Koordinator Integritas Padang Arief Paderi Minta; Muzni Zakaria Mundur
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Solok Selatan, Muzni Zakaria (MZ) sebagai tersangka beberapa waktu lalu. Terhadap kasus tersebut, Integritas Padang meminta tersangka mundur dari jabatanya sebagai bupati.
“Kami meminta kepada bupati untuk legowo mundur, karena dia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Seharusnya sebagai pejabat apabila ditetapi sebagai tersangka secara etis dan moral harus mundur, hadapi proses yang sedang berjalan,” kata Koordinator Integritas Padang, Arief Paderi dikutip harianhaluan.com, Senin (1/7/2019).
Ia menyampaikan alahkah tidak eloknya seorang bupati yang ditetapkan sebagai tersangka masih menjabat, apalagi kasusnya adalah gudaan tindak pidana korupsi. Dalaam undang-undang jika dia telah bertatus sebagai terdakwa maka itu otomatis non aktif sebagai pejabat nagar.
“Tetapi saat ini statusnya baru tersangka, seharusnya dia legowo untuk mundur dari jabatannya agar tidak menjadi polemik di publik,” kata Arief.
Selain itu, Arief juga meminta kepada KPK untuk mempercepat proses hukumnya, agar tersangka mendapatkan kepastian hukum dalam kasus yang tengah dihadapi oleh bupati tersebut.
“Kita juga mendorong KPK agar cepat menyelesaikan kasus tersebut,” katanya.
Sebelumnya KPK telah melakukan pemeriksaan terhadap Muzni pada Jumat (21/6), pasca ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan barang dan jasa pada 7 Mei 2019 lalu.
Tidak hanya Bupati Solok Selatan, pada hari sebelumnya KPK juga telah melakukan pemanggilan tersangka Muhammad Yamin Kahar. Dimana dia merupakan kontraktor swasta yang diduga memberikan sejumlah uang terhadap Muzni.
Diketahui sebelumnya, Bupati Solok Selatan periode 2016-2021 itu sebagai tersangka tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Solok Selatan.
Muzni selaku Bupati Solok Selatan diduga menerima hadiah atau janji dalam bentuk uang atau barang senilai total Rp460 juta dari pemilik grup Dempo/PT Dempo Bangun Bersama (DBD) Muhammad Yamin Kahar terkait dengan pengadaan barang dan jasa pada Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Pertanahan (PUTRP) Kabupaten Solok Selatan tahun 2018.
Berita sebelumnya,Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan menyampaikan kasus bermula ketika Pemerintah Kabupaten Solok mencanangkan beberapa proyek, di antaranya proyek pembangunan Masjid Agung Solok dengan nilai proyek Rp55 miliar dan proyek Jembatan Ambayan dengan nilai Rp14,8 miliar pada 2018.
“Pada Januari 2018, menyebut Muzni menemui Yamin untuk menawarkan proyek Masjid Agung Solok. Lalu, pada Maret 2018, Muzni kembali menawarkan proyek Jembatan Ambayan. Yamin berminat menggarap dua proyek itu,” katanya.
Atas kesepakatan itu, KPK menduga Muzni memerintahkan bawahannya untuk memenangkan perusahaan Yamin dalam lelang dua proyek tersebut.
“Diduga beberapa kali Muzni juga menagih fee proyek dari Yamin baik secara langsung maupun lewat perantara,” katanya.
Menurut Basaria, Yamin selanjutnya menyerahkan uang suap kepada Muzni dalam periode April hingga Juni 2019 dengan total Rp460 juta. Suap itu merupakan realisasi pembayaran untuk proyek Jembatan Ambayan.
“Sedangkan untuk proyek Masjid Agung, KPK menduga Yamin telah memberikan duit Rp315 juta kepada bawahan Muzni yang merupakan pejabat di Pemkab Solok,”
Basaria berujar dalam proses penyidikan kasus ini, Muzni telah mengembalikan uang sejumlah Rp440 juta ke KPK. Uang itu diduga merupakan sebagian dari uang suap yang diterima Muzni.
“Saat ini, kami belum menahan Muzni maupun Yamin. Namun, keduanya telah dicegah ke luar negeri selama 6 bulan oleh KPK sejak 3 Mei 2019,” katanya.
Untuk itu, Muzni disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara, Yamin disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (muta)