Dharmasraya

Politik Kebijakan Publik Pertanahan Kajian Pengalihan Hak Adat Untuk Investasi Swasta Pada Perkebunan Di Dharmasraya

Karya Ilmia Muhammad Samin Wartawan Utama

Dharmasraya, PilarbangsaNews – Fatwa adat Minangkabau mengatakan “Tanah Adat Itu Dijua Indak Dimakan Baia Digadai Indak Dimakan Sando”, tanah adat di Minangkabau tidak digadaikan (untuk selamanya). Dibolehkan menggadaikan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu.

Telah diamanatkan di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara  Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Demi terwujudnya harapan tersebut pemerintah membuat peraturan lebih lanjut di dalam bidang pertanahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut dengan singkatan resminya UUPA).

Salah satu tujuan UUPA adalah untuk mewujudkan kepastian hukum hak-hak  atas tanah. Hal tersebut ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ditentukan bahwa salah satu tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

Setelah terbitnya UUPA di Indonesia telah terbit beragam kebijakan hukum sumber alam (tanah, air, hutan, laut, tambang, perikanan, dan sejenisnya) mendasarkan pada paradigma sentralisme hukum (legal centralism). De jure, kebijakan hukum sentralistik dimaksud ternyata berangsur-angsur mengubur sebagian besar potensi lokal masyarakat tempatan, sehingga ia seakan tidak berdaya dalam mengelola sumber alamnya sendiri.

Dalam konteks tanah dan sumber alam misalnya, di negeri ini praktik penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam berdasarkan atas potensi lokal tempatan, contoh kasusnya memperlihatkan gambaran bahwa pola penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber alam dikonstruksi dengan model bagilie (bergilir). Model demikian memperlihatkan cara mempertahankan dan memanfaatkan sumber alam dilandasi kesepakatan-kesepakatan yang dikonstruksi oleh mamak atas dasar aturan lokal dalam mengatur siapa, apa, bagaimana, dan mengapa penguasaan dan pemanfaatan sumber alam demikian.

Dalam konteks hukum adat Minangkabau mengenal dua bentuk kepemilikan terhadap tanah, yaitu pusako tinggi dan pusako randah. Harta pusaka tinggi (harto pusako tinggi) adalah Hak Milik bersama dari pada suatu kaum yang mempunyai pertalian darah dan diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu, dan harta ini berada di bawah pengelolaan mamak kepala waris (lelaki tertua dalam kaum). Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka ini dari mamak kepada kemenakan dalam istilah adat disebut juga dengan pusako basalin. Disamping itu ada lagi tanah ulayat yang termasuk ke dalam pusaka tinggi.

Menurut pemikiran Van Vallenhoven dalam Syahmunir menegaskan bahwa tanah ulayat dapat berupa ulayat Nagari, ulayat suku, dan ulayat kaum sebagai harta pusaka tinggi, yang tidak boleh dipindah tangan selama-lamanya sangat terkait dengan fungsi tanah bagi kelangsungan hidupnya kaum dan suku Minangkabau. Harta pusaka rendah (harto pusako randah) adalah warisan yang ditinggalkan oleh seseorang pada generasi pertama, karena ahli warisnya masih sedikit itulah statusnya masih dipandang rendah.

Mereka dapat melakukan kesepakatan bersama untuk memanfaatkannya, baik dijual atau dibagi-bagi antara mereka. Pusaka rendah berarti harta pencaharian suami istri dalam rumah tangga, atau merupakan segala harta hasil pencaharian dari bapak bersama ibu (suami istri) sewaktu masih hidup dalam ikatan perkawinan, ditambah dengan pemberian mamak dan tungganai dari hasil pencaharian mamak dan tungganai itu sendiri.

Dalam karya ilmiah  ini Penulis tidak akan membahas tentang pusako randah karena konteks jenis tanah ini dalam adat Minangkabau sudah jelas, yaitu dapat dialihkan haknya kepada orang lain, baik secara jual beli maupun dengan cara lainnya.

Pada dasarnya peralihan hak atas tanah dapat terjadi dalam bentuk umum yaitu karena:

Penjualan, yaitu perpindahan hak atas tanah untuk selama – lamanya dengan menerima sejumlah uang yang dibayar tunai
Pertukaran, yaitu perpindahan hak atas tanah untuk selama– lamanya dengan mendapatkan penggantian tanah pada tempat yang berbeda letaknya.
Penggadaian, yaitu perpindahan hak atas tanah untuk sementara waktu, dengan menerima sejumlah uang, tanah akan diperoleh kembali jika telah ditebus dengan sejumlah uang yang diterima dari pemegang gadai.
Hibah, yaitu pemberian tanah kepada seseorang, lembaga baik sementara atau selamanya.
Persewaan, yaitu perpindahan hak atas tanah untuk sementara waktu (sesuai jangka waktu yang ditentukan) dengan mendapatkan pembayaran berupa sewa.

Dalam hukum adat Minangkabau perpindahan hak untuk selamanya yaitu dengan jalan menjual tidak dibenarkan. Perpindahan hak yang pada umumnya terjadi adalah perpindahan dalam bentuk sewa yang dalam masyarakat hukum adat Minangkabau dikenal dengan istilah memperduai atau mempertigai (bagi hasil).

Untuk mempertahankan agar hak atas tanah ulayat tidak hilang atau berpindah pada pihak lain maka bentuk gadai lebih cocok dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau. Hal ini terjadi karena pelaksanaan gadai oleh masyarakat Minangkabau tidak akan menimbulkan kerugian pada salah satu pihak, karena didasari dengan prinsip sama–sama senang, disamping itu gadai tersebut sulit dihapus karena dalam pelaksanaannya harga gadai hampir sama dengan harga jual dari tanah tersebut. (Rjl)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *