Jelang Kongres PWI XXV di Bandung, Ini Jejak Digital Ketum Atal S Depari
Oleh Zulnadi, SH
Kongres PWI sudah dapat dipastikan berlangsung tanggal 25-26 September 2023 di Kota Kembang Bandung. Pengurus Harian PWI pusat-pun telah membentuk panitia SC dengan Surat Keputusan Nomor: 499-PLP/PP-PW l/ 2023 Tentang Susunan Panitia Pengarah (Steering Committee) dan OC, Ketua Pelaksana dengan Surat Keputusan PWI Pusat, Nomor: 500/PLP/PP-PWI 2023 tanggal : 4 Agustus 2023.
Salah satu agenda kongres adalah pemilihan Ketua Umum sekaligus Ketua Formatur dan Pemilihan Ketua Dewan Kehormatan-DK PWI.
Kongres PWI ke XXV di Bandung akan menjadi catatan tersendiri, karena baru kali ini incumbent (Atal S. Depari) mendapat perlawanan dari sejumlah kandidat yang telah menyatakan maju sebagai calon Ketua Umum. Era sebelumnya, sebutlah Tarman Azam, Margiono melenggang manis untuk periode kedua lantaran memang berbuat untuk organisasi.
Atal sebagai calon petahana mendapat persaingan berat dari Hendry Ch. Bangun, mantan Sekjen PWI era Margiono (alm) yang pada kongres Solo 2018 hanya beda 2 suara dari kemenangan Atal. Calon lain adalah Zulmansyah Sekedang, Ketua PWI Riau. Dia ini digadang gadangkan “kuda hitam” dalam kongres nantinya. Selain dua sosok diatas Akhmad Munir yang diusung PWI Jatim.
Ketiga calon ini, tentu sudah membangun jaringan dengan sejumlah pengurus PWI di daerah. Berapa serta daerah mana pendukungnya, tentu mereka rahasiakan hingga kongres berlangsung.
Tidak baik- baik saja
Bagaimana dengan Atal S. Depari? Selain ada pesaing. Atal juga mempunyai rekam jejak digital yang dinilai tidak baik baik saja memimpin organisasi 5 tahun belakangan. Inilah sepengetahuan kita seorang Ketum menyatakan PDPRT dan KPW hasil Kongres Solo 2018 belum disahkan dan belum dinotariskan. Lalu dengan aturan dan perangkat apa Ia menjalankan roda organisasi PWI yang dipimpinnya?
Minggu lalu Atal Depari berada di Balik Papan, Kalimantan Timur, menghadiri acara Awarding “Siwo Golden Award’s“ di sana. Pagi-pagi keesokan harinya Ketua Umum PWI Pusat itu terbang ke Kalimantan Selatan. Wajahnya tampak letih kurang tidur. Pada orang yang menemuinya, Atal mengakui kurang tidur bahkan kurang beristirahat setahun terakhir.
Sepertinya, pikirannya fokus untuk memenangkan dirinya pada Kongres XXV PWI yang akan berlangsung di Bandung, 25-26 September. Ia perlu banyak ke daerah untuk memastikan dukungan para pengurus Cabang PWI di seluruh Indonesia agar memilihnya kembali. Demi tekad itu, Atal bekerja keras. Pembentukan panitia Kongres pun disusun sendiri. Sampai SK tersebut dikritik seorang anggota Dewan Penasihat PWI sebagai hal yang tidak etis.
Kongres yang salah satu agendanya memilih Ketum — hanya disusun dan ditentukan seorang kontestan. Bukan cuma itu, kabarnya Atal bahkan mengedarkan pula proposal permintaan bantuan kepada sejumlah donatur. Bukan untuk penyelenggaan kongres, tetapi untuk pemenangan dirinya. Atal sungguh all out untuk terpilih dua periode memimpin PWI.
Kongres PWI di Bandung memang berat. Suasananya berbeda dengan Kongres XXIV PWI di Solo lima tahun lalu. Walaupun waktu itu berat juga karena Atal hanya menang selisih dua suara dari rivalnya. Seperti disebut di awal, Hendry Ch Bangun, wartawan senior dari Kompas Group dan Mantan Wakil Ketua Dewan Pers, siap untuk maju berlaga kembali. Selain Hendry, ada juga Munir dirut Antara dan Zulmansyah unsur pimpinan Jawa Pos Group.
Semenjak reformasi, baru kali ini petahana menghadapi banyak kandidat. Dua kepengurusan sebelum Atal, yaitu Tarman Azzam (1998-2008 dan Margiono (2008-2018) karena prestasi keduanya terpilih secara aklamasi pada periode kedua. Al Fatihah dua-duanya sudah almarhum.
Pada Kongres PWI Bandung nanti Atal sudah punya jejak rekam lima tahun memimpin organisasi wartawan tertua dan terbesar di Tanah Air. Itu yang akan menjadi bahan evaluasi di kongres. Semua janji kampanyenya akan ditagih peserta. Tema Digitalisasi PWI yang intinya keterbukaan, sama sekali tidak terbukti. Semua hal masih diurus secara manual tradisional. Secara sembunyi- sembunyi.
Pembentukan panitia oleh dirinya sendiri salah satu contoh yang mengkhianati tema kampanyenya: keterbukaan.
Atal pasti menyadari jejak rekamnya memimpin kebanyakan hanya mengerjakan hal rutin. Lebih sering ke daerah hanya untuk konferensi daerah dan melantik pengurus terpilih. Tetapi banyak dari daerah yang gaduh setelah konferensi. PWI nya pecah, anggota terbelah.
Tidak ada hal penting bersifat monumental yang bisa dicatat bagi perkembangan organisasi PWI. Atal selalu memberi alasan, karena tiga tahun pandemi Covid 19 di Tanah Air membuat kepengurusannya terganggu.
Walaupun alasan itu masuk akal namun tentu tidak dapat diterima sekaligus menjadi alasan pembenar bagi begitu banyak pelanggarannya. Pelanggaran-pelanggaran yang sangat fatal bagi organisasi profesi wartawan. Apalagi itu dengan dugaan kuat sengaja dilakukan untuk kepentingan kelompoknya. Ia bahkan bisa disebut justru menjadi dalang semua pelanggaran itu.
Misalnya, pelatikan Ketua PWI Sumatera Barat, DR Basril Basyar. Yang bersangkutan adalah PNS hingga saat pelantikannya. Pada waktu konferensi PWI Sumbar tahun lalu, Basril mengaku telah mengundurkan diri. Namun saat dipersoalkan oleh Dewan Kehormatan PWI, pengunduran dirinya terbukti baru sepihak. Belum ada keputusan dari BAKN sebagai pihak berwenang untuk itu. Artinya status pengunduran diri Basril masih menggerogoti keuangan negara untuk membayar gajinya yang argonya tetap jalan.
Rapat gabungan Pengurus Harian, Dewan Kehormatan PWI dan Dewan Penasihat PWI menangguhkan pelantikan Basril Basyar sebagai Ketua PWI Sumbar. Ia diberi kesempatan 6 bulan untuk mengurus pemberhentian resmi dari BAKN. Namun apa yang terjadi, enam bulan setelah itu Atal melantik Basril meski tanpa surat putusan dari BAKN.
Pelantikan itu jelas melanggar seluruh aturan PWI, mulai PD PRT, Kode Etik PWI dan Kode Perilaku Wartawan. Entah dapat wangsit dari mana, Atal berdalih karena seluruh aturan PWI dimaksud belum disahkan di Kongres Solo (terutama KPW) sehingga belum berlaku.Padahal ketidaksahan aturan harus dideklarasikan secara resmi. Website PWI masih mencantumkan aturan hasil pengesahan Kongres Solo itu. Kalau pun benar adanya wangsit yang diterima Atal, masih ada aturan PWI sebagai jalan keluar untuk mengesahkan itu di luar kongres terhadap apa yang dikatakan Pengesahannya tinggal dilaporkan dan dipertanggungjawabkan di Kongres berikutnya. Apalagi semua aturan itu adalah produk Komisi Etik Kongres. Tapi Atal tidak mau repot membaca aturan. Padahal, dalam kasus lain Atal juga menggunakan pasal dimaksud untuk memecat Wibowo Umbaran wartawan di Blora yang ternyata polisi.
Dalam sejarah Atal satu-satunya Ketua Umum PWI yang dua kali menerima surat peringatan keras dari Dewan Kehormatan. Satu lagi yang memalukan, Ketua Bidang Organisasinya bahkan diskorsing satu tahun karena melakukan pelanggaran organisasi. Bersama Atal dan Ketua Bidang Organisasi PWI, Zugito dan Sekjen Mirza Zulhadi kemudian merespons sanksi dengan membuat “surat pernyataan sikap” menolak sanksi DK PWI.
Seumur PWI istilah “Surat Pernyataan Sikap” tidak dikenal dalam aturan organisasi. Istilah itu hanya dikenal dalam organisasi LSM.
Tampaknya ketiga pengurus PWI tersebut tidak membaca secara cermat aturan organisasi PWI. Ketiganya minta previlage, aturan tidak berlaku buat pengurus. Padahal aturan organisasi berlaku untuk seluruh anggota PWI tanpa diskriminasi.
Mustahil menjadi pengurus PWI di manapun jika bukan anggota PWI. Hal lain yang tidak dibaca Atal, anggota PWI yang dalam status tersangka dalam kasus pidana tidak boleh jadi pengurus. Pada Kongres Solo, Zugito bahkan berstatus terdakwa dalam kasus pidana korupsi di pengadilan Makassar. Tim sukses Atal itu baru dinyatakan bebas murni setahun setelah Kongres Solo.
Jejak Zugito atau Zulkifli Gani Ottoh adalah orang yang paling bertanggungjawab atas lenyapnya Kantor PWI Sulsel warisan sejarah tokoh pers Makassar. Pada periode kepengurusan yang bersangkutan sebagai Ketua PWI Sulsel lah masalah kantor PWI Sulsel terjadi. Sebagian ruangnya dia sewakan kepada pihak ketiga tanpa izin dari Pemprov Sulsel. Sedangkan uang hasil komersialisasi gedung pemerintah itu tidak disetorkan kepada pemilik. Akibatnya, Pemprov Sulsel ditegur oleh KPK dan BPKP.
Jejak Zugito tidak hanya di sini. Puncaknya, ia memperalat Ketua PWI Sulsel dan Sekretarisnya untuk menggugat Pemprov Sulsel di PN Makassar dengan klaim kantor itu milik PWI. Dia lupa, seluruh wartawan di Sulsel mengetahui kantor PWI di Jalan AP Pettarani No 31 memang milik Pemprov Sulsel yang dipinjampakaikan kepada PWI Susel sejak 1997. Gedung Kantor PWI Sulsel itu kemudian disegel oleh ratusan Satpol bulan Mei tahun lalu. Penyegelan kantor PWI berdasar Amar Putusan PN Makassar No 350/2017. Gugatan PWI Sulsel kepada Pemprov di PN Makassar dimenangkan tergugat. Lima tahun Pengurus PWI Sulsel mengira pihaknya menang akibat salah membaca putusan. Sehingga lupa mengajukan banding dan inkracht.
Pemprov Sulsel kabarnya hanya mengganti uang untuk dua unit bangunan, masjid dan wisma seluas 100 m2 di komplek PWI Sulsel itu. Hasil penggantian itulah yang dipakai pengurus PWI Sulsel membeli kantor di pinggir kota Makassar di atas lahan berukuran 8x 15 m. Pada waktu soft opening kantor itu awal Agustus, banyak orang terpingkal- pingkal ketika Atal menyebut itu adalah Kantor PWI Perjuangan.
Jejak digital masih segudang. Nanti gampang ketemu waktu berpidato.Selain keluar konteks, semua yang diucapkan terbalik dengan kenyataannya. Hehe.
*) Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis