GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 71
Makmur Hendrik Penulis cerbung GIRIANG GIRIANG PERAK (Foto dok pribadi)
Cerita Bersambung Giriang-Giriang Perak ditulis oleh Bang Makmur Hendrik, pernah dimuat pada Surat Kabar Harian Haluan Padang tahun 70an, dan waktu itu menjadi cerita bersambung yang paling digemari pembaca.
Ditahun 2018 Redaktur Pelaksana PilarbangsaNews.com Yuharzi Yunus mendapat izin dari bang Makmur Hendrik, untuk mempublishnya di media PilarbangsaNews.com. Dan itu telah kami publish secara bersambung, namun pada bag ke 70 terhenti karena File jilid 2 hilang. Tapi pada hari Sabtu dini hari tanggal 7/12/2024 file itu ketemu lagi. Dan mulai hari ini Insya Allah kembali kami publish secara bersambung sampai tamat. Selamat mengikuti:
Bagi yang belum membaca bag 1 s.d bag 70 klik link dibawah ini;
SAYA telah mendengar kisah terciptanya sebuah aliran silat yang tangguh. Saya bahagia bisa bertemu dengan Datuk Berbaju Kafan…. ujar si Giring Giring Perak sambil mengangguk hormat.
Lelaki kurus itu tertawa bergumam. Tawanya menyenangkan. Dia kelihatan amat polos dan suka beterus terang.
He… he… anak muda. Semuda ini usiamu, setinggi itu pula ilmumu, ternyata engkau seorang anak yang pandai membawakan diri. He … he … bahagialah gurumu, karena menemukan engkau untuk dijadikan muridnya….
Dan lelaki itu lalu menghela nafas. Kemudian bersandar, mengikuti perangai Datuk Nago yang terpicing picing, dan menyambung ucapannya, Kalau saja saya punya murid seperti engkau buyung, hmm. Saya akan bahagia sekali bila datang saatnya mati sungguh sungguh….
“Terima kasih Datuk. Terima kasih atas penghargaan dan pujian Datuk yang amat tinggi itu pada diri saya. Saya benar benar merasa kecil dalam pertemuan orang orang gagah yang berkumpul di sini….
Tapi tiba-tiba ada suara menyela.
Masih ada lagikah monyet yang akan kau perkenalkan Rajo Tuo?
Semua orang jadi kaget. Tuanku Nan Renceh sendiri terperangah. Mereka menatap sesama mereka. Siapakah yang telah begitu kurang ajar menamakan orang orang gagah ini sebagai monyet?
Datuk Nago yang tertidur itu masih tetap tidur. Semua yang hadir jadi berdiam diri. Tuanku Nan Renceh nampaknya menyadari, bahwa suara itu tidak berasal dari orang orang yang hadir. Tapi dari luar ruangan. Dan sebelum orang orang tahu apa yang harus mereka perbuat, suara itu kembali terdengar.
Hmm, syukurlah, di sini kini berkumpul monyet monyet tua. Hmm, kami senang sekali. Berarti sekali tepuk bisa mati tujuh atau lebih hee… hee…
Sanak yang berada di atas atap. Turunlah ke bawah. Kenapa berkunjung harus ke atas atap? Apakah balairung ini tak ada tangga dan tak ada tempat lagi untuk duduk? Silahkan masuk…!
Bersambung ke bag 72
Klik link dibawah ini;