.

Kembali ke Khittah Halal bi Halal

Oleh Drs. H. Wardas Tanjung, M.Si

Lazimnya, pasca Idul Fitri kegiatan umat Islam adalah mengadakan halal bi halal. Mungkin disebabkan pandemi Covid-19 belum habis, maka kegiatan ini sepi, walaupun beberapa instansi/lembaga/organisasi/komunitas ada juga yang melaksanakan secara virtual. Di beberapa organisasi ada juga yang tetap melaksanakan seperti biasa, dengan mematuhi protokol kesehatan.

Tulisan ini akan memaparkan secara singkat sejarah, tujuan, manfaat dan ajakan untuk kembali melaksanakan halal bi halal (HBH) sesuai khittah.

Sejarah HBH

Halal bi halal ini bermula di masa kepemimpinan Presiden Soekarno tahun 1948. Waktu itu kondisi perpolitikan di Indonesia tidak kondusif karena elit politik tidak bersatu, mereka saling bertengkar, saling menyalahkan dan saling memaksakan ideologi.

Presiden Soekarno kemudian memanggil KH Wahab Chasbullah ke istana negara untuk berdiskusi mencarikan solusi terhadap permasalahan yang sedang terjadi. Kebetulan sekali pada waktu itu umat Islam baru saja selesai melaksanakan puasa Ramadan, jadi masih dalam suasana Idul Fitri.

Seperti kita ketahui KH Wahab Chasbullah adalah sosok ulama NU yang sangat disegani pada waktu itu. Beliau sering juga diajak berdiskusi oleh presiden Soekarno ketika terjadi masalah masalah sosial dan politik di tanah air.

“Jadi begini,” kata Wahab Chasbullah mengawali tanggapannya setelah presiden Soekarno menjelaskan bahwa elit elit politik tidak mau bersatu dan saling menyalahkan”.

“Saling menyalahkan itu kan dosa Dosa itu haram. Nah, supaya mereka tidak punya dosa dari yang haram itu, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Untuk itu, kita pakai istilah halalbihalal,” urai Kyai Wahab Chasbullah.

Ide Kyai Wahab ini termakan sekali oleh presiden Soekarno. Maka presiden mengundang semua tokoh politik ke Istana Negara untuk silaturrahmi dengan tajuk acara Halal bi Halal.

Manfaat HBH

Dari diskusi presiden Soekarno dengan KH Wahab Chasbullah untuk mengadakan HBH ini, terkandung pesan bahwa ada persoalan yang hendak diselesaikan secara bersama sama. Persoalan itu adalah persoalan berbangsa dan bernegara.

Wal hasil, HBH itupun terlaksana dengan baik, dalam suasana kekeluargaan yang hangat. Tidak terlalu formal, rileks penuh gairah sambil makan makan, tapi mencair, sehingga target untuk saling memaafkan antar elit politik, tercapai.

Pada tahun berikutnya kegiatan itu diulang lagi, tapi pesertanya lebih banyak dan unsur yag diundang diperluas, tidak terbatas hanya pada elit elit partai saja. Ada dari unsur penyelenggara pemerintahan, tokoh agama, pengusaha dan bahkan perwakilan tokoh masyarakat lainnya.

Dari kalangan tokoh-tokoh Islam, bayak ulama yang diundang, karena saat itu ghairah beragama juga sedang mengalami kemerosotan. Jadi sekalian para ulama diminta berpendapat untuk menciptakan kegairahan kembali kehidupan beragama di tanah air. Salah satunyang meninjol adalah disepakati mengadakan acara acara peringati hari hari besar Islam, seperti maulid nabi, isra’ mi’raj, nuzul quran dan lain lain.

HBH kemudian menjadi tradisi baik sampai sekarang, walaupun kini terkesan kehilangan makna, karena lebih menonjolkan makan makannya ketimbang membuat komitmen untuk menyikapi realitas kehidupan rakyat.

Apa manfaat yang bisa diambil dari HBH itu? Paling tidak ada dua hal penting, pertama thalabu halal bi thariqin halal dan kedua halal yujza’u bi halal.

Thalabu halal bi thariqin halal adalah mencari penyelesaian masalah atau menciptakan keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni/memaafkan kesalahan. Sedangkan halal yujza’u bi halal ialah pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.

Dari kedua hal penting itu, dapat ditarik manfaat turunan HBH sbb; (1) saling memaafkan, di mana semua pihak harus saling mengoreksi diri atas kesalahan yang disengaja atau tidak, (2) mempererat persaudaraan, ibarat kayu dalam satu ikatan, jika ada ikatannya yang mulai melonggar, harus diperkuat kembali, (3) menghapus penyakit hati, yaitu menjauhkan diri dari sifat sifat sombong, angkuh, hasad, iri, khianat dan sebagainya, (4) membangun kepedulian, yaitu penyamaan persepsi bahwa membangun bangsa ini tidak bisa oleh pemerintah saja tapi harus bersama sama dengan semua komponen bangsa.

Kembali ke Khittah

Meski masih dalam suasana pandemi covid-19, mengingat banyak permasalahan kebangsaan yang harus disikapi seceoatnya, saya kira tidak ada salahnya HBH dilaksanakan. Apalagi sekarang sudah masuk tahap New Normal, yang memungkinkan aktifitas bisa berjalan seperti sediakala (tentu dengan tetap mematuhi protokol kesehatan).

Menurut saya, HBH ini sangat bagus untuk merekat kembali persatuan dan kesatuan antar komponen bangsa, yang akhir ahir ini terasa mulai terkelupas, yang jika dibiarkan akan dapat membawa kesengsaraan dalam waktu dekat.

Oleh sebaba itu dari jajaran elit politik dan unsur penyelenggara pemerintahan harus ada yang berani mengambil inisiatif untuk mengajak para elit berkumpul, lalu saling menyampaikan pemikiran bagaimana kita harus menghadapi tantangan hidup ke depan.

Para elit perlu banyak belajar dari para pendahulu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa. Sesungguhnya, seberat apapun masalah jika ada keinginan untuk menyelesaikannya, semuanya akan clear. Perang saja tidak pernah ada yang selesai dengan perang itu sendiri, tapi selesai dengan perundingan atau lobi lobi. HBH adalah momentum baik yang dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah disintegrasi bangsa yang sedang mengancam kita sekarang.

Jadi, pelaksanaan HBH harus dikembalikan ke khittah awal. Makan makan, taushiyyahan, orgenan boleh saja diadakan untuk sekedar membuat suasana lebih rileks dan tidak terlalu formal, tapi bukan itu inti acaranya. Intinya adalah menawarkan solusi untuk menguatkan kembali ukhuwah dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama.

*) Penulis adalah Ketua Harian LPTQ Kota Padang.

**) Isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *