DERITA PANGKAT (catatan malam Pinto Janir)
Sungguh, waktu itu ia terhantar dalam ketidaksengajaan diri. Dia tiba di ruang itu dalam waktu yang tepat sekali. Ia diangkat bukan karena ia hebat. Nasib baik yang membuatnya menjadi berpangkat. Banyak orang hebat, tapi hanya sedikit yang selamat. Nan ia bukan orang nan hebat-hebat amat. Namun, ruang waktu yang tepat yang membuat dia menjadi terhormat.
Sejak itulah kecelakaan jiwanya mulai terjadi. Jangankan insani, langit saja berani ia gugat sambil mencaci maki. Bila ia tegak, langit terpaksa mengalah sendiri. Dia merasa paling tinggi. Walau di langit ada bintang-bintang, tapi ia tak suka pada bintang. Mengapa? Karena ia merasa yang bintang itu adalah ia dan dirinya. Bintang yang lain ia anggap kunang-kunang saja.
Perhiasan langit yang ia suka hanyalah bulan. Karena bulan baginya adalah harapan di tempat mana ia menguburkan segala logika. Pada bulan harapannya berlebihan nian. Bila bulan ditutup awan, ia marah sendiri. Amuknya menjadi badai mengusir awan hingga bulan kembali berseri.
Ia sering bercakap-cakap dengan bulan di bawah lamunan malam.
Pada matahari ia belajar filsafat diri yang tak pernah kunjung ia pahami. Yang ia pahami adalah pura-pura mengerti. Terkadang ia ingin seakan-akan menjadi matahari. Ia ingin seolah-olah menyinari. Tak peduli ia. Kadang ruang terang pun ia sinari seakan-akan terang sekali.
Padahal orang lain jauh lebih terang dari dirinya. Ia tak peduli itu.
Lihatlah, telunjuknya tak lagi ia gunakan untuk menunjuk. Muncungnya sudah beralih fungsi menjadi penunjuk.
Soal tunjuk menunjuk, ia belajar banyak pada beruk. Karena ia pernah meneliti tunjuk beruk.
Ia mulai buta. Ia tak tahu lagi mana ruang yang terang dan mana ruang yang gelap sekali. Sawahnya mulai tak berpematang. Namun ia tetap seakan-akan.Seakan-akan sawahnya masih berpematang. Seakan akan lahan gersangnya masih menghijau.
Sebenarnya ia adalah orang kering, jabatan yang membuatnya basah. Ia sebenarnya shock ketika jabatan yang tak pernah ia duga itu dilekatkan padanya di saat ia masih telanjang bulat.
Sebenarnya ia menderita. Tapi, ia anggap ini adalah taman bunga. Kepercayaan yang berlebihan yang disandangkan padanya, telah menganiaya dirinya sendiri.
Tapi ia tetap tersenyum. Ia tetap merasa bahagia dalam ketakbahagiaan yang diam-diam sudah lama bermakam dalam jiwanya.
Tiba masanya.Api padam puntung hanyut. Waktu dan ruang yang meninggikannya dan waktu yang ruang pula yang merendahkannya.
Suatu kali, ia terenggut.Bulannya dimakan laut, mataharinya jatuh redup. Bintangnya telah menjadi kunang-kunang.
Kini ia berjalan diri seorang. Ia melihat orang seperti orang-orang. Sedangkan orang-orang memandangnya bukan lagi sebagai orang.
Kini ia adalah orang seperti.
Adalah orang seakan-akan.
Adalah dia yang seolah-olah.
Ia seperti seakan-akan dan seolah-olah.
Lalu ia sebagai siapa kini?
Bukittinggi 251020
Diatas adalah foto penulis.