“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 17…
.
Bagi yang belum baca Bag 1 s.d 16 klik dibawah ini;
Sambungan dari Bag 16…
Mereka menetapkan, enam purnama setelah saat itu, semua sudah berkumpul di Silaiang. Membawa segenap bala bantuan yang bisa dikumpulkan untuk menyerang Belanda.
Tapi buat setiap berita tentang ditemukannya keluarga atau orang yang mengetahui tentang diri si Giring Giring Perak, harus melaporkan setiap saat ke tempat Datuk Sipasan di Silaiang.
Siti Nilam tinggal bersama keluarga Datuk Sipasan. Si Giring giring Perak amat terharu atas bantuan rombongan Datuk itu untuk menolong mencarikan keluarganya. Dia sendiri berjanji untuk selalu datang ke rumah datuk itu untuk menanyakan kalau kalau ada berita.
oOo
Suatu hari Datuk Sipasan sedang ke pasar. Menjual kayu api yang dia tebang dari belakang rumahnya. Empat orang lelaki mendatangi rumahnya yang baru saja dibangun secara darurat di pinggir kampung Silaiang itu.
Keempat lelaki itu berpakaian silat. Tampang mereka kelihatan kurang bersahabat. Yang di rumah waktu itu hanyalah isteri Datuk Sipasan bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Siti Nilam saat itu tengah mengambil air ke pincuran.
Keempat lelaki itu nampaknya mengetahui kalau di rumah itu tak ada seorang pun lelaki. Tanpa mengucapkan ba atau bu, mereka masuk ke rumah. Isteri Datuk Sipasan, yang bertubuh semampai dan cukup cantik, yang tengah menyusukan anak di bilik, jadi terperanjat tatkala dua orang lelaki yang tak dia kenal masuk ke biliknya.
Dengan menjerit kecil dia menutup buah dadanya dengan tangan. Sementara anaknya tetap tak mau melepaskan ujung teteknya karena haus. Kedua lelaki itu menjilati dada isteri Datuk Sipasan dengan tatapan mata nyalang. Menatapi pinggulnya yang besar yang terbungkus dengan kain yang tak menentu letaknya.
Kemudian kedua lelaki itu mulai memeriksa rumah tersebut. Memeriksa di bawah kolong tempat tidur. Membalik bantal. Memeriksa dapur. Kemudian mereka saling berbisik. Kedua lelaki tadi muncul lagi ke dalam bilik itu. Kembali matanya menjilati dada isteri Datuk yang tersimbah itu.
Isteri Datuk ini, yang sudah terbiasa menghadang marabahaya, dan mengerti pula serba sedikit ilmu silat, tak bisa menahan berang hatinya. Dia meletakkan anaknya. Kemudian membetulkan kain di pinggangnya.
Semua tindakannya itu diperhatikan dengan tatapan bernafsu oleh kedua lelaki yang masih saja tegak di pintu biliknya.
“Maaf sanak, siapa sanak, datang mencari apa. Mengapa keluar masuk bilik orang tanpa minta izin….” isteri datuk ini berkata tegas.
Tapi dia masih berusaha untuk tetap pada batas batasnya. Karena betapa pun juga dia mengerti, bahwa mereka orang baru di kampung ini. Sebagai orang rantau, dia harus banyak bersabar. Kedua lelaki itu tak menjawab. Hanya tertawa berguman.
Keluarlah sanak. Ini bilik orang. Saya lihat sanak seorang pesilat. Sebagai seorang pesilat saya rasa sanak tentu mengetahui sopan santun….
Bicara isteri datuk ini terhenti tatkala yang seorang justru duduk di pembaringan. Isteri datuk ini tahu gelagat. Bahaya tengah mengancamnya. Dia ingin suaminya segera pulang dari menjual kayu api.
Kenapa suaminya lambat benar pulang? Atau dia ingin agar Siti Nilam juga hadir di sini. Kalau dengan Siti Nilam, dia rasa dia sanggup melawan kedua lelaki ini. Dia juga berdoa dalam keadaan seperti itu agar si Giring giring Perak muncul.
Ya, kemana anak muda itu dalam tiga hari ini? Kenapa ia tak muncul muncul? Sebelum isteri Datuk Sipasan sempat berbuat apa apa, tamunya yang kurang ajar yang tegak bersandar di pintu terdengar bicara.
Kalian darimana, akan kemana dan apa maksud serta tujuan…. ujarnya dengan suara yang terdengar serak.
Isteri datuk itu segera menangkap bau tuak keluar dari mulut lelaki itu ketika bicara. Dia jadi tambah was-was. Kedua lelaki ini nampaknya baru saja minum. Tapi dia berusaha untuk tetap tenang.
“Kami datang dari Pariaman….”
Oo… kiranya kalian datang dari tanah jajahan Minangkabau….
Isteri datuk itu mengerenyitkan kening. Kata kata Pariaman sebagai jajahan Minangkabau sudah cukup lama dia dengar. Di Pariaman hal itu juga pernah dia dengar dari mulut ke mulut. Ucapan itu menggambarkan, bahwa Pariaman dan Padang serta Pesisir Selatan, sebenarnya bukanlah tanah Minangkabau, tapi dianggap sebagai semacam tanah jajahan .
Ucapan ini amat menyinggung perasaan orang Pariaman. Padahal mereka nyata nyata berasal dari Luhak Agam dan Luhak Tanahdatar. Yang datang ke Pariaman lewat masa peralihan ratusan tahun. Berpindah dari Banuhampu ke Kotogadang, terus ke Balingka ke Malalak, kemudian turun ke sebelah Gunung Singgalang.
Ke Tiku, ke Sungai Limau dan Pariaman. Atau yang datang dari Luhak Tanahdatar, menyeberang Danau Singkarak, ke Kayutanam, terus ke Pasarusang, Duku dan Padang.
Sedikit sekali yang mengetahui, bahwa kata kata ini sebenarnya diciptakan buat pertama kalinya oleh Kolonel De Craft. Seorang Belanda yang bermarkas di Padang. Yang ingin mengadu domba anak suku Minangkabau.
Sebab tanpa mengadu domba begitu, mereka susah memecahkan persatuan Minang yang amat kuat. Dan siasat adu dombanya ini ternyata amat berhasil ketika itu.
Memang terjadi pertentangan yang tajam antara orang darat dengan orang pesisir. Orang darat merasa dirinya adalah orang Minang asli dan menganggap orang Pesisir sebagai orang lain.
Untunglah isteri Datuk Sipasan sudah arif tentang hal ini. Dia mendengar penjelasan bahwa ucapan itu adalah adu domba penjajah. Kini, ketika
Bersambung ke Bag 18..
=============
==============