.

“GIRIANG-GIRIANG PERAK” (Oleh Makmur Hendrik) Bag 2

Foto penulis cerbung ini Makmur Hendrik bersama mantan pomlenya (pacarnya)

“Ada…! datuk itu menjawab pasti. Meski wajahnya tetap saja tak acuh.

Dari mana Datuk tahu?

Datuk itu tak menjawab.

Tapi menatap orang yang bertanya itu. Kemudian menatap yang lain lain. Lalu kembali menatap yang bertanya tadi. Kemudian dia tegak dari batu besar di mana dia duduk. Lalu meloncat ke bawah.

Naiklah ke batu itu…. katanya pada lelaki yang bertanya tadi.

Lelaki tadi tak mengerti. Tapi dia naik juga ke batu besar di mana datuk itu tadi duduk.

Lihatlah ke belakangmu, di bawah…. Datuk Sipasan bicara ketika lelaki itu sampai di atas.

Lelaki itu menurut. Tiba tiba terdengar seruannya. Dan saat berikutnya dia melompat turun dengan wajah pucat. Yang lain pada berpandangan. Dua orang naik pula ke atas batu tersebut, lalu melihat ke bawah.
Dan mereka juga pada berseru kaget, kemudian cepat cepat turun dengan muka pucat. Beberapa orang naik, melihat ke bawah. Dan hampir semuanya terkejut dan turun dengan muka tak sedap.

Di belakang batu besar itu, sesosok tubuh yang sudah jadi mayat terhantar dengan leher hampir putus.

Nampaknya baru saja mati sehari dua ini. Mayat itu tertelentang. Menghadap ke atas, ke arah orang yang melihat ke bawah dari batu itu. Menatap dengan mata yang mendelik dan mulut menganga mengerikan.
Kini semua pada tertegak kaku di tempat mereka masing masing.

Siapa yang ingin kembali, silahkan. Yang ingin terus tapi ingin mencari jalan lain, juga disilahkan. Saya akan terus mengambil jalan yang melintasi Bukit Tambuntulang ini. Siapa yang ingin ikut, juga disilahkan, ujar Datuk Sipasan setelah meludahkan tembakau suginya.

Ketika dia berhenti bicara, tak seorang pun yang menyahut. Dan dia yakin, semua akan mengikutinya.
Peringatkan pada semua perempuan, bini atau anak kemenakan kalian, agar tak memperlihatkan diri sejak saat ini. Kalaupun terjadi pertempuran, mereka harus tetap saja dalam pedati. Begitu lebih selamat untuk mereka….

Bagaimana kalau kita kalah, Datuk…?

Bagi yang belum baca bag 1 klik disini;

“GIRIANG-GIRIANG PERAK” (Oleh Makmur Hendrik) Bag 1

Kekalahan berarti mati….

Ya, bagaimana kalau kita kalah kemudian mati?

Mereka bisa memilih melawan sampai tetes darah terakhir, atau merelakan diri diperkosa, atau jadi isteri penyamun penyamun itu….

Tak ada jalan lain…?

Ada, yaitu memenangkan perkelahian!

Setelah itu tak ada yang bicara. Sampai saat mereka kembali ke pedati masing masing mereka tetap diam.

Lalu bicara perlahan pada perempuan perempuan yang ada di pedati.

Kemudian diam diam mereka mulai mendecahkan mulut, menghalau kerbau yang menarik pedati tersebut. Dan kafilah pedati itu mulai mendaki kaki Bukit Tambuntulang yang terkenal angker dan angkuh.

Bau bangkai tercium dimana mana. Tak ada suara. Bahkan binatang rimba pun seakan ngeri berada di rimba lebat yang menyelimuti bukit angker tersebut. Tiba tiba ketika mereka mendekati hampir di pinggang bukit kecil itu ada suara murai. Sekali. Dua kali. Kemudian ada suara gagak.

Datuk Sipasan yang berjalan paling depan segera arif. Bunyi itu bukan bunyi burung. Tapi suara manusia yang meniru suara burung dengan sempurna.Dan dia juga arif, bunyi itu adalah semacam isyarat dalam rimba tersebut. Datuk ini tetap menggusurkan sugi di mulutnya dengan tenang.

Lelaki lelaki lainnya, yang mengiringkan pedati mereka menuruti jalan menanjak itu semua pada diam. Mereka memegang hulu golok atau tombak dengan waspada.

Perempuan perempuan pada merapatkan diri di sudut yang paling jauh dalam pedati mereka.

Kini rombongan itu sudah sampai di pinggang Bukit Tambuntulang tersebut. Pedati yang paling depan, yaitu pedati milik Datuk Sipasan sudah berkelok di sebuah tikungan.

Tiba tiba terdengar suara tertawa bergumam. Barisan yang ada di belakang menyangka itu tawa Datuk Sipasan. Tapi yang ada di depan segera tahu, tawa itu berasal dari dalam pepohonan di bukit yang mereka lalui tersebut. Tawa itu mula mula perlahan saja. Tapi makin lama makin keras. Yang tertawa hanya seorang.

Datuk Sipasan tetap mendecahkan kerbaunya untuk maju terus tapak demi tapak. Lelaki ini punya firasat, sebentar lagi, orang yang tertawa itu pasti akan menampakkan dirinya.

Dugaannya tak jauh meleset. Begitu tikungan itu hampir habis dia jalani, di depannya, di atas sebuah batu besar, tegak seorang lelaki berbaju hijau hijau. Begitu lelaki itu kelihatan, tawa tadi lenyap. Hutan itu kembali dicekik suasana sepi.
Datuk Sipasan mengangkat tangan kanannya ke atas. Rombongan di belakangnya berhenti. Dia menatap lelaki besar di atas batu itu. Rambutnya tergerai hingga bahu. Sebilah keris tersisip di pinggangnya. Di tangan kirinya dia memakai gelang akar bahar besar. Janggut dan kumisnya bersumburan lebat. Matanya berwarna merah.

Dia menyapu kafilah pedati itu dengan tatapan tajam, seperti elang kelaparan. Tiba tiba suaranya terdengar berbegu dalam rimba di pinggang Bukit Tambuntulang itu.
Selamat datang di Kerajaan Bukit Tambuntulang, sanak. Silahkan melanjutkan perjalanan setelah meninggalkan semua harta dan… wanita….

Datuk Sipasan tak menyahut. Matanya menyipit. Lelaki itu berdiri sendiri. Tapi dia tahu, pasti ada puluhan orang lainnya di sekitar mereka. Tapi di mana? Di pohon, di dalam rimbunnya belukar? Tak satu pun yang nampak. Dia meludahkan sugi tembakaunya.

Kami numpang lalu, sanak. Kami tahu, daerah ini di bawah kuasa sanak. Kami bersedia membayar upeti sekedarnya. Mohon kami jangan

Bersambung…..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *