.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 18…

.

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d 17 klik dibawah ini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 17…

Sambungan dari Bag 17….

lelaki di biliknya itu mengucapkan kata kata itu, ia hanya memandang dengan diam. Kemudian dia berkata dengan nada ketus.

“Keluarlah dari bilik ini….
Kami tak bisa diperintah orang, upik. Ini negeri kami. Engkau dan lakimulah yang datang kemari. Mendirikan rumah di sini tanpa meminta izin kepada kami….”

Kembali isteri Datuk ini tertegun. Lelaki ini nampaknya memang ingin mencari seteru. Dia memangku anaknya yang tidur. Kemudian berjalan ke pintu. Tapi di pintu lelaki yang tegak bersandar tetap menghadang. Tak beranjak setapak pun.

Isteri Datuk ini hilang sabarnya. Dia menerjang lelaki itu. Si lelaki dengan tersenyum menangkap kakinya yang menendang itu dan berniat mengelus betisnya. Namun dia salah duga. Isteri Datuk ini sudah punya bekal yang lumayan.

Begitu tangan si lelaki berusaha mencakau kakinya, begitu kakinya dia tarik segera, dan kini kakinya itu justru menyapu kaki lelaki tersebut. Perobahan gerak yang begitu cepat, memang di luar perhitungan si lelaki di pintu. Kaki kirinya kena disapu.

Meski tubuhnya tak langsung jatuh, tapi keseimbangan tubuhnya jadi lenyap. Saat itu tendangan berikutnya menyusul. Tubuh lelaki itu tercampak ke ruang tengah!

Sebelum yang duduk dipembaringan sadar apa yang terjadi, isteri Datuk itu melompat sambil tetap memangku anaknya ke ruang tengah. Kemudian dalam sekali loncatan panjang dia sudah berada di halaman.
Saat itu pula Siti Nilam datang menyandang parian di bahunya. Dia terkejut melihat isteri Datuk Sipasan melompat sambil memangku anak. Rasa kejutnya bertambah ketika dari dalam rumah muncul empat lelaki.

Rumah mereka terletak di pinggir Kampung Silaiang. Di belakang rumah hanya ada hutan. Rumah penduduk yang terdekat terletak jauh dari situ. Jadi kalaupun mereka berteriak, maka hal itu takkan banyak menolong. Teriakan mereka tak akan ada yang mendengar.

Keempat lelaki yang baru turun itu tertegun melihat kehadiran Siti Nilam. Mereka berbisik sesamanya. Siti Nilam masih menyandang perian berisi air di bahunya.

“Hemm. Tak kusangka perempuan Piaman cantik- cantik seperti kalian….” lelaki yang tadi duduk di pembaringan bergumam. Matanya menyambar ke tubuh kedua perempuan itu.

“Sanak, kami datang kemari untuk mencari dunsanak. Kami tinggal dan mendirikan rumah di sini telah seizin walinagari dan kepala suku di Silaiang ini. Kami tak mengerti apa yang sanak cari di rumah kami….” isteri Datuk Sipasan berkata tegas.

Sementara dia masih memangku anaknya yang berusia enam bulan. Anaknya yang seorang lagi, yang berumur dua tahun tegak diam dekat Siti Nilam. Keempat lelaki itu saling bisik lagi. Kini yang tadi kena tendang isteri Datuk itu maju selangkah.

Kalian orang baru di sini, dan sebagai orang baru, kalian harus tahu peraturan. Yang berkuasa di nagari ini bukan walinagari. Yang berkuasa di sini adalah Pandeka Sangek. Dia yang berkuasa di Nagari Silaiang, Gunungmalintang, Kabunsikolos, Tanahhitam, Bukiktui sampai ke Bukiksurungan.

Adapun Walinagari Silaiang, adalah kepala kampung yang diangkat Pandeka Sangek. Kami bersedia untuk tidak menyampaikan kedatangan kalian ini pada Pandeka, asal kalian bersedia memenuhi satu syarat….

Isteri Datuk Sipasan sebenarnya tak mengerti ke mana ujung cakap orang ini. Dia tak tahu siapa Pandeka Sangek dan dimana tumpaknya. Tapi yang jelas, kalau benar dia berkuasa di kampung kampung yang baru disebutkan tadi, maka itu berarti Pandeka itu adalah penguasa dari sebuah nagari yang amat luas, yang kelak disebut orang sebagai Padangpanjang.

Meski tak tahu dan tak mengerti, isteri Datuk itu ingin juga mengetahui apa syarat yang dikehendaki keempat lelaki itu agar mereka bisa aman tinggal di sana .

Apa syaratnya…??

Ah, masak Uniang tak tahu….

Kami orang baru di sini. Kami tak tahu apa syarat yang kalian maksudkan….

Ah, masak tak tahu. Biasanya kami meminta tiga malam berturut turut. Tapi bagi Uniang berdua cukup sekali ini saja….

Isteri Datuk Sipasan itu mengerutkan kening. Sementara Siti Nilam diam saja sejak tadi. Tapi dia menangkap bahaya kurang ajar pada cara lelaki itu menatap diri mereka.
Berterus teranglah. Kalau duit, kami akan berikan sekedarnya. Kalau ternak, kami hanya ada delapan ekor kerbau pedati….

Kami tak perlu duit. Kami juga tak perlu kerbau. Kalau Uniang setuju sekarang saja. Ayo ke bilik. Kami ada berempat, uniang tak usah melayani kami keempatnya. Cukup satu orang melayani dua di antara kami… Saya lebih senang dengan Uniang, Uniang sudah berpengalaman… he… he….

Tubuh isteri datuk itu menggigil saking berangnya. Sementara Siti Nilam ingin muntah mendengar ucapan kotor itu. Hampir serempak mereka meludah. Dan keempat lelaki itu tertawa bergumam.

Selera mereka benar benar menjejeh melihat kedua perempuan cantik dari Pariaman itu. Mereka mulai beraksi. Pertama mereka mengepung kedua perempuan itu dengan tegak di empat sudut, dimana kedua perempuan tersebut berada di titik tengah.

Isteri Datuk Sipasan tetap saja tegak dengan tenang. Sementara Nilam tegak membelakanginya. Dengan demikian, masing masing mereka kini menghadap dua lelaki. Isteri Datuk Sipasan masih tetap menggendong anaknya yang berusaia enam bulan itu.

Sementara Siti Nilam masih menyandang parian penuh berisi air. Di belakang mereka tegak anak perempuan Datuk Sipasan yang berumur dua tahun.

Mereka semua, termasuk anak perempuan…

Bersambung ke Bag 19..

==============

Catatan Redaksi; Foto diatas bukan Istri Datuak Sipasan dan bukan pula Siti Nilam, tapi adalah foto Istri Bupati Pesisir Selatan SUMBAR, Handrajoni Dt Bandobasou dan tidak ada hubunganya dalam cerbung ini. Hanya sebagai ilustrasi saja.

==============

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *