GELEMBUNG EKONOMI CHINA, ANTARA VIRUS CORONA DAN DAMPAKNYA TERHADAP INDONESIA

Oleh : Anton Permana.

Sejak olimpiade 2008 di China, banyak pengamat yg mengatakan tahun itu adalah titik tolak show of force China di mata dunia. Setelah ‘disindir’ dengan julukan negara tirai bambu (karena tertutup dan terisolasi), China akhirnya tumbuh menjadi negara super power baru dunia penantang Amerika.

Michael Hudsun mengatakan, pola kebangkitan ekonomi China mirip dengan pola kebangkitan Jerman di tahun 1930an. Yaitu ; meningkatkan produktifitas lokal ekonominya, membiayainya dengan sistem ‘print out money’, lalu terciptalah lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Dan hasil produktifitas inilah yang kemudian menjadi pemasukan negara sehingga ekonomi negara tumbuh pesat. Namun bedanya, Jerman produktifitasnya dalam hal peralatan militer yang kemudian dijadikan Hitler untuk invansi ke negara lain. Di sisi lain, China berupaya mendumpling teknologi, bahan industri seperti semen, baja, dan produksi fashion, HP, dan teknologi lainnya. Maka lahirlah strategi OBOR (One Belt One Road) atau BRI (Belt, Road, Initiative) China dalam membangun kembali kejayaan jalur sutra kuno China di era moderen ini. Untuk menyalurkan semua kelebihan produksi industri China, dan juga mengamankan jalur import kebutuhan energi dan komoditas lainnya yg tdk ada di China. (Michael Hudson. 2015).

Saat ini China sudah menjelma menjadi raksasa baru ekonomi dunia. Yan mengakibatkan Amerika mesti menerapkan ‘trade war’ terhadap China. Hari ini pertumbuhan ekonomi China mulai melambat 6-7 persen. Padahal sebelumnya sampai dua digit. Meskipun China melompat begitu cepat dan fantastis, banyak para ekonom yang meragukan secara clear lompatan ekonomi China itu real dan bertahan lama. Karena dalam sejarah, Uni Soviet yang juga sesama negara Komunis seperti China pernah juga melejit pasca perang dunia kedua dan juga menjadi negara adi daya dunia (blok timur) yg kemudian akhirnya ambruk jatuh berkeping-keping setelah sebelumnya berjaya dan maju. Jadi tidak heran para ekonom dunia mengistilahkan kemajuan ekonomi China dengan istilah ‘gelembung ekonomi China’.

Dasar argumentasinya sangat banyak. Pertama, China dikenal sebagai negara tertutup dan super otoriter. Jadi tidak ada perbandingan data yang akurat sebagai pembanding data yg dipublish pihak pemerintahan komunis China. Seperti contoh ; China mengklaim PDB negaranya pada tahun 2018 sebesar 13 Trilyun dolar. Namun dalam data WTO jurnal, PDB China itu hanya 6-7 Trilyun dolar. Sedangkan hutang China pada PBB itu sebesar 28 Trilyun dolar. Terbesar kedua setelah Amerika.

Kedua, pada tahun 2016 yg lalu. Pendapatan export China itu sebesar 392 Milyar dolar setahun. Sedangkan besaran proyek OBOR China adalah 4 Trilyun dolar. Artinya, selama 10 tahun proyek OBOR China akan selesai dengan pendapatan export yg begitu tinggi. Kalau proyek OBOR selesai, otomatis secara ekonomo tak ada lagi yang bisa menandingi China termasuk Amerika. Untuk itulah dengan cerdik, Donald Trumph melakukan trade war (perang dagang) terhadap China. Walau hasilnya merugikan Amerika, namun trade war ini berhasil memperlambat gerak laju pertumbuhan China saat ini.

Ketiga, China saat ini sangat bergantung kepada berjalannya roda industri pabrik yang menampung 1 milyar lebih tenaga kerja nya. Saat ini hasil produksi manufaktur China mulai stuck (macet). China saat ini terancam akan dilanda pengangguran besar- besaran kalau industrinya tidak berjalan. Sedangkan negar yang sebelumnya manut sama China, ikut dan dukung program OBOR China mulai melawan dan juga faktor politik pergantian kepemimpinan yang anti China. Sedangkan disatu sisi, China sangat tergantung atas pasokan energi dari negara tersebut untuk memasok energi untuk industri China

Keempat, tragedi Uyghur juga telah memantik sentimen anti China di seluruh penjuru dunia. Eropah, negara Arab dan banyak lagi negara yang awalnya jadi mitra strategis China, mulai jaga jarak dengan China.

Kelima, permasalahan internal China yang bagaikan api dalam sekam. China memang bergerak cepat secara ekonomi dan teknologi. Namun, secara sosial politik sikap keras ala komunis China melahirkan rasa dendam dan sakit hati masyarakatnya. China tak ada mengenal demokrasi, HAM, apalagi agama. Jadi wajar pemerintah China bertangan besi dan kejam terhadap rakyatnya sendiri. Saat ini ada 51 kota hantu yang dibangun China tapi ditinggal oleh rakyatnya sendiri karena harga yg begitu mahal. Saat ini ada 400 juta pengangguran yang makannya ditanggung China. Saat ini, daerah daerah pinggiran China dan penaklukan China seperti Tibet, perbatasan Mongol, Taiwan bahkan Hongkong mulai tumbuh perlawanan anti China. Hal ini bagaikan bomb waktu bagi keamanan dalam negeri China. Dan dalam sejarah, China mempunyai sejarah kelam ribuan tahun tenggelam dalam suasana perang saudara, perpecahan, dan saling jatuh menjatuhkan antar dinasti. Artinya ; China pernah maju karena ambisinya, tapi juga hancur karena ambisinya.

Nah kondisi real inilah yang kotradiksi dengan show of force yg selalu kita dapatkan dari media China. Secara ekonomi mungkin China memang melejit, tetapi secara politik dan militer Amerika masih berada jauh diatas China.

Dengan kondisi saat ini, dengan munculnya teror virus Corona di Hubei kota Wuhan China. Kita akan melihat bagaimana cara China menghadapi krisis. Terlepas dari berbagai isu ttg virus ini adalah hasil kebocoran senjata biologi atau berasal dari bangkai binatang bertaring di pasar hewan China yg viral di sosial media. Kita akan melihat bagaimana taktik China melepaskan diri dari teror virus ini.

Setidaknya China sdh berpengalaman dalam menghadapi serangan virus SARS pada tahun 2003 yg menewaskan 700 warganya. Sekarang China langsung mengisolasi 52 juta warganya di 14 kota. Gerakan cepat China ini patut menjadi contoh bagi negara lain. Hanya dalam waktu 24 jam, China bisa membangun rumah sakit darurat yg dapat menampung 1000 pasien.

Kondisi mencekam melanda kota kota di China. Exodus dari penduduk China menjauhi kota menuju desa juga terjadi. Filipina menghalau 500 turis asal China. Eropah juga melakukan penjagaan ketat di bandaranya yg berasal dari China. Lion Air dan Batik Air juga membatalkan bahkan menutup seluruh penerbangan yang terkoneksi dgn China.

Walaupun berbagai respon sdh diperlihatkan negara lain menyikapi virus corona dari China. Namun kita belum melihat langkah nyata dari pemerintahan Indonesia. Belum ada peringatan travel warning dari pemerintah kita. Bahkan jutaan manusia setiap tahun lalu lalang dari China. Ribuan produk import berasal dari China. Tampak sekali pemerintah kita ‘gagap’ kalau berhubungan apapun dengan China. Bahkan ketika kedaulatan negara diterobos kapal coast guard Chinapun ada pejabat teras ini cuek bebek dan nyeleneh.

Permasalahan ancaman penyebaran virus corona ini bukanlah masalah main-main. Ini menyebabkan keselamatan nyawa manusia. Karena penyebarannya begitu cepat, bisa melalui udara, dan proses pembunuhannya pun cepat. Namun sayang pemerintah kita hari ini terlalu anggap remeh atau ‘takut’ dengan China ???

Teror virus China ini terlepas itu adalah bahagian konspirasi politik, ekonomi (jualan vaksin ala negara maju), namun negara ini dalam hal mitigasi mesti belajar pada China. Bukan malah berleha leha.

Teror virus corona ini juga mesti kita siapkan langkah antisipasinya seandainya berdampak terhadap perekonomian China. Saat ini China sudah siaga satu. Otomatis, teror virus ini akan menggangu aktifitas ekonomi dan industri China. Siapa yg bisa jamin hal ini tidak berdampak buruk, atau dijadikan celah oleh para musuh China untuk menghancurkan China ??

Segala kemungkinan bisa terjadi. Namun banyak para analis mengatakan, bahwa teror virus corona ini tidak bisa dianggap remeh. Seandainya teror virus ini berlanjut lama dan menimbulkan kepanikan dalam negeri China ?? Maka hal ini juga akan berdampak besar terhadap perekonomian dunia.

Nah kalau ini terjadi, Indonesia sudah menyiapkan langkah apa ?? Strategi apa ?

Semoga negara kita, peduli dan sudah menyiapkan segala sesuatunya apabila hal terburuk terjadi dari letupan gelembung ekonomi China akibat tusukan duri virus corona ini. InsyaAllah..

Jakarta, 27 Januari 2020.

(Penulis adalah pengamat sosial politik dan pertahanan, alumni PPRA Lemhanas RI angkatan 58 tahun 2018).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *