MENCIGAP SISTEM PERTAHANAN UDARA DAN ANTI DRONE INDONESIA

Oleh : Anton Permana.

Setiap negara mempunyai cara tersendiri untuk melindungi diri, kedaulatan wilayah, dan rakyatnya. Bagaimana sistem pertahanan sebuah negara, postur militer dan strategi pertahanan akan ditentukan bagaiamana sebuah negara membaca dan menganalisis spektrum ancaman terhadap negaranya.

Amerika sebagai negara adi kuasa saat ini, membangun 7 gugus tempur pangkalan militer berbasis kapal induk di setiap titik strategis dunia. Tidak hanya itu, Amerika juga mempunyai puluhan pangkalan militer dengan kerja sama militer dengan nagara aliansi atau sekutu bilateralnya seperti pangkalan militer di Korea Selatan, Jepang, Qatar, dan negara NATO.

China juga mulai bergeliat. Dengan membangun pangkalan militer di kepulauan Spratly yg kontroversial, serta ‘basis’ pangkalan militer kecil-kecil di Angola, Zimbabwe, dan Srilangka untuk mengamankan investasi besarnya mereka dalam suksesi agenda BRI (Belt and Road Initiative).

Brunei menyewa tentara Nepal dan meminta perlindungan kerajaan Inggris untuk menjaga negara kaya minyak itu. Israel membangun sistem pertahanan super canggih dan membangun sistem inteligent dan operasi politik-ekonomi-budaya terhadap negara Arab yg mengitarinya. India membangun poros Brahmana – Moskow dengan belanja alutsista milyaran dolar dengan Rusia, agar mendapat supervisi pertahanan dalam menghadapi musuh bebuyutannya, Pakistan.

Banyak lagi contoh dari masing negara untuk membekali dirinya dalam aspek pertahanan dan keamanan. Lalu bagaimana dengan Indonesia ?

Negara Indonesia menganut sistem pertahanan rakyat semesta. Dimana secara konstitusi, mewajibkan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk ikut melakukan bela negara apabila negara dalam keadaan berperang. Dimana negara dapat mengeksplorasi seluruh sumber daya nasional, baik itu sumber daya alam, sumber daya buatan, serta TNI sebagai komponen utama negara berada di depan, yang didukung selanjutnya oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.

Melihat spektrum ancaman hari ini, pasca terjadinya serangan drone hantu terhadap ladang minyak Aramco di Arab Saudi, selanjutnya serangan Drone militer AS yg menewaskan jendral Iran Qaseem Sulamaeni, memberikan sinyal kepada kita semua bagaimana era pertempuran dunia mulai maju dan bergeser jauh dari pola pertempuran konvensional pada umumnya.
Pergelaran pasukan dan alutsista (alat utama sistem persenjataan) seperti tank berat, pesawat tempur, bahkan kapal induk berangsur sudah mulai bergeser.

Yaitu bagaimana memainkan peran kecanggihan teknologi digital yg efektif, efisien, namun tetap dengan konsep penghancuran yg lebih presisi dan dahsyat. Ditambah lagi, bagaimana mengurangi dampak korban nyawa manusia (tentara) sebanyak-banyaknya dari medan perang.

Maka muncullah gaya pertempuran digital robotic saat ini yang direpresentasikan dengan penggunaan drone atau UAV berbasis military great (bersenjata tajam).

Perkembangan UAV dan Drone ini sangatlah cepat. Berawal dari konsep komersil dan hobbies. Saat ini, para pabrikan drone dunia sedang berlomba bagaiamana menciptakan mesin perang robotic berbasis drone.

Kalau dulunya drone atau UAV lazim digunakan untuk pemotretan udara, pembuatan film, atau juga pemetaan lahan tambang dan perkebunan. Dengan peningkatan utilitas perangkat avionik dan kemampuan terbang, akhirnya Drone saat ini sudah menjelma menjadi bahagian mesin perang handal yang presisi serta menakutkan.

Perkembangan Drone ini sangat beragam. Mulai dari komersil, survei udara, dan pemotretan, juga digunakan untuk kebutuhan industri survei instalasi line perminyakan, jaringan listrik, pipanisasi, bahkan juga untuk penyemprotan hama di perkebunan.

Teknologinya yg sederhana dan efisien, drone banyak diadopsi ke berbagai fungsi. Nah disinilah bermulanya titik pangkal spektrum ancaman itu muncul. Karena tentu akan rentan disalahgunakan oleh pihak tertentu.

Seperti contoh dalam hal kriminalitas. Drone juga sudah digunakan untuk memasok narkoba ke penjara misalnya. Drone juga melakukan pengintaian ilegal terhadap aktifitas privasi manusia atau perusahaan. Dan ini sudah banyak terjadi termasuk di Indonesia.

Bayangkan kalau konsep drone military ini digunakan oleh kelompok teroris, saparatis, atau juga bahkan inteligent sebuah negara untuk keperluan propagandanya dinegara lain.

Kejadian depot minyak Aramco yang dahsyat, dan juga pembunuhan Jendral Qaseem menggunakan drone adalah catatan penting bagi kita semua. Arab Saudi saja yg sudah dibekali dengan sistem Hanud (Pertahanan Udara) yang canggih dan mutakhir masih jebol oleh serangan drone yang disinyalir berasal dari kelompok pemberontak Houthi.

Amerika dan Israel juga menjadi negara yang paling banyak menggunakan drone militer seperti RQ 4 Rapier, sebagai mesin pembunuh di timur tengah. Tak terhitung jumlah korban nyawa yang telah dibunuh capung terbang moderen itu. Dalam perang Suriah, aktifitas Drone militer ini juga semakin signifikan. Bahkan Drone juga sudah digunakan sebagai senjata untuk menghabisi tank berat dan helikopter di darat.

Kenapa Drone akhirnya menjelma menjadi senjata menakutkan ? Karena memiliki kemampuan yg fleksibel, murah meriah, berbasis digital, dan presisi. Cobtohnya ; Drone telah bisa menggantikan peran satelit mata-mata yg mahal dan juga terbatas karena vertical statis. Sedangkan Drone lebih ‘lethal’ dan dinamis. Selanjutnya Drone juga sdh bisa menggantikan fungsi pesawat intai maritime, fungsi patroli perbatasan, yang pastinya berbiaya mahal. Bahkan Drone juga sudah bisa diset-up bagaikan hantu pembunuh yang bisa datang dan pergi bak siluman setelah menghancurkan target. Karena fisiknya yang kecil dan robotic, Drone akan sulit dilacak radar biasa.

Varian Drone saat ini juga sudah sangat beragam. Pertama dari aspek fisik. Mulai dari Drone besar untuk membawa beban persenjataan atau utilitas lainnya yang juga besar, sampai dengan ‘nano drone’ yang kecil bak lalat. Namun mempunyai fungsi bisa sebagai nano drone survilance inteligent, bisa juga sebagai nano drone killer yang dapat membunuh ‘one shoot one target’ berbasis identifikasi wajah dan sidik jari. Kedua, dalam aspek frekwensi dan auto pilot. Drone dapat diprogram sesuai dengan keinginan user. Sehingga akan sulit di deteksi sehingga aktifitas drone bisa terprogram sangat presisi dan ‘stealth’ (siluman). Ketiga, dalam hal kemampuan terbang, jarak tempuh, dan ketinggian. Saat ini, untuk drone spesifikasi ‘military great’, drone sudah dapat terbang 24 jam non stop dengan menggunakan batrai lithium dan sistem solar cell (energi matahari). Untuk ketinggian dan jarak tempuh, Drone hari ini seperti Rapier atau RQ 4 yang dimiliki TNI AU, sudah bisa terbang di atas 10 ribu kaki dengan jarak tempuh 400 kilometer dengan kecepatan 200 km/jam. Dan kemampuan ini pasti akan terus meningkat sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada.

Seiring perkembangan Drone ini, tentu ibarat teori perisai dan pedang, juga muncul teknologi anti drone sebagai antisipasi ancaman drone tersebut.

Yang paling populis yang sering kita dengar dalam perangkat anti drone ini adalah sistem ‘iron dome’ (kubah besi) yang di populerkan oleh Israel. Meskipun secara teknologi, awalnya sistem pertahanan ini pertama kali diaplikasikan oleh Rafael System dari Perancis. Sistem Iron Dome ini adalah sebuah konsep pertahanan payung udara yang awalnya untuk melindungi sebuah pangkalan, kota, dari ancaman serangan rudal atau roket. Yang populer ketika terjadi perang Yon Kipur I, II antara Israel dan negara Arab. Meskipun konsep perlindungan payung udara ini diterapkan pertama kali oleh Suriah dalam menghadapi gempuran pesawat tempur dan rudal Israel, namun selanjutnya konsep pertahanan payung udara ini diadopsi dan modifikasi Israel ke dalam konsep Iron Dome yg lebih canggih. Dengan menggunakan sistem kombinasi sensor radar, early warning system alarm dan rudal pencegat PAC III dan Spyder. Dan sistem pertahanan Iron Dome ini akhirnya juga digunakan dalam berbagai skala oleh berbagai negara di dunia. Mulai dari kapal perang, kota, dan area yang lebih luas.

Lau bagaimana dengan Indonesia baik itu dalam perkembangan teknologi Drone dan anti Drone ?

Untuk perkembangan teknologi Drone. Secara komersial dan hobbies. Sebenarnya, Indonesia sudah tidak asing lagi dengan dunia pesawat terbang tanpa awak ini. Sudah banyak hasil ciptaan anak bangsa yang sudah mengudara bahkan eksis digunakan hingga hari ini. Seperti drone hasil karya seribu bintang Jogjakarta yang berhasil pertama kali melakukan pemotretan kawah gunung berapi secara utuh empat dimensi. Drone buah karya anak bangsa 1000 bintang ini juga sdh banyak digunakan untuk pemotretan udara, visual kamera, pemetaan lahan polygon, dan juga untuk kegiatan hobby aero-modelling.

Untuk grade militer, kita juga sudah banyak mendengar perusahan dalam negeri berhasil membuat protype drone seperti wulung, rajawali, jalak, dan terakhir MALE (Medium Altitude Long Endurance) buatan PT DI yang katanya berkemampuan tak kalah dengan kemampuan drone militer buatan Amerika.

Dalam alutsista, TNI AU juga sudah mempunyai skuadron drone di Pontianak. Dimana salah satu drone andalannya adalah RH4 yang sudah dilengkapi senjata rudal penghancur tank. RH4 ini sudah dipamerkan dalam parade militer HUT TNI tahun 2019 kemaren.

Sedikit berbeda dengan kondisi anti drone. Disini permasalahannya. Secara teknologi dalam negeri, nampaknya pemerintah masih belum terlalu menganggap hal ini penting dan urgent. Bahkan cenderung sedikit mengabaikan.

Bahkan kalau kita jernih dan jujur melihat. Padahal, secara spektrum ancaman kalau kita belajar dari kasus Arramco atau terbunuhnya Jendral Iran Qaseem Sulameni, seharusnya kebutuhan akan alutsista anti drone ini menjadi perhatian khusus dan mendesak.

Secara konservatif, Indonesia sudah mempunyai alat anti drone dalam skala kecil untuk beberapa instalasi penting seperti Istana. Tetapi kalau kita melihat spektrum ancaman serang drone dengan luas wilayah negara kita yang begitu luas, masih sangat jauh sekali. Belum ada 1 persenpun dari 600 an objek vital nasional kita yang sudah di proteksi dari sistem Anti Drone. Mulai dari kantor pemerintah, Istana, pangkalan militer, pelabuhan, kawasan industri, depot logistik pertamina, dan seterusnya.

