Cerita Bersambung

GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 70

Bagi yang belum membaca bag 1 s.d bag 69 klik disini;

GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 69

Sambungan dari bag 69.

“Saya gembira bertemu dengan engkau anak muda. Saya dengar gurumu adalah seorang pendekar dari Gunung Talang. Kalau kami boleh tahu, siapakah nama gurumu yang mulia itu?”

Si Giring Giring Perak terlebih dahulu membalas penghormatan orangtua pengantuk itu. Dan dia termenung mendengar pertanyaan Datuk Nago ini. Bagaimana dia akan menjawab siapa gurunya?

“Saya memang anak dan murid yang malang. Saya tak mengenal siapa orangtua saya. Dan ketika saya dipungut oleh guru, dan berada bertahun tahun bersamanya, saya tetap tak diberitahu siapa nama beliau.
Sampai saat saya turun gunung, saya masih tetap tak diberitahu nama beliau, meskipun telah berkali kali saya tanyakan. Karenanya mohonlah saya dimaafkan, karena saya tak dapat menjawab pertanyaan yang terhormat Datuk Nago….”

“Hmmmm. Engkau seperti bayang bayang anak muda. Sulit diduga. Kalau engkau tak keberatan, barangkali kami dapat menebak siapa nama gurumu yang mulia itu. Yaitu dengan menyebutkan bagaimana ciri cirinya…”

Semua yang hadir pada berbisik, menimbulkan suara bergaung. Ada yang sependapat dengan Datuk Nago itu. Bahwa mereka mungkin bisa menunjukkan pada anak muda itu siapa nama gurunya. Yang tidak sependapat banyak pula.
Alasannya sedang gurunya sendiri tak mau menyebutkan namanya. Bukankah itu berarti bahwa si guru punya niat tertentu? Barangkali ada yang ingin dicapai oleh sang guru makanya dia merahasiakan namanya. Mungkin menyembunyikan namanya itu termasuk salah satu kunci penutup dari ilmu silat yang diterima anak muda itu.

Kalau kini mereka membukanya, bukankah mereka telah menyinggung perasaan guru anak muda ini? Suara bergalau terdengar. Untunglah Rajo Tuo, ayah Puti Nuri dapat mengatasi suasana dengan melanjutkan perkenalan itu.

“Maafkan saya, sebelum masuk pada acara yang lain, izinkanlah saya melanjutkan tugas saya, yaitu memperkenalkan beberapa orang lagi yang hadir di sini….”

Rajo Tuo memendarkan pandangannya keliling ruangan. Menanti kalau kalau tak ada yang menyanggah. Tapi karena semua diam, dan Datuk Nago yang punya usul menanyakan guru anak muda itu kelihatan telah bersandar kembali, dan matanya mulai pula terpicing, maka Rajo Tuo lalu bicara lagi.

Yang duduk di sebelah Datuk Nago, yang berbaju hijau dan berikat kepala hijau itu adalah Datuk Berbaju Kafan. Yaitu pendiri dan pencipta Silek Sacabiak Kain Sekayu Kasah dari Koto Anau. Baju dan ikat kepalanya yang berwarna hijau itu memang kain kafannya.

“Beliau telah dinyatakan mati. Mayatnya telah terbaring tiga hari tiga malam di hutan belantara, dan ketika mayatnya akan dikuburkan, Tuhan mentakdirkan dia hidup kembali. Dan sejak itu, beliau menciptakan Silat Secabik Kain Sekayu Kasah yang terkenal itu….”

Si Giring Giring Perak menengok pada lelaki yang ditunjukkan Rajo Tuo tersebut. Lelaki itu kurus semampai. Tapi dia yakin, di balik tulang belulangnya yang seperti akan tersumbur keluar itu tersembunyi ilmu silat yang tangguh.
Dari cara dia menoleh, bernafas, anak muda ini seperti dapat merasakan ilmu si ringan ringan lelaki ini luar biasa tingginya. Dia mengangguk memberi hormat. Suara lelaki itu terdengar serak dan bergema. Seperti orang yang berbicara di dalam lorong yang panjang.

“Hm… Rajo Tuo pandai berkhotbah. Mana ada orang yang mati bisa hidup kembali. Itu hanya bisa terjadi di zaman Nabi. Kini zaman Nabi telah lalu. Saya tidak mati waktu itu buyung. Jangan waang mau termakan isu yang diucapkan Rajo Tuo.”

Barangkali saya sedang semaput. Dan orang menyangka saya sudah pugat. Tiga hari tiga malam saya terbaring dan disangka orang mati. Lalu ketika sakit saya berangsur baik, dan saya bisa duduk, mereka melihat saya seperti melihat hantu. Mereka lari berketabungan.
Tapi bahwa saya bermimpi, melihat orang bersilat, kemudian silat dalam mimpi saya itu saya cobakan, kemudian dipelajari orang yang kini bernama Silat Secabik Kain Sekayu Kasah, itu memang benar.

Silat itu bernama Secabik Kain bukan karena saya memakai kain kafan. Tapi saat saya diduga mati itu, orang telah mencabik kain untuk kafan saya. Nah, mulai saat itu siapa pun yang ingin belajar silat pada saya, harus memakai ikat kepala dari kain kafan. Terserah darimana dia dapat. Yang penting cabik kain dari kafan orang mati….@
****
Bersambung ke jilid II,. Bag 71…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *