.

Bertemu Setelah Dia Pergi (Oleh: Wandra Ilyas)

Pilarbangsanews.com, —

Fatih pergi dinas ke Palembang selama tiga hari bersama dua orang temannya. Siang itu, mereka lewat di depan pasar tradisional, mencari toko tempat menjual “pempek”, yang direkomendasikan oleh salah seorang pegawai hotel tempat mereka menginap.
.
“Dedek…!”, panggil seorang ibu penjual sayuran tiba-tiba. Fatih kaget dan langsung menoleh ke arah ibu itu.

“Ibu, panggil saya ?”, tanya Fatih.

Ada beberapa saat ibu itu tercenung setelah memandangi wajah Fatih. Tiba-tiba air matanya meleleh di pipinya.

“Maaf, saya salah…”, jawab ibu itu sambil menghapus air matanya. Sementara kedua teman Fatih yang lain, telah duluan berjalan di depan.

****

Kejadian itu sangat aneh bagi Fatih. Di Palembang, pada sebuah kota yang begitu jauh dari tempat kelahirannya. Ada seorang ibu yang memanggilnya “Dedek”. Padahal panggilan seperti itu, hanya khusus diucapkan oleh abang, kakak dan kedua orang tuanya.
.
Akhirnya Fatih memutuskan untuk menelepon ibunya.
“ Assalamualaikum , Bu…”.
“Waalaikumsalam Dek…”.
“Ibu tahu kan, Dedek sekarang di Palembang”.
“Iya, bukankah sebelumnya Dedek sudah mengabari Ibu”.

“Tapi, tahukah Ibu ?”, ucap Fatih kepada ibunya.

“Memangnya ada apa, Dek ?”, tanya ibunya.

“Waktu Dedek lewat di pasar tradisional bersama teman-teman untuk mencari “pempek”.

Tiba-tiba seorang ibu penjual sayuran memanggil “Dedek”. Dek kaget, Bu. Waktu Dek tanya, apakah ibu itu memanggil Dek ? Ada beberapa saat ibu itu tercenung setelah memandangi wajah Dek. Tiba-tiba air matanya meleleh di pipinya. “Maaf saya salah”, ucapnya kemudian”.

Sejenak, Fatih dan ibunya sama-sama terdiam.
“Kok bisa ada orang lain memanggil Dek seperti itu ya, Bu…?”, kata Fatih penuh tanya. Ibunya hanya terdiam dan tidak ada memberikan jawaban.

“Bu…!”, kata Fatih memanggil ibunya.

Tiba-tiba terdengar ibunya menangis sesenggukan.
“Bu…kenapa Ibu menangis…?”, tanya Fatih.
.
“Fatih…Ibu yakin perempuan penjual sayuran yang memanggil Dedek itu adalah Mbak Anik, yang mengasuh Dedek waktu kecil dulu. Dia memang berasal dari kota Palembang”, sampai di situ tangis ibunya semakin keras.

“Masya Allah…”, ucap Fatih. Dia jadi ikut menangis bersama ibunya.

****

Fatih baru ingat dan tersadar. Dulu, ibunya pernah bercerita bahwa, sebulan sebelum Fatih lahir ibunya membawa seorang perempuan bernama Mbak Anik ke rumah sebagai pengasuh, atas bantuan tetangga. Ada lima tahun lamanya Mbak Anik mengasuh mereka kakak-adik sampai Fatih berumur lima tahun.

Cerita ibunya lagi, Mbak Anik orangnya rajin bekerja, jujur dan dekat dengan mereka kakak-adik, terutama sekali dengan Fatih. Apa saja keinginan Fatih selalu maunya dengan Mbak Anik: mau mandi, mau makan, tukar baju selalu dengan Mbak Anik. Ingin bermain di halaman rumah juga dengan Mbak Anik. Bahkan, sering Fatih tertidur di pangkuannya.

Suatu kali terjadi masalah, perhiasan ibunya hilang. Ibunya bertanya kepada bapak, abang dan kakaknya. Semuanya mengatakan tidak ada yang mengambil. Bahkan abang dan kakaknya mengatakan tidak pernah melihat perhiasan ibu itu sama sekali. Terakhir ibunya menanyakan kepada Mbak Anik. Ternyata Mbak Anik juga menjawab tidak ada mengambil. Seminggu sesudah itu, ibunya bertanya lagi kepada Mbak Anik. Jawabannya masih tetap sama dan Mbak Anik menangis.

Sebulan sesudah itu, Mbak Anik minta berhenti bekerja dan mau balik ke kampungnya. Ibunya tidak bisa berkata apa-apa. Akhirnya, mengabulkan permintaan Mbak Anik dan memberikan tambahan ongkos untuk pulang.
.
Padahal di lubuk hati ibunya yang paling dalam, termasuk bapaknya, Fatih, abang dan kakaknya amat sedih melepas kepergian Mbak Anik untuk kembali pulang ke kampungnya. Tetapi, apa hendak dikata situasi dan kondisi berkata lain
.
Sepuluh hari setelah kepergian Mbak Anik, tiba-tiba ibu Fatih menangis sejadi-jadinya. Semuanya terkejut dan cemas. Ternyata perhiasan yang hilang ditemukan kembali. Ibunya salah menyimpan, mengalihkannya dari lemari ke tempat lain. Semuanya hanya terdiam dan terpaku.
.
Ada beberapa hari ibunya selalu menangis karena terpukul. Apalagi ibunya kembali membayangkan, saat-saat terakhir kali sebelum Mbak Anik pergi, dia memeluk Fatih begitu lama dan air matanya mengalir berjatuhan
.
“Dek…datangi Ibu penjual sayuran itu kembali, Ibu yakin dia adalah Mbak Anik”, desak ibunya dalam keadaan masih menangis.
“Iya, Bu. Dek mohon Ibu tenang. Besok pagi Dek temui lagi, sekarang sudah malam…”, jawab Fatih.
“Beri tahu juga Abang dan Kakakmu”.
“Iya, Bu”, jawab Fatih lagi.
.
Fatih menelepon abang dan kakaknya, menceritakan semua yang terjadi. Mereka kaget dan terharu bercampur sedih. Termasuk kepada isterinya, Fatih juga menginformasikan semuanya. Isterinya terdengar menjawab dengan suara serak.

****

Besoknya pukul tujuh pagi, Fatih telah tiba di pasar tradisional itu. Dari jauh sudah dia lihat ibu penjual sayuran itu. Kata ibunya, itulah Mbak Anik yang mengasuhnya waktu kecil. Fatih sedih. Jantungnya berdebar kencang.

Lalu, dia beranikan mendatangi ibu penjual sayuran yang dikatakan ibunya adalah Mbak Anik.

“Bu…”, kata Fatih memanggil dengan suara perlahan..

Ibu itu hanya menoleh sebentar, setelah itu kembali menata sayurannya.
.
“Mbak Anik !”, panggil Fatih lagi dengan suara agak keras.

Ibu itu terhenti dan melihat ke muka Fatih. Dia tercenung beberapa saat dan berucap.

“Kamu memang Dedek bukan ?”, tanyanya dengan yakin.

“Betul, aku Dedek, Mbak”, jawab Fatih dengan suara tersekat.

Mbak Anik pengasuh Fatih itu langsung mengejar dan memeluknya dengan erat. Dia menangis sedikit keras sambil mengguncang badan Fatih beberapa kali dan menciumnya.

“Mbak sangat sayang sama Dedek, Mbak rindu…Mbak kangen. Dedek sudah besar sekarang”, isaknya sambil menengadahkan mukanya memandangi wajah Fatih.

Pedagang yang ada di sekitar itu, heran dan tercengang melihat Anik memeluk seorang anak muda gagah sambil menangis dengan agak keras. Pedagang rempah-rempah yang ada di sebelahnya langsung bertanya.
.
“Anik, ada apa dengan anak muda ini. Kok kamu seperti itu ?”.

“Maaf, Bu Wena. Dedek ini adalah anak yang pernah saya asuh waktu di Padang dulu, sudah 25 tahun lebih tidak bertemu”, jelas Mbak Anik. Orang-orang di sekitar yang ikut mendengar mengangguk-anggukan kepalanya dan merasa ikut terharu.

****

Fatih mengajak Mbak Anik untuk pergi sarapan pagi bersama ke sebuah kedai yang tidak begitu jauh dari tempat itu. Mbak Anik menitipkan dagangannya kepada Bu Wena yang ada di sebelahnya.

“Dedek… kemarin Mbak tidak mau melanjutkan, karena khawatir Dedek tidak mengenal Mbak lagi. Sebab dulu, waktu Mbak balik ke kampung, Dedek masih berumur lima tahun”.

“Tapi…kenapa Mbak masih bisa mengenali Dedek ?”, tanya Fatih.

“Ada tanda yang tidak pernah Mbak lupakan. Di kening Dedek ada sedikit bekas luka dan di pipi sebelah kiri ada tahi lalat. Tapi, yang lebih kuat mengatakan adalah batin Mbak…”. Sampai di situ Mbak Anik menangis lagi. Fatih sangat terharu mendengarnya, dia ikut menangis.

“Lalu, kenapa pagi ini Dedek datang lagi menemui Mbak ?”, tanya Mbak Anik sambil menghapus air matanya.

“Awalnya Dek merasa aneh, kok ada orang yang memanggil “Dedek”. Setahu Dek, yang memanggil begitu hanya Ibu, Bapak, Abang dan Kakak. Maka malamnya Dek telepon Ibu, Abang dan Kakak serta menceritakan semuanya. Kata Ibu, ada satu orang lagi yang memanggil “Dedek”, namanya Mbak Anik”.

“Begitu kata Ibu ?”.

“Iya, dan Ibulah yang menyuruh Dek untuk datang lagi, karena Ibu yakin yang memanggil Dedek itu adalah Mbak Anik”. Sampai di situ Fatih melihat Mbak Anik menekurkan kepalanya,

“Waktu Ibu meminta Dek datang lagi pagi ini, beliau menangis tersedu-sedu”.

“Menangis tersedu-sedu ?, tanya Mbak Anik heran.

“Kami semua terutama Ibu minta maaf pada Mbak”.

“Kenapa minta maaf pada Mbak, Dek ?”, tanya Mbak Anik semakin heran
.
“Sepuluh hari setelah kepergian Mbak kembali ke kampung, perhiasan ibu yang hilang ditemukan kembali. Ibu salah menyimpannya, beliau memindahkan dari lemari ke tempat lain”.

“Hah…ditemukan kembali ?”. Mbak Anik terkejut sekali, lalu menengadahkan mukanya, terlihat dia berusaha agar air matanya tidak jatuh.
.
“Terus terang…waktu Ibu menanyakan perihal perhiasan yang hilang untuk kedua kalinya kepada Mbak. Mbak betul-betul sedih, karena merasa tidak ada mengambilnya. Sebulan kemudian Mbak memutuskan untuk balik ke kampung. Tapi, semuanya sudah Mbak lupakan dan maafkan. Apalagi setelah mendengar informasi, perhiasan itu telah ditemukan”, ucap Mbak Anik dengan suara tersendat-sendat.

“Kami semua, selama ini ingin betul mengetahui keadaan dan keberadaan Mbak”, kata Fatih setelah beberapa saat.

Q
“Seperti yang Dedek lihat, sehari-hari Mbak menjual sayuran untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mbak punya anak perempuan satu-satunya. Sekarang sudah kelas III SMP. Bapaknya pergi 5 tahun yang lalu saat dia masih kelas IV SD “.

“Pergi Mbak ?”.

“Iya, Bapaknya pergi meninggalkan kami begitu saja, tidak tahu apa sebabnya”, jawab Mbak Anik sedih.

“Mbak, kalau begitu…bagaimana bila Mbak kembali ke Padang. Tinggal bersama Bapak dan Ibu. Sekarang…beliau hanya tinggal berdua saja di rumah. Mbak dan anak Mbak bisa tinggal di pavaliun. Bapak telah membeli rumah tetangga yang di sebelah dan merenovasinya”.
.
Lama Mbak Anik terdiam. Terlihat dia berpikir. Kemudian berkata dengan perlahan.

“Dengan jujur…Mbak ingin dan senang untuk bisa kembali ke Padang. Tapi, Mbak terpikir pada anak. Mbak tak ingin anak Mbak tidak bertemu lagi dengan Bapaknya. Mbak berharap suatu saat mereka bisa bertemu kembali dan dapat berkomunikasi seperti layaknya seorang bapak dengan anaknya, walaupun bapaknya dengan Mbak tidak bersatu lagi”. Sampai di situ Mbak Anik kembali menekurkan kepalanya.

“Kami ikut prihatin Mbak…atas cobaan yang menimpa Mbak”, ucap Fatih sedih.

“Kami tinggal bertiga dengan Ibu sekarang. Sedangkan Bapak Mbak telah meninggal tiga tahun yang lalu…”.

“Innalillah…mudah-mudahan ibu Mbak, anak dan Mbak sehat selalu. Nanti semuanya akan Dek sampaikan pada Bapak, Ibu, Abang dan Kakak”, ucap Fatih.

“Maaf ya, Mbak. Rencananya Dek dan teman-teman kantor akan ke Bandara siang ini. Pukul 02.00 kami akan kembali ke Jakarta. Mari kita foto berdua dulu”, ucap Fatih langsung mengambil android atau Hp-nya.

“Mohon juga sebutkan, berapa nomor Hp Mbak atau nomor HP anak Mbak”, kata Fatih dan langsung mencatatnya setelah mereka berfoto berdua.

“Ini…nomor HP Dek juga sekalian WA”, kata Fatih sambil menuliskannya di atas sebuah amplop. Kemudian memberikannya kepada Mbak Anik.

“Dek…?”, ucap Mbak Anik setelah amplop berada di tangannya.

“Mohon Mbak terima, itu sedikit pemberian dari Dek”, ucap Fatih sambil menggenggam kedua tangan Mbak Anik, kemudian memeluknya beberapa saat.

****

Sampai di Jakarta Fatih langsung mengirimkan nomor HP Mbak Anik dan anaknya kepada ibu, abang dan kakaknya, sekalian foto berdua dengan Fatih. Hingga semuanya dapat berkomunikasi dengan Mbak Anik bahkan sampai bervideo call.

Kemudian, ibunya memberitahukan bahwa beliau akan mengirimkan uang untuk Mbak Anik, karena telah diniatkan dari awal. Kata ibunya lagi, jumlahnya sebanyak perhiasan ibu yang pernah dikira hilang dulu dengan harga sekarang. Spontan saja Fatih, abang dan kakaknya kaget setelah mendengar informasi itu.
.
Atas kesepakatan mereka bertiga, Fatih mengabari kepada ibunya bahwa, semua uang untuk Mbak Anik akan mereka penuhi bertiga kakak-adik sebanyak keinginan ibunya. Fatih langsung menstransfer uang tersebut setelah Mbak Anik mengirimkan nomor rekening.
.
Di bawah bukti transfer yang dikirim melalui whatsApp, Fatih menuliskan untaian kata-kata.. Mbak Anik tidak dapat menahan tangisnya saat membaca pesan whatsApp dari Fatih itu. Aplagi setelah melihat jumlah uang yang dikirim

Assalamualaikum Mbak,

Berikut ini ada bukti trasfer uang titipan dari bapak dan ibu untuk Mbak. Mudah-mudahan dapat membantu Mbak bersama Ibu dan Silva. Semoga Silva juga bisa bertemu kembali dengan bapaknya. Kami semua mohon maaf dan mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan Mbak selama lima tahun bersama kami.

Seperti ucapan Ibu kepada kami: “bahwa Mbak pernah hadir selama lima tahun dalam kehidupan kami dan kami tidak akan pernah melupakannya sampai kapan pun”.

Salam selalu sayang,
FATIH

Catatan Foto Unggulan Artikel adalah foto Lisda Hendrajoni anggota Fraksi Partai Nasdem DPR RI dari Pesisir Selatan dapil 1 Sumbar . Foto itu tidak ada sangkut pautnya dengan cerita ini tak lain hanya sebagai asesoris saja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *