Wartawan Pasukan Berani Mati Tapi Tak Mampu Menahan Lapar
PILARBANGSANEWS.COM. GRESIK, JAWA TINUR,–
Walaupun saat ini sulit dirujuk catatan akurat mengenai jumlah penerbitan, karena dihapuskannya SIUPP, dan media sosial atau dunia digital mendominasi dunia pers dan sebagian menjuluki dengan DUNIA GHAIB di era milenium
Tapi sebuah pertanyaan yang sering mengganjal di benak para Jurnalis, ” Benarkah kebebasan pers sudah bebas, apakah wartawan sudah merdeka,pandangan ini di pikirkan di hati yang paling dalam oleh para insan pers
“Wartawan sekarang lebih terjajah daripada dulu. Dulu mereka takut kepada penguasa. Kini mereka takut pada hal perut. Mereka manut saja pada para kapitalis yang menjadi majikan mereka.”ini celetuk beberapa Akademisi bahkan para jurnalis mapan
Namun memang urusan perut lebih mengkuatirkan daripada tekanan penguasa, sebetulnya yang menjadi kenyataan Ini dianggap lebih memprihatinkan daripada wartawan yang sama sekali tidak menerima gaji (yang mendapatkan penghasilannya dari ‘berjualan halaman berita’ atau atas belas kasihan atau ‘ketakutan’ nara sumber).
Fakta di lapangan ‘ketidak merdekaan wartawan’, entah dijajah perusahaan persnya sendiri, dijajah nara sumber, atau dijajah kepentingan golongan atau kelompoknya. Yang jelas, intinya, dijajah oleh kebutuhan perut.
Padahal pernah ada ungkapan jurnalis idealisme berkata bahwa “Gaji kecil bukan excuse untuk ‘menjual diri’.
Toh mereka tahu. “Kalau tetap mau menjadi wartawan ya harus tanggung risikonya,” katanya pada suatu hari.
Pertanyaan pertanyaan yang berseliweran ini merupakan inti persoalan jurnalis saat ini. Setelah pers merdeka, apakah wartawan menjadi merdeka?
Ada seloroh seorang menanyakan apakah kemerosotan kualitas pemberitaan saat ini disebabkan tidak adanya pola recruitment yang jelas? Jawaban atas pertanyaan itu sudah jelas. Anybody could become a publisher. Anybody could become a journalist. Seorang pemimpin redaksi di Surabaya dengan sarkastis bahkan mengeluh (dia memposisikan bukan sebagai recruiter):
“Untuk menjadi pelacur saja ada syaratnya, paling tidak cantik, atau seksi, atau bila tidak keduanya, ya bersihlah.” Untuk menjadi wartawan di media penerbitan baru saat ini, nyaris tidak diperlukan syarat apa-apa. Yang penting dia mau bertanya-tanya ke orang, bisa menulis, mau dibayar ala kadarnya atau cari bayaran sendiri.Krisis kepercaan di Indonesia inilah merupakan salah satu faktor pemicu booming wartawan muda/baru.
Kebutuhan Jurnalis,dengan adanya berbagai diskusi formal maupun informal dengan wartawan, setidaknya dapat diumuskan kebutuhan wartawan sbb: Kebutuhan akan kesejahteraan yang memadai. Ini dapat ditandai dengan sistem penggajian yang profesional dan sehat. Kebutuhan akan sistem kerja yang fair dan hubungan yang sehat antara wartawan sebagai pekerja dan pemilik perusahaan penerbitan sebagai majikan (employee-employer relationship).
Kebutuhan akan adanya organisasi profesi yang menjadi wadah penyaluran gagasan & kreativitas mereka. Organisasi wartawan yang memahami dan peduli serta memenuhi kebutuhan mereka. Kebutuhan akan bekal ketrampilan jurnalistik serta wawasan (kode etik & hukum pers, serta bidang-bidang lain).
Wartawan memerlukan pembekalan & pelatihan. Siapa yang bertanggungjawab memenuhi kebutuhan ini? Dewan pers kah ? Pemerintahkah ? atau Organisasi Organisasi wadah wartawan yang saat ini menjamur ?atau siapa yang peduli Kebutuhan akan sarana ekspresi. Perlu ada media ekspresi wartawan. Di media massa umum, wartawan dilarang beropini, oleh sebab itu mereka perlu wadah beropini.
Ada beberapa media melarang wartawannya menulis di halaman opini/artikel. Tetapi menulis di halaman artikel/opini media lainpun dilarang. Ini tindakan membunuh pemikiran.
Kebutuhan yang diperlukan wartawan dari beberapa laporan penyelenggaraan pelatihan bagi wartawan wartawan cetak maupun Online khususnya di bidang pemahaman dan penerapan kode etik & hukum pers, munculah informasi tentang pelatihan yang dibutuhkan wartawan.
Jurnalis Media Cetak dan Jurnalis Media Online membutuhkan pelatihan:
Tehnik investigasi, Pemecahan kasus, Manajemen pemberitaan/redaksional, Kiat persaingan pers, Pembahasan kasus-kasus etika & hukum pers internasional, Asuransi bagi wartawan, Analisa materi berita, Sistem politik dalam kehidupan pers, Batasan pornografi, Perlindungan hukum bagi wartawan
Jurnalis media Online membutuhkan pelatihan: Kode Etik Reporter Online, Praktik lapangan dan evaluasi, Perlindungan konsumen media siaran, Pendalaman RUU Siber, Perlindungan wartawan, Tehnik reportase di lapangan, Regulasi & hukum pers lebih lanjut, Ancaman dan tantangan pers bebas, Program Media Online, Profil wartawan : antara idealisme & kekuasaan, Tehnik menghadapi tuntutan & tekanan massa, Memahami kebutuhan Media Sosial dan Media Maya di era digital sekarang
Dan masih banyak agenda atau program pelatihan yang dibutuhkan oleh wartawan secara luas, setidaknya memberikan gambaran, bahwa wartawan haus akan pelatihan, baik praktis maupun wawasan.
Tidak sedikit wartawan mengaku tidak pernah membaca kode etik sampai saat ini lebih lebih mengenai pasal-pasal hukum dalam KUHP atau pasal-pasal dalam UU Pers no 40/99 yang berkaitan dengan delik pers.
Dan siapa yang akan memahami, menampung, dan memenuhi kebutuhan wartawan ini? Yang paling bertanggungjawab dalam hal ini Perusahaan pers kah, Dewan Pers kah organisasi di mana wartawan tersebut menjadi anggota kah, Tentu ada lembaga lain yang menawarkan pelatihan, dengan membayar maupun cuma-cuma, dan siapa yang paling bertanggungjawab memenuhi kebutuhan para Jurnalis atau wartawannya ,
Dengan adanya kampanye anti amplop dan pendirian serikat pekerja/buruh di perusahaan pers. Benarkah semua wartawan anti amplop? Dan apakah semua wartawan setuju memposisikan diri sebagai buruh?
Mungkin ada baiknya mempertimbakan wartawan untuk meredefiniskan news dan memposisikan diri sebagai warga negara, bukan profesional. Dengan demikian, akan tumbuh jurnalisme empati.
“Jangan sibuk mencari solusi atas persolan jurnalistik pada profesionalisme. Padahal justru profesionalisme dan urusan perut itulah persoalannya,”
Di tengah beragamnya organisasi wartawan, bagaimana sebuah organisasi wartawan dapat eksis dan dipercaya (credible)? Yang paling utama tentulah bagaimana organisasi tersebut memahami dan memenuhi kebutuhan anggotanya. Setelah itu, bagaimana organisasi tersebut berinteraksi dengan masyarakat.
Persoalan yang belum dipecahkan di dunia media massa saat ini adalah penegakan kode etik. Bila pers atau wartawan melanggar hukum, acuannya sudah jelas. Yang divonis bersalah oleh hakim akan mendapatkan hukumannya sesuai kesalahannya.
Baik itu mengacu kepada KUHP, KUHAP, maupun UU Pers No 40/99 atau UU Siber. Namun dalam hal pelanggaran kode etik, tapi belum pernah ada tindakan terhadap penyuap bagi jurnalis atau wartawan,
Persoalan penegakan kode etik inilah yang harus menjadi porsi utama. Sudah sering ada sangsi bagi pelanggar, reward bagi yang menegakkannya, lalu mensosialisasikan dan mempublikasikannya kepada publik. Tapi sudah adakah tindakan hukum bagi yang menyuap wartawan atau jurnalis ?
Tentu menarik membaca berita seorang wartawan dianugerahi penghargaan etika karena telah menolak suap sekian ratus juta atau menolak membelokkan berita demi kepentingan politik tertentu. Atau berita tentang wartawan yang tidak diterima bekerja di perusahaan pers manapun karena sudah mendapat ‘cap’ dari organisasi wartawan sebagai ‘pelanggar etika’.
Mengapa enggan memberitakan ulah para penyuap para insan pers ,Solidaritas hendaknya digunakan dalam kaitannya dengan kepentingan publik. Banyak solidaritas dengan melindungi rekan wartawan! Salahkah Solidaritas pada sesama insan pers ,namun publik selalu disajikan ulah wartawan tak beretika,tampa melihat kepentingan serta kebutuhan sang jurnalis
Kembali kepada publik dan Organisasi jurnalis seharusnya juga tak henti-henti mengingatkan kepada anggota bahwa tanggungjawab yang paling utama setiap wartawan adalah kepada publiknya dengan acuan (Wartawan & Kode Etik Jurnalistik, 1996).
Melayani kebutuhan publik akan informasi yang benar, merupakan intisari kemerdekaan pers.
(jsh)