisnya. Puti Nuri menunduk.

Soal engkau dan puteriku, Puti Nuri Pualam Biru …

Si Giring Giring Perak jadi tertegun. Soal dia dengan Puti Nuri? Apa pula soal yang telah tumbuh? Seingatnya tak satu pun.
Jangan cemas, engkau tak membuat kesalahan apa pun dengan anak gadisku. Engkau hanya berniat menyelamatkannya dari tangan Belanda. Tetapi untuk kau ketahui, adalah terlarang bagi seorang gadis berpegangan dengan lelaki lain.

Jangan membantah dulu. Saya sudah katakan tadi, bahwa itu bukan salahmu. Engkau semata mata hanya ingin menyelamatkan anak gadisku. Bahkan semula dia duduk di belakang. Tapi karena dia takut jatuh, dialah yang meminta pindah ke depan. Itu pun tidak salah.

Tapi, kalian telah masuk ke kampung ini masih dalam keadaan engkau memeluk Nuri, sementara seluruh penduduk memperhatikan kalian. Itu juga..

Bersambung ke bag 67…

Foto diatas bukan Nuri dalam cerita ini, tapi foto Lisda Hendrajoni caleg DPR-RI dari partai Nasdem

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *