PENCITRAAN dan “GULAI AMBUANG-AMBUANG” (Oleh : Anton Permana)
……………………
Pencitraan normatif itu boleh saja, karena ruang lingkupnya sebatas bagaimana mengabarkan sebuah medium kerja yang baik di sampaikan kepada publik sesuai porsinya tidak lebih dan tidak kurang. Sebagai fungsi in put informasi kinerja kepada publik dan masyarakat.
Tapi pencitraan extreem dan radikal yang mengenyampingkan kaidah kejujuran, norma objectifitas dalam rangka membangun opini publik yang subjectif sangat tidak dibenarkan. Opini yang cenderung mengarah kepada pembohongan publik tersistematis menggunakan infrastruktur kekuasaan (biaya dari uang rakyat).
Karena hal ini akan merusak tatanan bernegara yang baik serta mengkebiri ‘Hak’ azazi masyarakat dalam mendapatkan sebuah informasi yang sebenar-benarnya. Trust publik terhadap sebuah sistem pemerintahan bagaikan tensi meter darah pada tubuh manusia. Kepercayaan publik runtuh, ibarat instabilitas pompa darah ke jantung yang dampaknya adalah secara bertahap tapi pasti akan merusak organ organ dalam tubuh, di mulai dari sistem kerja jantung, paru paru, ginjal, dst…
Pencitraan yang berlebihan hanya terjadi pada sebuah sistem kekuasaan yang amatiran. Miskin prestasi tapi haus prestise. Membuat kebohongan untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Menutup ketidak mampuan dengan rekayasa opini partisan. Yang berbahayanya lagi adalah, membolak balikkan fakta demi terwujudnya sebuah hidden agenda para ‘user / sponsor / cukong’ yang berdiri di belakangnya.
Berbicara pencitraan. Saya jadi ingat cerita klasik orang tua tua di kampung saya ketika zaman penjajahan jepang dahulu. Ketika itu pernah di kenal sebuah jenis daun bumbu masak yang bernama ‘daun ambuang-ambuang’. Dimana daun ambuang ambuang ini berfungsi sebagai bumbu penyedap rasa. Setiap masakan (gulai) apabila di beri daun ambuang ambuang ini, maka masakannya akan terasa sangat enak dan lezat. Tapi kelemahannya adalah, kalau takaran pemberian daun ambuang ambuang ini berlebihan justru akan berakibat fatal. Yaitu bisa menyebabkan yang memakan masakannya sakit perut dan mohon maaf mencret-mencret.
Artinya. Begitu jugalah dengan konsekuensi dari sebuah aplikasi pencitraan yang kalau muatannya terlalu berlebihan. Hal ini justru akan menjadi anti klimaks bagi masyarakat. Buat yang merancang konsepsi pencitraan ini mungkin akan asyik asyik saja (Karena ini adalah bahagian dari proyek), tapi yakinlah masyarakat Indonesia zaman Now sudah jauh belajar banyak dalam 3 tahun belakangan ini.
Semoga saja. Konsepsi dan fungsi pencitraan dalam hal komunikasi pemerintahan dan politik, di kembalikan kepada rel dan jalannya yang benar. Meningkatkan kualitatas diri dan pelayanan publik secara konkrit akan lebih baik dari pada menghabiskan energi untuk menipu diri sendiri dan masyarakat. Wallahu’alam.