HukumPessel

Penyitaan Alat Bukti Kasus Wabup Pessel, Tidak Menyalahi Prosedur

PILARBANGSANEWS. COM. PAINAN,– Pakar Hukum Prof.Dr. Ismansyah, SH.MH, mengatakan, penyitaan sejumlah alat bukti dilapangan, tetap tunduk dan mengacu kepada ketentuan KUHAP pasal 38 ayat 1 dan 2.

“Namun dalam prakteknya, benda bergerak itu tidak saja berupa mobil atau motor. Benda cair, seperti air, minyak, atau benda licin yang  mudah rusak atau mudah hilang juga termasuk golongan benda yang bergerak,” kata Prof.Dr. Ismansyah, SH.MH, tampil sebagai saksi ahli dalam  sidang praperadilan penetapan wabub Pesisir Selatan sebagai tersangka kasus perambahan dan perusakan hutan di kawasan destinasi Wisata Mandeh, di Pengadilan Negeri Painan,  Kamis (14/12)

“Adalah logis kalau  ampas, uap atau jamur, benda, semuanya termasuk  bahan mudah hilang seketika. Disita dulu baru kemudian dilaporkan ke Pengadilan,” demikian tangkisan ahli hukum Unand ini terkait penyitaan alat bukti yang dinilai oleh pemohon penyidik  KLIK telah menyalahi prosedur.

Baca berita sebelumnya klik disini;

Ahli Hukum Pidana UI :  Penyitaan Barang Bukti Kasus Wabup Pessel Tidak Lewat Prosedur


Menurutnya, perbedaan pendapat dalam menanggapi sebuah kasus atau peristiwa, itu adalah hal yang wajar. Namun, kembali ditegaskan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. 

“Namun, pandangan saya yang dinamakan benda bergerak itu, bukan sekedar benda untuk bergerak saja, akan tetapi barang yang bisa dipindahkan atau dialihkan dan disimpan, itu juga termasuk benda bergerak,” tegasnya.

Dijelaskannya, terkait kordinasi yang dilakukan oleh pihak penyidik PPNS KLHK dilapangan, tak semestinya harus mengacu kepada Perkap nomor 6 tahun 2010. Sebaliknya tetap mengacu kepada Permen LH nomor 11 tahun 2012 sebagai acuan dalam proses penyitaan sejumlah alat bukti dilapangan.

“Jadi, bentuk koordinasi yang dilakukan oleh PPNS KLHK bisa saja melalui telpon, surat pemberitahuan atau dalam bentuk tatap muka secara langsung. Namun, jika ditemukan semacam dugaan bentuk intimidasi atau pelanggaran dalam proses penyitaan, sebaiknya itu tidak dibahas dalam sidang Praperadilan karena itu bukan objek perkara, tetapi dengan melaporkan secara langsung yang bersangkutan kepada pimpinan lembaga mereka bekerja. Saya tetap profesional dalam menilai kasus ini,” ujarnya.

Dalam proses penyelidikan, menurut Dosen pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) itu, tim penyidik KLHK seakan mengabaikan sejumlah hal penting. Bahkan, kelemahan serupa sering dilakukan tim penyidik ketika dilapangan. Dan kekeliruan itu, juga sekaitan dengan pemeriksaan prosedur adminitrasi.

“Dalam prakteknya, hal ini sering dianggap sesuatu yang sangat sepele. Sehingga menjadi hal yang semprono ketika dilapangan,” ungkapnya.

“Terkait koordinasi, semestinya penyidik harus mengacu kepada peraturan Kapolri nomor 6 tahun 2010. Sebab, itu tidak bisa diabaikan karena itu merupakan aturan turunan dari KUHAP,” jelasnya.

Sementara itu, Kasubdit KLHK Shaifuddin Akbar membantah perihal tersebut. Menurutnya, segala yang dilakukan pihaknya dilapangan mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga ditetapkan orang nomor dua di Kabupaten Pesisir Selatan itu sebagai tersangka, sudah melalui aturan dan prosedur hukum yang jelas. 

“Tentang pedoman penyidikan tindak pidana lingkungan hidup, pihak kita tetap mengacu pada Permen LH No 11 Tahun 2012. Disana dijelaskan, dalam keadaan mendesak dan untuk melengkapi sejumlah alat bukti, maka penyitaan dapat dilakukan penyidik lebih dahulu. Setelah itu, baru dilaporkan ke Pengadilan Negeri setempat, untuk memperoleh persetujuan,” terangnya.  

“Nah, dalam keadaan mendesak seperti adanya ranting mangrove yang rusak atau sedimen lumpur disejumlah kawasan Mandeh yang rusak, itu bisa dikatakan benda bergerak. Sebab, barang bukti tersebut cepat hilang. Tadi dalam persidangan Buk Eva (Tim Ahli) juga membenarkan hal itu. Kalau pihak kita menyalahi aturan, tidak mungkin pihak Pengadilan mengeluarkan surat penetapannya,” ungkapnya.

Ditambahkannya, sebelumnya surat permohonan penetapan sita, sudah dikeluarkan pihak Pengadilan pada tanggal 7 November 2017. Saat itu, ada dua surat sita yang dikeluarkan, yakni untuk dokumen bukti sita dari Ketua Pengadilan Negeri Painan dengan nomor penetapan 113/Pen.Pid/2017/PN.Pnn tanggal 7 November 2017 dan sampel penetapan sita dari Ketua Pengadilan Negeri Painan dengan Nomor Penetapan 114/Pen.Pid/2017/PN.Pnn tanggal 7 November 2017.

“Saat itu kita memasukan surat pada tanggal 20 Oktober 2017. Namun, baru dikeluarkan Pengadilan tanggal 7 November 2017. Jadi, perlu kita tegaskan kembali, pihak kita hanya menjalankan tugas sesuai aturan hukum yang berlaku. Penetapan Wabup Pessel Rusma Yul Anwar sebagai tersangka sudah melalui aturan dan prosedurnya,” tutupnya. (Okis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *