Artikel

“OFFSHORE MARICULTURE” SOLUSI CERDAS KEDAULATAN DIPERBATASAN ZEE

Oleh : Anton Permana

Tidak mudah untuk menjaga kedaulatan wilayah seluas Indonesia yang membentang seluas 5 juta kilometer persegi. Dengan jumlah pulau hampir 17 ribu dengan komposisi 70 persen adalah laut. Kondisi geografis inilah yang mengakibatkan Indonesia terpaksa ‘barter’ antara pengakuan kedaulatan wilayah lautnya dengan tiga jalur ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yg termaktub dalam UNCLOS 82. Apa maksudnya ? Dalam hukum tradisional laut dalam hukum kontinental yg mayoritas dianut oleh negara di dunia, batasan kedaulatan sebuah negara adalah laut. Dan tidak mengakui batas negara setelah laut, pulau, dan laut lagi. Bayangkan kalau hukum laut ini yang diadopsi, tentu Indonesia akan terpecah belah menjadi ratusan negara yang terpisah oleh laut, selat dan ribuan pulau.

Kondisi geografis sebagai negara kepulauan inilah yg akhirnya melahirkan sebuah konvensi hukum laut internasional UNCLOS 82. Dengan konsekuensi, Indonesia harus merelakan membuka wilayah kedaulatannya secara terbatas melalui ALKI sebagai jalur pelayaran internasional yang bisa secara bebas dilalui. Karena biasanya, kalau jalur pelayaran memasuki teritorial negara lain akan dikenakan kewajiban administratif dan materil serta perizinan dari negara terkait.

Oleh dikarenakan tidak semua negara yg mengakui atau meratifikasi konvensi hukum laut UNCLOS 82, maka sering terjadi konflik lintas batas termasuk dengan Amerika sendiri. Konflik lintas batas ini sering terjadi di wilayah perairan. Tidak hanya itu, sering juga ‘legal vacum’ dan kelemahan monitoring patroli wilayah laut ini oleh suatu negara, juga sering dijadikan celah untuk melakukan illegal fishing, penyeludupan, illegal logging dan juga trafficking oleh para mafia laut. Ironisnya, pelanggaran ini kadang juga di‘back up’ oleh negara tertentu dalam rangka orientasi ekonomi (opportunity).

Untuk itulah pada kesempatan ini, penulis mencoba menyampaikan sebuah ide briliant dari Prof. Rokhmin Dahuri pakar kelautan IPB yang populis disebut sebagai Offshore mariculture atau dalam skala kecil disebut Aqua culture.

Apa itu offshore mariculture ? Prof Rokhmin dalam makalahnya menjelaskan, bahwa perlu pemanfaatan dan terobosan dalam hal pemberdayaan wilayah laut Indonesia yg sangat luas. Khususnya dalm hal perikanan. Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah salah satu penghasil ikan terbesar di dunia. Namun, hasil ikan perikanan laut Indonesia 95 persen berasal dari hasil tangkapan. Hanya 5 persen yang berasal dari budi daya.

Untuk itulah beliau mengeluarkan ide pembangunan konsep offshore mariculture ini yang 10 tahun terakhir sudah sukses diterapkan dibeberapa negara di dunia seperti Portugal, Finlandia, Jepang, dan Fiji.

Di negara yang arus lautnya dingin dan sedikit saja, konsep ini berhasil apalagi negara kita yang mempunyai kekhasan iklim laut tropis yang mengakibatkan ikan-ikan paling senang berkumpul ketika musim dingin.

Kata offshore sebenarnya terminologi kata dari bahasa dunia migas. Yaitu sebuah konsep explorasi perminyakan dan gas yang dilaksanakan di tengah laut lepas dengan infrastruktur modern yang tahan terhadap badai, sehingga bisa menjadi tempat tinggal dan bekerja manusia (pekerja).

Offshore ini berupa rig, modul, dan anjungan yang tegak berdiri di atas permukaan laut. Nah konsep offshore ini yang akan kita konversi menjadi offshore perikanan. Kenapa offshore mariculture ini cocok diterapkan di Indonesia ?

1. Offshore mariculture terbukti sukses diterapkan di beberapa negara maju di eropah, Jepang dan Amerika. Jutaan dolar dihasilkan dari implementasi konsep ini setiap bulannya.

2. Bisa menjadi unit produksi perikanan berbasis budi daya ikan yang bisa berkelanjutan, moderen, dan efisien. Unit produksi penghasil ikan ini bisa dibuat oleh pemerintah (BUMN) bisa juga oleh pihak swasta yang tentu akan dapat membuka lapangan kerja serta menghasilkan pajak (devisa) negara.

3. Posisi offshore mariculture bisa dibangun di beberapa titik strategis di daerah ZEEI (Zona Economic Exclusive Indonesia) yaitu 200 mil dari garis pantai pulau terluar. Seperti wilayah perbatasan Laut Natuna, Anambas, Sabang, Selat Malaka, Laut Arafuru, Singkawang, Selat Karimata, Laut Banda, pesisir selatan laut jawa, Sulawesi Utara, Biak, dan Bawean. Dimana, di atas offshore ini juga bisa dibuat pos pengamatan, basis patroli KRI, Bakamla, Bea Cukai, terkait dalam mengamati dan menjaga wilayah laut Indonesia.

4. Dengan dibangunnya offshore mariculture ini di titik strategis ZEEI akan memperlihatkan kedaulatan dan kehadiran negara di area ini. Sehingga akan lebih memperkokoh kedaulatan dan superioritas negara di lautan.

5. Offshore juga bisa menjadi ‘rest area’ bagi kapal-kapal lewat untuk suplai logistik, repair, pengisian bahan bakar (bunker minyak terapung) bahkan juga basis SAR kalau ada terjadi kecelakaan laut. Untuk rest area laut, tentu juga akan bisa menjadi productive income yang luar biasa.

6. Offshore ini juga bisa menjadi pangkalan aju, basis patroli kapal kapal penjaga laut dan juga ‘floating office’ untuk urusan tertentu pelayaran.

7. Karena offshore ini basic idenya untuk perikanan budi daya, untuk design dan konstruksi mesti disesuaikan dengan kebutuhan Aqua Culture (keramba raksasa) di lautan. Yang diproyeksikan bisa menghasilkan ikan jutaan ton setiap tahunnya.

Sekilas terlihat rumit atau berlebihan. Tetapi penulis yakin, kalau negara lain bisa kenapa negara kita tidak bisa. Toh secara alur laut, SDM, dan potensi ikannya negara kita lebih unggul. Kalau perlu offshore yang sudah tidak bereksplorasi lagi bisa diberdayakan untuk ini.

Tinggal bagaimana political will, etos kerja, keseriusan, menajemen dari stakeholders terkait untuk mewujudkan ini. Dalam catatan penulis, apabila konsep ini bisa diwujudkan maka, trilyunan rupiah akan bisa dihasilkan. Pusat pertumbuhan ekonomi yang terbangun, kedaulatan wilayah terjaga, lapangan kerja pun akan tumbuh.

Semoga saja para pemangku hajat, dapat memahami dan menangkap peluang ini, potensi ini untuk bisa diterapkan kedepannya secara optimal.

Jakarta, 17 Januari 2020.

(Penulis adalah alumni Lemhannas RI PPRA 58 tahun 2018).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *