.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 5

Foto ilustrsi dokumen Barito Minang

Bagi yang belum baca Bag 4 baca dulu klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” ( Oleh ; Makmur Hendrik ) Bag 4

Datuk Sipasan arif, nyawanya sudah tak tertolong lagi. Begitu kerisnya tercampak dan lengannya patah kena tendang lelaki tangguh itu, terdengar dia bicara.

Sungguh luar biasa. Patutlah tak seorang pun yang selamat melalui bukit ini. Apakah saya sedang berhadapan dengan Harimau Tambuntulang yang tersohor itu…?

Lelaki tangguh di depannya itu tak menyahut. Hanya tawanya terdengar bergema. Suara tawanya keluar dari hidung. Tawa yang mencemeeh.

Jangan kau bawa bawa nama guruku. Untuk menghadapi beruk seperti kalian, guru tak perlu turun tangan. Cukup dengan kami saja!

Alangkah terkejutnya Datuk Sipasan. Dia yang demikian tinggi ilmu silatnya, sudah jarang tandingannya di Pariaman, sudah masuk hitungan guru silat yang disegani lawan dan kawan, berhadapan dengan lelaki ini saja dia tak dapat berkutik sedikit pun. Dia seperti kanak kanak saja.
Ternyata lelaki tangguh itu bukan orang yang bernama Harimau Tambuntulang. Bukan lelaki yang ditakuti dan tersohor kepandaiannya sebagai pemimpin penyamun di bukit ini. Yang dia hadapi hanyalah murid lelaki itu. Murid Harimau Tambuntulang.

Kalau muridnya saja sudah demikian tangguhnya bayangkan betapa tingginya kepandaiannya. Harimau Tambuntulang itu! Dan hari ini, ternyata dugaan pertamalah yang benar, Datuk Sipasan menemui masa akhirnya.

Sudahi nyawanya…! lelaki itu berkata pada seorang pria besar di sisinya.
Lelaki itu mengambil tombak. Si pimpinan penyamun itu terdengar berseru. Hentikan perkelahian! Kalian beruk beruk yang datang dari Pariaman, menyerahlah. Lihat pimpinan kalian ini saya sudahi nyawanya….!

Suaranya yang menggelegar itu memang menyebabkan perkelahian yang sedang berlangsung jadi terhenti.

Rombongan Datuk Sipasan yang masih berkelahi sebanyak delapan orang menghentikan perkelahiannya. Mereka melihat ke depan.

Di depan sana Datuk Sipasan dengan tangan terkulai nampak tegak dengan kaki terbuka. Di depannya, dalam jarak lima depa, berdiri lelaki yang tadi mengalahkannya. Di samping lelaki itu berdiri lelaki lain yang memegang tombak.

Datuk Sipasan tahu, nyawanya tak tertolong. Namun dia tak mau mati sebagai pengecut. Dia tegak dengan dada busung dan pandangan menatap lurus pada pimpinan penyamun itu. Kalaupun tombak itu datang menghujam dadanya, dia ingin menerimanya tanpa mengeluh. Tanpa berkedip!
Pimpinan penyamun Bukit Tambuntulang itu memberi tanda. Lelaki di sampingnya mengangkat tombak. Namun gerakannya terhenti tatkala terdengar suara perlahan.

Hmm… alangkah zalimnya. Merampok harta, menyamun nyawa, menistai wanita….

Suara ini perlahan saja. Tapi bergema di kaki bukit itu. Semua orang menoleh. Dan semua orang yang tertegak itu melihat bahwa di depan sana, di atas sebuah batu yang ketinggian di mana pimpinan penyamun itu mula mula tegak tadi, duduk seorang lelaki.

Pimpinan penyamun itu sendiri hampir tak mempercayai matanya. Dia perhatikan lelaki yang duduk di batu itu. Lelaki itu menunduk dan menyamping pada mereka.
Hei beruk, waang yang bicara sebentar ini…? bentak pimpinan penyamun itu.

Kembali terdengar suara tawa perlahan. Lelaki itu menoleh. Dan semua orang melihat, yang duduk itu adalah seorang anak muda. Barangkali baru berumur 21 atau 24 tahun. Bertubuh agak kurus. Berbaju putih bercelana putih. Ikat kepalanya juga putih.

Hanya sebentar anak muda itu menoleh, kemudian dia menunduk lagi, dan kembali terdengar suaranya perlahan.

Beruk memang tinggal di hutan. Saya dengar di bukit ini memang banyak beruknya. Hanya yang saya tak tahu selama ini ada beruk yang berjenggot, berkumis dan pandai bicara….

Bukan main berangnya pimpinan penyamun itu. Dia tahu, dialah yang dikatakan anak muda itu beruk! Mulut lelaki besar itu bergerak seperti akan memaki, menyumpah. Namun tak satu pun ucapannya yang keluar. Hanya bibirnya saja yang komat kamit tak menentu.

Saat itu, di antara tawanya yang bergumam lemah, terdengar lagi suara anak muda yang berpakaian serba putih itu.

He he… lihatlah lawaknya beruk itu. Mulutnya bergerak seperti manusia. Tapi dia tak bisa bicara… heh… he….

Mata lelaki besar itu mendelik.

Cencang dia…! desisnya pada lelaki yang tadi siap menghantam Datuk Sipasan dengan tombaknya.

Lelaki itu mengerti, dan dia segera membidik anak muda di atas batu itu dengan tombak. Jarak antara mereka sekitar sepuluh tombak. Dalam jarak begitu, bagi pelempar tombak yang lihai, sasaran menjadi empuk sekali. Apalagi anak muda tersebut duduk di sebuah batu yang ketinggian.

Anak muda itu bukannya tak tahu bahwa dia bakal jadi sasaran tombak. Namun dengan bibir yang masih tetap tersenyum lemah, dia menunduk. Duduknya tetap menyamping pada semua orang yang baru saja berhenti bertempur itu.

Lambat lambat tangannya meraba pinggang. Dan saat itu tombak di tangan penyamun di bawah sana lepas dan melesat dalam kecepatan kilat ke arahnya.

Anak muda itu tak menoleh sedikit pun. Di tangannya yang tadi bergerak ke pinggang kini terpegang sebuah bansi. Semacam suling dari bambu. Ketika tombak itu mendesis ke tempatnya, dia melekatkan bansi tersebut ke bibir. Ketika lengkingan bansi itu bergema, saat itu pula tombak tadi berkelebat tak sampai sejari di belakangnya. Meleset!

Penyamun yang melemparkan tombak itu..

Bersambung…..

Ikuti terus pada bag 6

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *