Faldo Maldini ; Pak Hendrajoni yang Saya Kenal
Saya pertama kali bertemu beliau di sebuah kantor partai, Ia duduk di pojokan menunggu surat rekomendasi maju Pilkada pertama kali. Saya kala itu langsung menegur beliau, bertanya, “Bapak Hendrajoni? Cabup Pessel?”, “Ya Dinda, kabar baik?”, jawabnya. Saya pertemukan beliau dengan Ketum dan saya berpesan, saya titip kampung halaman saya ke Bapak ya. Beliau menang di tahun 2015.
Dibilang sempurna tentu tidak. Bukan hal mudah saya kira meninggalkan Jakarta bagi beliau untuk pulang ke kampung halaman. Saya juga punya keresahan yang sama, keinginan mengabdi. Bukan hal yang mudah juga bagi beliau untuk mengelola birokrasi dan berdialektika dengan masyarakat di kampung halamannya. Tapi saya pantau Ia terus belajar. Saya kira ini penting. Hasrat ingin belajar. Saya kira awalnya dia hanya politisi musiman yang menggunakan partai untuk maju Pilkada, namun pada akhirnya Ia bersedia memimpin parpol di daerah, sampai 2 pula, bagus lah. Berarti beliau percaya jalan partai politik yang akan diambil.
Tentu posisi saya tidak selalu sama dengannya. Ketika akan kontestasi saya mengambil posisi di seberangnya. Saya kritik habis beliau dengan memaparkan kekurangan-kekurangan yang Ia buat selama memimpin. Namun, tidak sekalipun, sekali lagi saya tekankan, tidak sekalipun beliau marah atau kirim orang menghentikan saya. Dalam artian, kami sudah kenal lama, tapi tidak pernah bawa perasaan di dalam politik. Ya paling timnya saja, saya kira wajar karena mereka juga punya cinta pada beliau.
Saya juga pernah bertanya, “kenapa Bapak selalu tampak marah di media-media?”, dia tertawa kala kami berbincang terkait hal itu. Memang terkadang perlu tindakan yang berbeda agar berubah. Disiplin itu penting katanya, “karena saya dididik dan bekerja dengan kedisiplinan berhadapan dengan hal-hal yang tidak baik”, begitu ujarnya sambil Ia memegang butir-butir tasbih yang sering Ia pasang di atas sikunya. Saya kira Ia berusaha untuk istighfar dengan sering. Mungkin karena cukup menguras pikiran dan tenaga menjadi pemimpin.
Hari ini saya berdiri bersama dengannya. Tentu banyak pro dan kontra. Ramai sekali saya lihat di media. Namun saya kira kita sudah lebih dewasa dalam berpolitik. Memang kadang tidak bisa dijelaskan dengan kata. Dinamika ini saya kira cukup dilihat menggunakan “rasa”. Masyarakat Pessel adalah masyarakat yang mengedepankan “rasa”, saraso. Tentu akan sangat bisa subjektif, namun, rasa tidak pernah bisa dipaksa. Saya punya, Bapak/Ibu dan Dunsanak juga memilikinya. Dan pada akhirnya, kita bisa bersepakat untuk tidak sepakat tentunya.
Saya juga mengenal baik Pak An dan Pak Dedi (Deded). Saya menghormati keduanya, seperti halnya saya menghormati Pak Hendrajoni. Bagi saya, kepada ketiganya tentu tertitip banyak harapan masyarakat Pessel atas kehidupan yang lebih baik. Saya tentu izin berjuang pula, dengan partai politik yang sedang saya pimpin bersama beliau.
Yang saya pelajari di Nasional, jika dalam fase bertarung, habis-habisan lah. Namun jika sudah usai, kita tentu bisa kembali seperti sedia kala. Bersama melanjutkan pembangunan Pesisir Selatan kembali.
Faldo Maldini