Secara konsep pertahan udara. Sebenarnya, militer Indonesia sudah mempunyai konsep pertahanan udara yang berlapis. Mulai dari sistem hanud area (jarak jauh), hanud terminal (jarak menengah), hanud titik (jarak pendek), dan hanud zero (pertahanan udara titik nol).

Namun sistem hanud kita masih jauh dari cukup. Mulai dari sistem radar, sensor, dan senjata untuk melumpuhkan ancaman itu sendiri.

Sampai saat ini, baru pertama kali Indonesia menggunakan rudal pertahanan udara jarak menengah NASAM II dengan jarak 35 – 50 kilo meter. Selama ini, militer Indonesia masih menggunakan sistem hanud jarak pendek 7-10 km seperti rudal mistral, startrek, chieron, QW-6, dan orlykon skyshield.

Sedangkan kalau kita melihat ancaman persenjataan negara kita, Australia memiliki 22 pangkalan missle di perth (australia utara) yg moncongnya menghadap Indonesia. Bayangkan Austrlia sudah mempunyai rudal jelajah Tomhawk yang berdaya jangkau 1200 kilometer. Artinya, rudal Australia bisa menjangkau Jakarta dan Surabaya. Begitu juga Singapore yang sdh mempunyai rudal Spyder yang mempunyai jangkauan sampai 200 kilometer. Semua rudal tersebut mengadopsi sistem ‘fire and forget it (tekan/hancurkan dan lupakan).

Akhir tahun ini, kita juga mendengar bahwa Vietnam dan Philipina akan memesan rudal sangar S 300 buatan Rusia yang mempunyai jangkauan sampai 300 kilometer.

Kondisi ini tentu akan sangat miris dan mengganggu terhadap wibawa negara kita. Apalagi kalau kita berbicara lebih spesifik tentang ancaman serangan berbasis drone.

Secara invnsi militer, mungkin ancaman ini sulit terjadi dalam waktu dekat. Namun tidak untuk ancaman serangan berbasis drone. Karena, ancaman serangan berbasis drone ini sangat mematikan, berbiaya murah, dan secara teknologi juga sangat sederhana bahkan ‘open source’. Sedangkan negara kita masih berleha-leha menyikapi ancaman ini. Tak terbayang, kalau istana negara, konvoi presiden, depot logistik pertamina atau bahkan pembangkit listrik diserang dengan drone oleh teroris atau pihak tak bertanggung jawab lainnya ? Tentu kita semua yang akan merasakan dampak akibatnya.

Untuk teknologi anti drone, drone dome atau lebih simplenya mini iron dome ini, sudah saatnya pemerintah dalam hal ini kementrian pertahanan dan Mabes TNI untuk berpikir taktis bagaimana urgensi anti drone ini bisa menjadi perhatian khusus sebelum kejadian buruk terjadi seperti Arramco dan terbunuhnya Jendral Qaseem.

Karena sudah kewajiban negara secara konstitusi untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Apalagi, ancaman penyalah gunaan drone ini semakin nyata dan komplek. Baik untuk tindakan kriminal maupun ancaman pengintaian, sabotase dan pertahanan negara. Wallahu’alam.

Jakarta, 16 Januari 2020.

(Penulis adalah pengamat alutsista dan pertahanan Alumni Lemhannas RI PPRA 58 tahun 2018).

Baca juga:

“OFFSHORE MARICULTURE” SOLUSI CERDAS KEDAULATAN DIPERBATASAN ZEE

MENAKAR KEMANA ARAH KONFLIK LAUT NATUNA

DRAMA NATUNA ANTARA JIWASRAYA DAN SKENARIO MUTILASI PRABOWO ?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *