Jumlah Orang Kaya Meningkat, Tapi Jurang Perbedaan Kaya dan Miskin Makin Lebar
PILARBANGSANEWS. COM. GRESIK,- Sudah banyak Data yang diungkapkan oleh para ahli, tentu adanya angka-angka yang lebih akurat dan aktual. Bahwa angka-angka terbaru pun tetap menunjukkan adanya perbedaan jumlah kekayaan di antara orang terkaya dan orang kebanyakan di negeri ini yang membentang jarak yang amat panjang, sejauh jarak barat ke timur.
Berlimpahnya kekayaan orang Indonesia ternyata cuma dinikmati segelintir orang. Bahwa sistem perekonomian sekarang ini telah menghasilkan mengerucutnya kekayaan atau kemakmuran pada segelintir orang. ini bukti bukti yang semoga bisa menjadi pembelajaran buat orang kebanyakan,
Menggunakan contoh asumsi kepemilikan deposito Rp 10 miliar lebih, para pakar akademisi ekonomi berdasarkan hasil risetnya, memperkirakan jumlah orang kaya di Indonesia per Juli 2011 mencapai 20.000 orang. Jumlah ini naik 20% dibandingkan periode sama pada 2010. Pertumbuhan kekayaan mereka bisa mencapai tiga kali lipat (300%) dari pertumbuhan ekonomi. Sementara itu dua juta pemilik deposito di bank senilai total Rp 1.600 triliun mempunyai kesempatan untuk menjadi orang kaya berikutnya.
Data lain menyebutkan, pertumbuhan jumlah nasabah kaya di negeri ini sekitar 32%. Pada 2010 ada sekitar 19.000 orang dan pada 2011 berjumlah 30.000 nasabah.
Jumlah ini sepertinya akan terus meningkat, kata para pakar Pengawasan Bursa Efek Indonesia, potensi nasabah kaya di Indonesia tumbuh paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Dan peningkatan nasabah kaya di Indonesia juga tumbuh paling cepat di antara negara Asia setelah Hong Kong. Pertumbuhannya bahkan mengalahkan Thailand dan Taiwan.
Sekali lagi, “Statistik statistik yang berbira hanya angka angka bukan mulut dan mata yang bisa melihat dan berbicara fakta serta realita – memang mem-perlihatkan semuanya, tapi tetap saja ada yang ditutup tutupi karna menyembunyikan yang penting”.
Yang penting yang tersembunyi di balik angka-angka Statistik Statistik dan BEI itulah yang penting.
Bahwa di balik jumlah dana pihak ketiga di perbankan dan kecenderungannya yang terus meningkat itu sebenarnya mengindikasikan adanya perbedaan yang membentang jauh di antara jumlah kekayaan orang terkaya dan orang kebanyakan di negeri ini.
Sisi yang tersembunyi itulah yang dilihat antara lain oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, jurang pendapatan antara masyarakat miskin dan kaya di Indonesia justru semakin lebar. Menurut data yang dihimpunnya oleh para pakar ekonomi dan para aktivis yang pesuli ekonomi kerakyatan menyimpulkan, akumulasi jumlah kekayaan 40 penduduk terkaya di Indonesia setara dengan akumulasi kekayaan 60 juta jiwa penduduk Indonesia paling miskin.
Penguasaan kue ekonomi kini semakin mengerucut terkonsentrasi pada kelompok super kaya yang jumlahnya sangat kecil.
Pada 2010, kekayaan 40 orang terkaya sebesar Rp 680 triliun, atau setara dengan 10,3% Produk Domestik Bruto Indonesia, kata beberapa para pengamat ekonomi serta akademisi perbankan,
Indikasi terjadinya kesenjangan pendapatan, juga dapat dilihat dari kepemilikan simpanan pihak ketiga di bank.
Mengutip data Lembaga Penjamin Simpanan (Juli 2011) yang muncul dan terdata jumlah dana pihak ketiga di perbankan mencapai Rp 2.400 triliun di 100 juta rekening nasabah.
Namun 40% dari jumlah itu (Rp 1.000 triliun) dikuasai oleh 0,04% nasabah atau 40.000 rekening. Hanya 1,3% rekening menguasai 75% dana pihak ketiga (Rp 2.000 triliun). Kondisi ini dinilai jauh lebih buruk dengan kesenjangan pendapatan yang terjadi pada rezim Orde Baru. Menjelang Orde Baru jatuh pada 1997, kekayaan 1% penduduk setara dengan kekayaan 28% penduduk.
Kebrutalan tirani ekonomi di Indonesia nampak pula pada data LPS 2012. Pada 2012, jumlah rekening yang memiliki dana lebih dari Rp 5 miliar hanya 58.400 atau 0,057% (tidak sampai 0,1%!) dari total 101 juta rekening.
Sebanyak 58.400 rekening ini menguasai uang Rp 1.215 triliun dari total simpanan bank nasional sebesar Rp 2.879 triliun, atau menguasai sekitar 42% dana simpanan di bank. Data ini sekaligus menggambarkan realitas kezaliman ekonomi di negeri ini: segelintir orang menguasai dana yang jumlahnya sangat besar (hampir setengah dari jumlah dana yang disimpan di bank nasional).
Data lain menyebutkan, sekitar 20% kelompok masyarakat ber-penghasilan tinggi menguasai hampir setengah pendapatan nasional. Sebaliknya, 40% kelompok berpenghasilan rendah hanya mendapat jatah 16,35%. Pada awal era Reformasi, kelompok miskin masih menikmati 21,66% pendapatan, sedangkan penguasaan kelompok teratas baru 40,57%.
Hasil survei Badan Pusat Statistik pada 1999 dan 2009 menunjukkan kecenderungan serupa. Kelas menengah Indonesia terus mengalami pertumbuhan pesat.
Bahkan dalam satu dekade (1999-2009), kelompok ini telah melonjak dua kali lipat dari 45 juta jiwa menjadi 93 juta jiwa. Dari jumlah ini, sekitar 4 juta orang masuk dalam ketegori sangat mapan (emerging affluent), atau sekitar 2% dari populasi penduduk. Kaum mapan ini mempunyai penghasilan Rp 240 juta sampai Rp 500 juta setahun atau memiliki investasi Rp 150 juta setiap tahun. Sementara itu kelompok menengah-tengah meningkat jumlahnya hampir tiga kali lipat, yakni dari 7,5 juta menjadi 22 juta jiwa. Kelompok menengah-atas bahkan naik lima kali lipat dari 0,4 juta menjadi 2,23 juta jiwa. Sedangkan kelompok berkecukupan naik hanya 100.000 menjadi 370.000 jiwa.
Kelas menengah itu disebut para ekonom sebagai kelompok orang kaya baru (OKB). katanya, tercipta akibat reformasi ekonomi dan politik yang menyertai demokrasi.
Mereka mendapatkan kekayaannya terutama dari perkebunan, pertambangan, khususnya batubara, dan sebagian lagi dari kehutanan. Sebelumnya akses terhadap kekayaan sumber alam itu hanya dikuasai oleh kelompok terbatas. Sekarang meluas ke elit-elit politik, daerah, dan Ormas.
Tetapi tetap saja tidak meluas ke rakyat, mengapa pertumbuhan jumlah orang kaya atau kelas menengah itu masih disertai dengan ketimpangan yang cukup besar karena jumlah penduduk miskin masih di atas 30 juta jiwa.
Terkait data yang disajikan oleh Bank Dunia, dibeberkan jumlah penduduk miskin lebih banyak lagi. Dalam ikhtisar mengenai Indonesia,
Data itu memaparkan dari 234 juta penduduk Indonesia, saat ini lebih dari 32 juta hidup di bawah garis kemiskinan dan sekitar setengah dari seluruh rumah tangga tetap berada di sekitar garis kemiskinan nasional yang ditetapkan pada Rp 200.262 per bulan (22 dolar AS pada Maret 2010).
Realitas fakta-fakta itu, pertama, kemakmuran atau kekayaan tidak berputar lagi di tengah tengah rakyat kebanyakan tapi mengerucut mengalir hanya ke segelintir orang.Kekayaan merapat hanya ke sedikit tempat, dan aliran kekayaan itu semakin memusat.
Pertumbuhan ekonomi yang eksklusif saat ini telah menjerumuskan demikian banyak penduduk negeri ini ke dalam jurang kemelaratan.
Hanya sebagian kecil dari penduduk negeri ini yang menikmati tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kedua, Indonesia bukan satu-satunya negara yang penduduknya masih banyak yang miskin. Karena semua negara menggunakan sistem penciptaan uang dan kekayaan yang sama, mereka pun akan mengalami hal yang sama dengan Indonesia.
Kekayaan yang berlimpah milik negara ini hanya milik segelintir orang tertentu. Wajar bila muncul ironi: jumlah orang miskin di Indonesia saat ini delapan kali lipat penduduk Singapura.
Tetapi sungguh ironis banyak orang berduit asal Indonesia yang membeli properti di Singapura. Selama 2010 konon jutaan orang Indonesia berkunjung ke Kota Singa hanya untuk berlibur – bahkan sekelompok karyawan bank perkreditan rakyat di Sleman pun diberi bonus liburan di Singapura.
Sementara warga Singapura yang datang ke Indonesia dalam kurun waktu yang sama hanya belasan ribu orang saja.
Rezim yang berkuasa ini tampaknya tidak berusaha mengatasi akar penyebab kesenjangan yang kian menganga. Para politikus yang berkuasa rupanya sedang menanam bom waktu yang berbahaya bagi masa depan bangsa ini.
Berbahaya karena meluasnya kemiskinan yang disertai dengan makin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin tinggal menunggu pemicu untuk pecahnya revolusi sosial atau alam yang bakal merefolusi keadaan ini ,Sumber berita di rangkum dari berbagai sumber, (JSH)