GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 68
Bagi yang belum baca bag 1 s d bag 67 klik link dibawah ini;
Sambungan dari halaman 67…
Tidak hanya itu, bahkan semua pengungsi dari Pariaman itu diam diam menyokong hubungan mereka. Mereka yakin, dengan anak muda itu Siti Nilam akan mendapatkan kebahagiaan. Mereka yakin kedua anak muda ini saling mencintai.
Hanya saja, Datuk Sipasan yang dulu di Silaiang pernah diutus teman temannya untuk meminang si Giring Giring Perak untuk Siti Nilam, sampai saat ini masih belum juga memulai rundingan itu. Dia tak menyampaikannya bukan karena apa apa. Tetapi pertama karena datuk ini mengambil jalan yang bijaksana.
Anak muda itu baru sembuh dari sakitnya. Bukankah kurang pantas begitu dia sembuh begitu disodorkan rundingan itu? Lagi pula, makin hari dia dan isterinya makin melihat, bahwa kedua anak muda itu saling mencintai.
Meski tak ada perbuatan mereka yang janggal, meski saling menahan diri, namun gerak gerik dan sinar mata keduanya, perasaan mereka saling bicara. Makanya Datuk Sipasan masih menunggu saat yang baik untuk membuka rundingan itu.
Ketika suatu hari si Giring Giring Perak mohon diri untuk pergi agak sepekan dua untuk menjalani beberapa kampung, untuk mencari keterangan kalau kalau ada orang yang mengetahui asal usulnya, datuk ini dan teman temannya melepas dengan lapang hati.
“Saya pergi takkan lama….” katanya.
“Saya doakan semoga lekas bersua apa yang sanak cari…” kata Datuk Sipasan.
Datuk juga mengerahkan semua temannya yang sama sama datang dari Pariaman, yang pernah diselamatkan anak muda ini dari penyamun di Tambuntulang, untuk mencari informasi tentang si Giring Giring Perak. tapi nasib anak muda itu mungkin belum baik.
Sampai hari itu, dia belum juga menemukan agak sepatah kabar tentang siapa dan dimana asal usulnya. Ketika akan berangkat meninggalkan rumah Datuk Sipasan di Balingka, dia mencari cari dimana Siti Nilam. Tapi penat dia melirik. Siti Nilam tak kunjung kelihatan.
“Siti berada di kebun…” ujar isteri Datuk Sipasan perlahan.
Muka si Giring Giring Perak bersemu merah. Kebun Datuk Sipasan berada pada jalan yang akan dia tempuh. Dia segera pamit. Di kebun yang terletak sesayup mata memandang dari rumah, dia menemukan Siti Nilam sedang menyiangi kebun kentang. Gadis itu pura pura sibuk.
Padahal sejak tadi dia menanti anak muda itu lewat. Dia tak mau berada di rumah saat anak muda itu akan pergi. Karena dia merasa takkan bebas berada di bawah tatapan Datuk Sipasan yang telah dia anggap sebagai ayahnya itu. Makin dekat Si Giring-Giring Perak makin gugup gadis itu. Dia makin pura pura sibuk.
“Siti.” dia menghimbau.
Gadis itu pura-pura terkejut. Pandangan mereka bertemu. Mereka saling tegak memandang, kemudian Siti Nilam menunduk.
“Saya akan pergi….”
“Saya sudah dengar malam tadi dari Uniang….”
“Takkan lama. Mungkin hanya sepekan dua….”
“Uda akan kembali kemari?”
“Tentu. Kemana lagi aku akan pergi. Hanya ada beberapa orang yang kuanggap dekat dengan diriku. Pertama guruku di Gunung Talang. Kedua Datuk Sipasan dan engkau yang telah merawat diriku…..”
“Kami berhutang amat banyak pada Uda. Apa yang kami lakukan tak sebanding dengan budi Uda….”
“Tak perlu hal itu disebut lagi Siti….”
Sebondong burung pipit terbang rendah. Hinggap di rumpun rumpun kentang tak jauh dari mereka tegak. Kenangan itu putus tatkala azan Subuh terdengar bergema.
Si Giring Giring Perak bangkit dari pembaringannya di rumah Puti Nuri itu. Sampai saat itu masih belum tahu apa jalan yang harus dia tempuh dalam menghadapi ikatan jodoh yang terasa aneh antara dia dengan Puti Nuri.
Dia turun ke halaman, mengambil wudhu. Dan bersama Datuk Nan Hitam menuju ke surau kecil tak jauh dari rumah bangsawan dari Limakaum tersebut. Selesai sembahyang, kaum lelaki yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu kelihatan berbincang serius.
“Pagi ini ada pertemuan di ujung kampung…. ” Datuk Nan Hitam, mamak Puti Nuri, berkata ketika mereka pulang dari surau.
“Gerakan Belanda menangkapi dan membunuh orang kita makin menjadi jadi. Pagi ini menurut kabar yang dibawa kurir, Tuanku Nan Renceh akan hadir dalam pertemuan ini….”
“Tuanku Nan Renceh?”
“Ya. Mungkin ada rencana untuk membalas perlakuan Kompeni yang biadab itu. Kalau engkau mau, engkau bisa hadir dalam rapat itu nanti….”
Si Giring Giring Perak tak menyahut. Tapi dia memang ingin benar hadir dalam pertemuan itu. Banyak hal yang ingin dia ketahui dari pertemuan tersebut. Dalam pertemuan itu pastilah berkumpul pendekar pendekar tangguh. Mereka tentulah mengetahui banyak tentang dunia persilatan Minangkabau.
Barangkali saja di antara para pendekar yang hadir itu ada yang kenal pada orangtuanya. Atau ada yang bisa memberikan informasi tentang asal usulnya. Ya, dari mereka pasti banyak informasi bisa didapat. Dia berniat untuk bisa hadir dalam pertemuan itu nanti.
