Prof Mahmud…! Ini Hikayat DODON Tea dan UMAR Galie
HIKAYAT
DODON TEA dan UMAR GALIE
Baca episode 1 s.d episode 22, klik disini;
Oleh : Ermanto Tolantang
(Komunitas Sansai Film, Padang, Indonesia
Episode (23)
Kami Muslim Taat
Pagi ini Buya Bahar datang ke lepau Emak Iyai dengan suasana yang begitu gelisah. Lipatan-lipatan kulit keriput di dahi Buya Bahar tidak bisa dipungkiri bahwa sesungguhnya beliau sedang dilanda ketersinggungan yang amat sangat. Jika sudah begitu, Emak Iyai sudahlah amat makfum akan suasana hati Buya Bahar. Oleh karena itu, Emak Iyai hanya mengangguk diam sembari meletakkan segelas kopi pesanan Buya Bahar persis di meja depannya. Umar Galie, Dodon Tea, dan Udin Kardus yang baru saja datang segera memaklumi suasana hati Buya Bahar.
“Tampaknya Buya sedang menghadapi perkara yang amat pelik,” sapa Umar Galie menyelinap dalam suasana hening di lepau Emak Iyai. Emak Iyai, Dodon Tea, dan Udin Kardus masih tetap bertahan dalam diam dengan seribu pertanyaan di dalam batinnya.
“Umar, siapakah yang tidak akan tersinggung dengan tudingan Tuan Mahmud itu,” ujar Buya Bahar sedikit menggigil dengan gigi geraham terdengar berderak-derak pertanda menahan amarahnya yang teramat sangat. Sesungguhnya belum pernah Buya Bahar yang teramat marah seperti suasana saat ini. Memperhatikan suasana yang teramat serius demikian, Emak Iyai, Dodon Tea, dan Udin Kardud mengambil posisi bijak dengan memilih diam namun tetap sungguh-sungguh mendengarkan kalimat-kalimat yang akan diucapkan Buya Bahar berikutnya.
“Benar Buya, sesungguhnya Umar dan Emak juga tersinggung seperti Buya. Batin kami tidak bisa menerima ucapan Tuan Prof Mahmud yang menuding kita pendukung calon kepala kampung 02 sebagai penganut Islam garis keras. Akan tetapi, kita tidak tahu juga dengan perasaan karibku berdua ini, Dodon Tea dan Udin Kardus, apakah dia tersinggung atas tudingan Tuan Profesor itu atau tidak Buya,” ujar Umar Galie sembari ujung matanya tertuju pada Dodon Tea dan Udin Kardus. Emak Iyai tertawa geli, sedangkan Dodon Tea dan Udin Kardus menunjukkan rupa wajah yang gelisah atas tudingan Umar Galie tersebut.
“Jika Tuan Prof Mahmud bijak, sesungguhnya janganlah tuding-menuding juga di antara kedua pendukung calon kepala kampung kita ini. Sebagai tokoh kampung, semestinya Tuan Mahmud sebagai cendikiawan muslim itu kembali menyatukan rakyat di kampung ini,” ujar Buya Bahar dengan suara yang masih meninggi.
“Benar Buya. Semestinya Tuan Profesor Mahmud memang demikian Buya. Harus menyatukan warga kampung,” sela Umar Galie.
“Kini Tuan Prof Mahmud seenakperutnya saja menuding kita sebagai penganut Islam garis keras. Tuan Mahmud tidak bisa memahami kita sebagai warga penganut Islam yang taat. Padahal kalau Tuan Mahmud ingin melihat dan memastikan betapa besarnya pohon kayu, harusnya datang dan lihatlah ke pangkal batang kayu tersebut. Jangan menilai besarnya kayu dengan memandangnya dari kejauhan. Agaknya Tuan Prof Mahmud tidak paham dengan perumpamaan itu,” jelas Buya Bahar dengan warna suara yang masih kesal.
“Atau bolehkah sebaliknya kita menuding mereka pemuja calon kepala kampung 01 sebagai warga penganut Islam garis lembek atau garis bengkok, Buya?” tanya Umar Galie. Mendengar kalimat Umar Galie yang terakhir wajah Dodon Tea dan Udin Kardus serempak menjadi merah karena tersindir.
“Umar Galie, jangan bersikap seperti itu! Ingat Umar, semarah-marahnya Buya, Buya tidak akan berbuat sama piciknya dengan pikiran Tuan Prof Mahmud. Kalau itu Buya atau kita lakukan, lalu apa bedanya Buya dengan Tuan Mahmud yang picik itu? Lalu apa bedanya kita dengan Tuan Mahmud yang picik itu?” jelas Buya Bahar.
Umar Galie tersadar dari keinginan berbuat picik oleh pituah-pituah Buya Bahar. Emak Iyai juga menggangguk setuju. Sementara, Dodon Tea dan Udin Kardus merasa tersindir sehingga pantatnya sudah gatal-gatal sejak tadi hendak meninggalkan lepau Emak Iyai.
Catatan; Foto ilustrasi tidak ada hubungannya dengan hikayat ini
Klik disini episode 24
UMAR Galie Bongkar Rahasia Kotak Suara Dari Kardus (Bag: 24)