Kota Pontianak Itu, Wow…, Seruuuu! Cari Jawabnya Disini!
Pertama menapakkan kaki di Kota Pontianak saya berpikir kalau Kota-nya kurang lebih seperti Kota Samarinda.
Kota dari Daerah Kaya-Raya tapi Infrastrukturnya hancur-lebur karena kekayaan daerah-nya habis dihisap oleh Jakarta.
Syukur Alhamdulillah,
Kotanya lumayan rapi dengan infrastruktur yang terjaga dan terawat lumayan sempurna.
Saya tinggal di Homestay, bahasa keren dari kost-kostan di seputaran Kampus Tanjung Pura.
Tempatnya asyik dan fasilitas-nya masuk kategori Hotel Bintang Tiga.
Andai kolam ikan didepan. Kost-kostan bisa dianggap pura-pura jadi Kolam Renang, saya tidak akan keberatan mengulas Home Stay milik Pak Ical ini jadi Hotel Bintang Empat di TripAdvisor.
Oh iya, biarpun ngga ada yang nanya, saya adalah Kontributor Senior dengan lencana tingkat 20 di Aplikasi wajib para traveller ini.
Alhamdulillah saya sudah mengulas lebih dari 20-an Kota di Indonesia dan Lima Negara.
Keren kan?
Saya merekomendasikan Homestay Pak Ical ini buat kawan-kawan yang akan berkunjung ke Kota Pontianak dengan Budget pas-pasan tapi tetap mengutamakan kenyamanan.
Bagi Backpacker kesepian atau para Pelancong Jomblo tanpa harapan, sabar, didepan Kost-kostan ada Mushola kecil tempat berdoa dan mengadu kepada Tuhan…
Asyiknya tempat ini, tinggal jalan kedepan ketemu warung yang enak dan murah-meriah. Makan kenyang cukup sediakan 15 ribu rupiah, all you can eat-lah.
Kota ini lumayan saya sarankan untuk para wisatawan pemanja lidah yang tidak perduli ukuran perut seperti saya.
Tentu saja Kota Makassar dan Pare-pare masih jauh lebih murah.
Bulan kemarin di Pare-pare saya pernah ketemu Warung mirip restoran dengan menu ayam seharga lima ribu rupiah.
Tentu saja rencana diet dengan pulang badan lebih kurusan gagal total.
Bukannya berat badan berkurang, pulang-pulang malah perut udah mirip ibu muda hamil tujuh bulan.
Jalan ke depan gang, dipinggiran jalan Imam Bonjol ketemu cafe Terminal Tanjung Bunga, melihat model dan auranya, sepertinya cafe ini lumayan berkelas.
Kalau Cafe sejenis di Kota Samarinda, saya yakin segelas Kopi atau Juice Mangga minimal 50 ribu rupiah, ternyata segelas juice mangga ditambah pisang keju tidak sampai duapuluh ribu rupiah.
Mantap…sepertinya Kota ini layak dipertimbangkan untuk menjadi Ibu Kota Negara.
Masyarakat yang sangat hangat, misalnya di sore kemarin menurut saya sangat menakjubkan.
Karena tersesat jalan (hobby saya memang jalan-jalan keliling Kota dengan jalan kaki), setelah menyesatkan diri, saya bertanya arah jalan kepada seorang Bapak-bapak warga lokal setempat.
Luar biasa, bukan cuma memberitahu jalannya, si Bapak bergegas ke rumah ambil motor dan bersikeras mengantar kan saya sampai kerumah eh maksudnya kost-kostan.
Si Bapak tidak mau dibayar karena beliau memang bukan abang Gojek dan paling penting bukan sedang mencari muka, karena jelas-jelas mukanya ada dan saya bukan pejabat cuma Ketua Partai pro Rakyat.
Salam dan berkah Tuhan untukmu Bapak, jangan lupa doakan Perjuangan Partai Tirik Yaluk untuk menyelamatkan Negeri ini.
Terakhir menurut saya, Kota Pontianak sepenuhnya sangat asyik untuk tujuan wisata keluarga.
Kalau ada sedikit kekurangan, saya pikir cuma gaya mengendara khususnya motor yang lumayan ugal-ugalan.
Saya perlu limabelas sampai duapuluh menit untuk berani menyeberang jalan, itupun harus masih sempat jantungan di tengah jalan karena dari arah berlawanan Rossi dan Marquez Kota Pontianak melaju dengan kecepatan seribu kilometer perjam dengan motor bebek-nya tanpa rek cakram.
Bukan cuma itu, motor melawan arah disini sepertinya sudah jadi budaya.
Sedang asyik-asyiknya swafoto (ber-selfie) dibahu jalan, sambil waspada dengan kenderaan yang datang dari depan, dari belakang tiba-tiba menyenggol motor melawan arah jalan tanpa bunyi klakson dan peringatan.
Atau jangan-jangan disini lalulintasnya empat arah ya?
Kalau begitu tolong untuk Gubernur selanjutnya, dipertimbangkan seribu jembatan penyeberangan untuk Kota Asyik ini bagi wisatawan pejalan kaki.
Selamat Hari Minggu
#KomunitasKomunikasiCintaIndonesia
#PontianakKotaBersinar
#KePontianakAja
Penulis : Azwar Siregar