Mereka naik ke rumah gadang tersebut. Kopi dan goreng pisang sudah terhidang. Lengkap dengan ketan padi baru. Rajo Tuo yang belakangan datang dari surau segera menggabungkan diri menghadapi minum pagi tersebut.
“Kalau tidak ada yang keberatan, saya ingin hadir dalam pertemuan dengan Tuanku Nan Renceh nanti….” ujar Giring-Giring Perak tatkala selesai minum.
Sebelum Rajo Tuo dan Datuk Nan Hitam menjawab, dia menyambung lagi, “Tapi barangkali ada hal hal penting dalam rapat itu yang akan dibicarakan. Barangkali ada baiknya saya hadir di akhir pertemuan saja….”
“Saya rasa kehadiranmu akan disambut dengan gembira oleh semua orang. Untuk kau ketahui, cerita tentang perkelahianmu dengan penyamun di Bukit Tambuntulang sudah tersebar kemana mana.
Kami tak usah menyembunyikan bahwa kami sangat berharap engkau bisa bahu membahu dengan kami dalam melawan keganasan Kompeni di Minangkabau ini. Tapi memang ada baiknya engkau tak langsung hadir di sana pada saat pertama.
Kami akan memberitahukan kedatangan serta niatmu untuk hadir pada Tuanku Nan Renceh. Dan akan ada orang yang menjemputmu nanti kemari….”
“Terima kasih…”
“Nah, kami berangkat dulu….”
Kedua bangsawan Limakaum itu, Rajo Tuo dan Datuk Nan Hitam segera turun dari rumah. Cahaya pagi baru membayang dari Gunung Merapi. Tak lama setelah kedua bangsawan itu turun dari rumah, Nuri muncul membawa nampan. Dia datang dengan kepala menunduk. Memakai kerudung tipis berwarna merah.
Hati gadis itu jadi berdebar saat berlutut di samping Giring-Giring Perak, mengumpulkan gelas dan piring bekas minum ayah dan mamaknya. Giring-Giring Perak segera ingat bahwa malam tadi dia minta untuk bisa bicara dengan gadis ini kepada orangtuanya.
Kini mereka hanya berdua di rumah itu. Ibu Nuri sejak selesai sembahyang Subuh tadi pergi dengan perempuan perempuan lain ke sawah yang tak jauh dari kampung tersebut. Bukankah kini kesempatan itu terbuka untuknya bicara?
Gadis itu sudah akan mengangkat nampan yang berisi gelas dan piring tersebut ketika dia memberanikan diri bersuara.
“Puti….”
Gadis itu tertegun. Masih duduk dan menunduk.
“Ada yang ingin kubicarakan dengan Puti….”
Gadis itu menoleh padanya. Menatapnya dengan sinar mata yang lembut dan berbinar gemerlap.
Nama saya Nuri. Nama itu yang saya beritahukan pada Uda ketika di rimba di tepi sungai kemaren bukan? ujar Nuri perlahan sebagai sebuah protes halus pada panggilan yang menyebutkan gelar kebangsawanannya. Dia tak suka dipanggil Puti.
Si Giring Giring Perak tersenyum. Gadis itu masih menatap dengan sinar matanya yang lembut itu.
“Saya antarkan piring ini ke belakang…” katanya perlahan.
Dia mengangkat nampannya dan berjalan ke belakang. Tak lama kemudian dia muncul lagi. Duduk bersimpuh di hadapan anak muda tersebut. Dia menatap sebentar, kemudian menunduk. Jarinya memainkan ujung selendang.
Si Giring Giring Perak kehilangan kata untuk memulai pembicaraan. Apa yang harus dia ucapkan? Cintakah kau padaku, begitukah memulainya? Ah, itu pertanyaan bloon. Aku cinta padamu, bagaimana kau? Pertanyaan inipun rasanya kurang masuk mat.
Atau begini: Ayahmu telah menunangkan kita, bagaimana sikap kita kini? Bertunangan sajakah kita atau langsung menikah? Ah, pertanyaan begini juga terasa tak berbudaya. Mana ada anak muda bertanya begitu. Jadi harus bagaimana, pikirannya jadi tak menentu.
“Tapi Uda akan membicarakan sesuatu. Kenapa hanya diam?” tiba tiba suara Puti Nuri mengejutkan dia dari kekalutan pikiran.
“Ya, ya, saya akan menyampaikan sesuatu. Tapi bagaimana harus memulainya?”
“Memulai apa?”
“Memulai bicara….”
“Sekarang bukankah Uda sudah bicara?”
“Tapi tidak terarah….”
“Terarah bagaimana….”
Giring giring Perak kehabisan kata. Aneh, kenapa dia jadi gugup menghadapi gadis ini? Karena dia bangsawan dengan gelar Puti itukah? Ah, tak mungkin. Baginya tak ada beda seorang Puti atau tidak. Lalu kenapa? Karena gadis ini memang cantik? Siti Nilam juga cantik. Kalau dipilih antara keduanya, akan sulit orang memilih.
Akhirnya dia meletakkan cincin dan keris emas yang dia terima malam tadi. Keris dan cincin itu dia letakkan di atas tikar di hadapan mereka. Puti Nuri tertegun. Lambat lambat tetapi pasti, wajahnya yang merah dadu berangsur jadi pucat.
Dia tak berani menatap si Giring Giring Perak. Anak muda itu sendiri tak tahu apa yang harus diucapkan.
Bersambung ke bag 69
Foto ilustrasi di atas adalah foto Lisda Hendrajoni caleg DPR-RI dari Partai Nasdem tak ada sangkut pautnya dengan nama Puti Nilam diatas.