Artikel

PESANTREN BENTENG AKIDAH DAN BENTENG PERTAHANAN RAKYAT INDONESIA

Oleh : Anton Permana
(Tanhana Dharma Mangruva Institute)

Ketika mendengar nama Pesantren, bagi saya yang terbayang adalah sebuah entitas pendidikan keagamaan asli khas Indonesia dalam agama Islam.

Pesantren di Indonesia sangat unik dan sakral. Pesantren di Indonesia adalah benteng akidah dan juga benteng pertahanan rakyat Indonesia yang sudah teruji sejak zaman kolonialisasi.

Pesantren-pesantren inipun sudah duluan hidup eksis dan ada sebelum negara Indonesia inipun ada. Tak terhitung jasa dan hasil karya pengabdian pesantren ini terhadap bumi nusantara.

Di masa penjajahan, pesantren inilah terdepan melahirkan para pejuang-pejuang tangguh pemberani. Ingat Resolusi Jihad tahun 1945, mobilisasi para santri oleh Kiyai dan Ulama berhasil mengusir dan mengalahkan tentara Sekutu dalam perang Surabaya, Palagan Ambarawa, dan banyak medan perjuangan lainnya.

Pesantren ibarat mata air yang sejuk di tengah belantara hutan perjalanan sejarah bangsa ini. Tak terhitung para tokoh bangsa, pejuang, pejabat, pahlawan, lahir dari pesantren se-Indonesia.

Pesantren juga terdepan ketika ganyang PKI tahun 1948 dan 1965. Di era moderen saat ini juga, pesantren adalah salah satu benteng utama bangsa Indonesia dalam memghadapi gempuran budaya sekulerisme, liberalisme, hingga komunisme tanpa ampun baik dari dalam dan luar negeri kita.

Untuk itulah, keberadaan pesantren di negeri ini sangatlah krusial, sakral, monumental, dan fundamental sebagai benteng negara dalam menghadapi tantangan zaman.

Namun sayang, kehidupan indah dan sakaral pesantren hari ini seolah terkoyak-koyak oleh sentuhan tangan yang tidak tampak.

Melalui kejar tayang pengesahan UU nomor 18 tahun 2019 yang di ketok palu di ujung masa jabatan para anggota DPR-RI periode 2014-2019.Lain yang dibahas, lain pula yang dihasilkan.

Saat ini, ratusan bahkan ribuan para Kiyai dan Ulama kita hatinya sedang gelisah. Para orang tua kita di pesantren-pesantren seantero nusantara mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Nusatenggara dan Papua sangat resah.

Setidaknya ada 20 pasal yang menurut tim kajian gabungan pesantren menyatakan bahwa : “Pesantren kami sedang darurat. Karena ada upaya yang sangat jelas untuk mengintervensi, mendikte, mengkooptasi, kehidupan pesantren yang sudah hidup ratusan tahun ini dengan nilai-nilai liberalisasi, sekulerisasi yang halus sistematis”.

Membaca pasal demi pasal UU nomor 18 tahun 2019 ini, seakan melalui UU ini, pemerintah hari ini ingin membawa perubahan yang sangat radikal dimana arah perubahan tersebut disinyalir banyak membahayakan identitas, karakteristik dan cita-cita luhur Pesantren yang sudah ada dan eksis.

Mulai dari syarat kepemilikan yang dibebaskan kepada siapa saja termasuk kepada kalangan non-muslim (kata “masyarakat” pada pasal 1 butir 1, dan pasal 6 (ayat) 1). Pembentukan lembaga Majelis Masyayikh sebagai lembagai tertinggi pesantren yang mesti berdasarkan persetujuan Kementrian Agama (Pasal 1 butir ke 11 Jo. UU Pesantren).

Ketentuan ini seakan mau membajak kewenangan para ulama, kiyai, dan pengasuh pondok pesantren itu sendiri (Pasal 9 (ayat) 1).

Pengaturan kurikulum yang juga mesti tunduk kepada ketentuan Kementrian dimana ada kata “moderat” di situ yang sudah tentu mudah kita tebak arahnya mau kemana. Kata-kata moderat selama ini adalah kata kamuflase dari upaya sekulerisasi dan liberalisasi. Seolah Islam itu kuno dan radikal. Karena tidak sejalan dengan pikiran mereka (Pasal 3 huruf a, Pasal 40 huruf f).

Begitu juga dalam hal sistem pembiayaan dana abadi pesantren yang tak jelas mau kemana aturan mainnya, kata kompetensi dalam tenaga pengajar atau kiyai, standar mutu, sistem informasi dan menajemen pesantren yang juga wajib tunduk dan merujuk kepada ketentuan Kementrian Agama. Kewenangan kemandirian pesantren selama ini seakan mau “dirampok” dan dikontrol penuh negara melalui aturan regulasi (Pasal 14, 20, 23, dan 26 (ayat) 4 dan 5).

Kenapa rezim hari ini begitu tega dan lancang masuk terlalu dalam mengintervensi kehidupan pesantren ? Seolah pesantren hari ini dibuat semacam sarang penjahat, teroris, dan pemberontak. Apa salah pesantren terhadap negara ?

Pemerintah seakan tidak peka terhadap psikologis dan tidak mau menghargai atau menghormati kedudukan pesantren di negeri ini. Pemerintah seakan tak mau peduli dengan apa yang di sebut kehormatan dan kemuliaan para Kiyai dan Ulama.

Parahnya lagi, UU tersebut sudah disah-kan dan wajib dilaksanakan. Pertanyaannya, bagaimana kalau dalam peraturan menteri selanjutnya apa yang kita takutkan di atas benar terjadi ? Yaitu melalui jalur regulasi pemerintah sebenarnya ingin mendikte, mengintervensi, mengkoptasi, mengontrol total kehidupan pesantren sesuai dengan “selera” penguasa.

Wajar akhirnya, muncul banyak kecurigaan, kecemasan, was-was dari para Kiyai dan Ulama, agenda apa dan agenda siapa yang “bermain” di balik semua ini? bahwa regulasi ini “diduga” adalah semacam upaya liberalisasi-sekulerisasi pesantren-pesantren di Indonesia dan upaya sistematis pelemahan bahkan bumi hangus pesantren dari bumi nusantara.

Hal ini kalau kita kaitkan, sangat selaras dengan kondisi politik negara hari ini. Bahwa, ada upaya kuat dan sistematis untuk merubah haluan negara Indonesia dari negara yang berPancasila menjadi negara super liberalis selanjutnya menuju komunis secara bertahap. Dimana agama adalah musuh ancaman negara.

Lalu kenapa sekarang mau diobok-obok ?? Dengan alibi modernisasi, dan upaya de-radikalisasi ??

Aroma agenda komunis sangat kuat di dalamnya. Bercampur dengan bau amis liberal.

Lalu kemana para politisi ? Pejabat ? Kepala daerah ? Bahkan calon Presiden dan Wakil Presiden selama ini yang setiap event politik rajin datang ke pesantren ???

Kenapa pesantren dibiarkan diacak-acak seperti ini ? Kemana para anggota DPR RI yang ikut mengesahkannya ? Catat dan cari mereka ?? Minta pertanggung jawabannya. Jangan hanya peduli waktu butuh suara pesantren saja.

Apakah kita tidak kasihan dan malu kepada para ulama dan kiyai yang seharusnya kita hormati ? Apakah kita tidak takut akan azab dan kualat dan kemarahan kaum santri yang jumlahnya puluhan juta di Indonesia ? Karena pesantren kebanggaan dan paling mereka hormati diacak-acak ??

Perlu jawaban konkrit dan tindakan nyata dari para pemangku jabatan di negeri ini. Kegelisahan dan keresahan orang-orang sholeh dan mulia di pesantren saat ini bagaikan api di dalam sekam. Jangan sampai terlambat. Dan jangan dianggap sepele.

Sayapun tak sanggup menatap wajah teduh pak Kiyai yang menyampaikan kegelisahannya tentang UU pesantren ini. Saya takutkan “kualat” wahai kalian yang telah “bermain” dalam suksesi pengesahan kejar tayang UU ini.

Lambat laun, semua pasti terbongkar. Jangan katakan KAMI diam dan tenang.

Langkah hukum pasti akan ditempuh. Sebagai bentuk ketaatan para Kiyai dan Ulama menyikapi permasalahan ini. Apakah melalui judicial review atau langkah hukum lainnya.

Untuk itu mari kita kawal pesantren kita bersama, kita jaga demi Indonesia, demi bangsa, negara, dan agama.

Salam Indonesia Jaya ! Selamatkan Pesantren kita !

Batam, 12 Agustus 2020.

Catatan; Isi artikel jadi tanggung jawab penulisnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *