.

Tahun Ini Tahun Ujian Bagi Kapolri Jendral Polisi Tito

.

Kapolri Jendral Tito Karnavian, tahun ini mungkin merupakan tahun ujian baginya. Disaat dia menjabat Kapolri mantan komandan densus 88 anti teror ini, terjadi aksi terorisme di Mako Brimob Kelapa Dua, kemudian menyusul Senin pagi tadi (14/5) 11 orang jadi korban luka luka akibat teror bom di Markas Poltabes Kota Surabaya.

Ini memang diluar dugaan masyarakat awam karena aksi itu dilakukan oleh tangan seorang ibu yang seharusnya cemas dengan keselamatan keluarga justru ikut berperan dalam aksi menyerang 3 gareja di Surabaya.

Sebagai Kapolri yang mantan komandan Densus 88, saya yakin sebenarnya semua tragedi itu sudah diprediksi, maksudnya Tito sudah meramalkan bakal ada serangan bom dari teroris jebolan ISIS yang pulang ke tanah air.

Namun karena aksi intelijen kita sangat lemah, dan lagian hal itu memang tidak semuanya harus dibawah kendali operasional Tito, sehingga pergerakan teroris kembali menggeliat tak dapat terdeteksi secara dini.

Dalam penanganan aksi terorisme pihak polisi seperti diakui oleh Tito masih tetap mengedepankan sesuai dengan standar operasional Prosedur, dengan mengendepankan power in love malah, tidak hantam, serang lalu matikan.

Pertimbangannya kemanusiaan masih dijunjung tinggi POLRI dalam menangangi aksi terorisme di tanah air, seperti yang diperankan dalam menangangi tragedi di Mako Brimob Kelapa Dua.

Polri sudah sebegitu fokus dalam terorisme namun ada pihak yang menuduh kejadian ini merupakan rekayasa, demi cairnya dana APBN sebesar triliunan rupiah.

Tuduhan seperti ini sungguh menyakitkan karena tanpa alasannya yang kongkrit tanpa dilengkapi fakta yang akurat. Tuduhan itu hanya sebuah isue lalu oleh sebagian kecil penduduk Indonesia mungkin masih ada yang mempercayainya.

Bahkan diantaranya ada yang berani menulis di media sosial bahwa rentetan peristiwa aksi terorisme itu direkayasa sebagai menghilangkan adanya aksi #ganti presiden 2019.

Tuduhan tuduhan itu justru datang dari seorang guru di Kalimantan. Oknum kepala sekolah di salah satu SMP Kalimatan menulis di akun Facebooknya:

Hal yang senada juga ditwitken oleh seorang Dian Anggraeni Umar, Direktur Eksekutif dan pendiri Holistic Reputation Advisory.

Dalam kasus teror bom Surabaya, hanya beberapa menit setelah bom meledak, Dian mengunggah status dengan mengirim tautan dari detik.com tentang anggaran Polri sebesar Rp.1,9 triliun untuk pemberantasan terorisme, sembari menulis pesan begini: “Anggaran penanggulangan teroris hampir 1,9T setiap tahunnya dan didanai oleh APBN. Jadi biar anggaran itu diserap dengan baik, perlu ada cerita terorisnya, paham kan sayang maksud saya

Betulkah hanya lantaran ingin mencairkan dana 1,9 T lalu dibuat rekayasa dengan tujuan atau hanya ingin menutup maraknya aksi ganti presiden 2019?

Saya kira itu terlalu sulit dilakukan disaat kemajuan ilmu komunikasi semakin berkembang pesat dengan jagad raya yang dipenuhi internet ini.

Jika hanya dikalangan elit polri yang tahu rahasia adanya rakayasa, saya kira tidak semudah itu menutup “mulut manusia”, yang bisa ditutup itu hanya mulutnya beduk, mulut manusia sesuatu yang sulit jika kita berharap ada yang mampu menutup rahasia operasi intelijen yang salah ini.

Mungkinkah Tito tega mempraktekkan sebuah rekayasa yang telah mengorbankan bukan hanya di pihak teroris, tapi juga yang menjadi korban anak buahnya sendiri.

Jika itu benar, ini jelas sebuah operasi yang sangat berbahaya bagi karir seorang Kapolri, kendatipun alasannya demi menjalankan perintah atasan. Sungguh berbahaya, sebab akan ada yang berkhianat membeberkan rahasia itu kepublik demi mungkin juga jabatan.

Saya 1000 % tidak yakin sedikitpun, sebab Tito bukan lah orang yang tidak mengerti sejarah, banyak kejadian yang bisa dijadikan contoh jika melakukan perbuatan busuk pada suatu ketika akan terbongkar dengan sendiri yang harus di pertanggungjawaban secara hukum jika para pemimpin itu tidak lagi berkuasa.

Lantas untuk menetralisir agar isu miring ini, saya kira saat ini diharapkan pers berperan aktif membantu menyelesaikan krisis kepercayaan ini, pers harus mengambil peran dengan memberitakan bahwa aksi terorisme di Indonesia yang terjadi sekarang ini bukanlah Rekayasa.

Apabila rakyat Indonesia masih ada yang percaya peristiwa rentetan teror yang terjadi sekarang merupakan rekayasa, maka hal ini dapat memicu para teroris tetap akan menggeliat melakukan aksi teror mereka. (Yuharzi Yunus)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *