Cerpen; Karena Kau Adalah Adikku (Oleh: Sofi Yuen)
PilarbangsaNews.com, —
Dua tahun sejak kepergian ibu, semuanya menjadi semakin gelap.
Tak ada lagi matahari pagi yang menjanjikan kehangatan, pun lembayung senja yang menawarkan kenyamanan.
Dia yang seharusnya menjadi kebanggaan, menjadi boomerang dalam kehidupan.
**Sofiyuen**
Aku pulang dalam kelelahan. Sejak bangun pukul empat dini hari, menggoreng, menyiapkan jualan dan berangkat, kemudian menunggui dagangan sampai jam sebelas siang. Bayangan kasur menanti mengiringi langkahku menuju dapur untuk meletakkan keranjang jualan.
Kusempatkan melongok ke kamar di sebelah ruangan dapur, dan membelalak melihat apa yang kudapati.
“Bangun!” ucapku dengan nada tinggi. Pagi tadi aku sudah membangunkannya sebelum berangkat jualan, dan sekarang kutemukan ia masih dalam posisi yang sama.
“Apaan kau!” bentaknya tak kalah keras. Ia bangun secepat kilat dengan mata memerah menatapku. Sempat terkejut, aku balas menatap garang.
“Apaan katamu? Jam berapa ini? Hanya sekolah kau yang kusuruh! Kalau sekolah berat, berhenti saja.”
“Hidup hidupku! Ngapain kau ngatur-ngatur aku!”
“Hidupmu katamu?! Sudah bisakah kau mandiri, sehingga kau merasa aku tak boleh mengatur hidupmu? Jika kau tak sudi kuatur, sudah dari dulu aku memberimu pilihan.”
Kuluapkan emosi yang sungguh membuat kepala ingin meledak. Setiap hari begini. Ada saja hal yang membuat kemarahanku meluap. Kemarin dia mencongkel kamarku untuk mencuri uang pembeli rokok, setelah hari sebelumnya ia pulang jam enam sore. Sebelum itu, ia menilap uang yang katanya untuk membayar buku paket.
Belum lagi pengaduan dari tetangga, yang anaknya menjadi korban cetekan tangannya. Surat panggilan dari sekolah yang tiap bulan datang, laporan tingkah lakunya di sana sini yang membuat aku stress!
Malam takbiran tahun lalu Arya mencuri handphone orang. Sebulan sesudahnya dia berkelahi di tempat play station. Bulan kedua, ketiga, dst … tiada hari tanpa kasus, tiada bulan tanpa panggilan. Aku nyaris gila.
Arya berdiri cepat. Kakinya terayun. Aku menanti tanpa berkedip. Jika dia nekad menendangku, biarkan saja! Aku juga capek harus berbahasa halus dan nasehat yang tidak pernah didengarnya.
Kakinya ditarik lagi ke belakang, berganti dengan tangan terkepal. Geraman keluar dari bibirnya. Aku menatap tak berkedip.
Dia mengentakkan kaki ke lantai, menyenggolku hingga terempas, kemudian pergi dengan tatapan mata setajam silet. Merendahkan.
“Apa yang kau inginkan sebenarnya? Kau berbuat begini untuk pelampiasan? Kau tidak akan bisa mengembalikan Ibu, juga meminta Ayah untuk di sini. Berhentilah menyiksaku, Arya.”
Pintu digebrak.
Aku menjerit dalam tangisan. Emosi dan sakit hati bercampur, menuntut pelampiasan. Akan tetapi, kekuatanku habis dalam satu gerakan. Tatapan sinis ujung matanya, adalah senjata paling mematikan.
Seakan aku bukan kakaknya, tetapi musuh bebuyutan.
Kubanting pintu kamar. Lantas bergulung dalam selimut. Meredam isak dan kekecewaan. Seandainya ibu masih di sini. Kalau saja ayah bersama kami.
Dia selalu melukai hatiku sebagai seorang kakak. Tak mau dinasehati, tak suka dikritik, marah jika dihukum.
Jika dinasehati baik-baik, Arya diam seribu bahasa, seolah tak mendengar. Jika suaraku keras, dia … selalu melawan, menjawab semua perkataanku, menghina, sumpah serapah dan carut marut kerap ia lontarkan. Membuat aku merasa tak ada harga di matanya.
Duhai. Aku iri dengan kehidupan orang-orang di luar sana. Meski tanpa orang tua, mereka saling menjaga. Aku? Nyaris sakit jiwa.
Apa pun yang kulakukan, aku masih saja salah. Jika aku menasehatinya dengan halus, orang mengatakanku tidak tegas, bersuara emas. Jika aku keras, mereka bilang sentuh hatinya dengan kelembutan. Bicaralah baik-baik.
Tentu saja mereka bebas semaunya, karena mereka tak mengalami.
Mereka juga tak perlu tahu, bahwa aku pun harus mengorbankan masa depan untuk adikku.
**Sofiyuen**
“Pergilah, Ndra. Aku tidak bisa menjanjikan apa pun padamu. Hubungan ini makin tak jelas untukmu. Tinggalkan aku.” Dingin suaraku tertuju pada pemuda di samping. Lelaki ber-sweater biru dengan dua alis hitam lebat.
“Naya … kenapa kau mengatakan ini? Ada apa?” Indra terperanjat. Aku tahu reaksinya akan begini. Kerut dalam di keningnya menandakan ia sangat tidak setuju dengan ucapanku.
“Aku ingin kita putus saja. Aku tidak ingin kau lama menunggu. Aku memiliki adik yang harus kuurus melebihi anak sendiri. Aku tidak bisa membagi perhatian. Kau akan jadi bujang lapuk jika menunggu. Lepaskan aku.”
“Naya! Berhenti membicarakan omong kosong. Setelah tiga tahun kau mau menyerah? Tidak. Aku tidak akan melepasmu.”
“Lebih baik menyerah sekarang, Ndra. Dari pada nanti kau menyerah jika sudah bersamaku. Itu akan lebih menyakitkan. Kau tentu mendengar sepak terjang adikku. Aku sarankan, kita tetap menjadi teman atau kau lebih suka menjadi mantan.”
Kubalas tatapan tajam dari netra coklat yang selama ini selalu menghangatkan. Untuk pertama dan terakhir kali, kusalurkan energi kebencian dalam sorot mata. Pertanda aku tidak main-main dengan keputusanku.
“Jika berakhir sekarang, kita menjadi teman. Jika berakhir nanti, kau akan jadi mantan. Mantan suami karena tidak tahan dengan perangai adikku.” Kulanjutkan kaki menuju rumah dengan keranjang di tangan. Ini menyakitkan, tapi harus kutahan.
Indra memarkir motornya dan mengejar. Aku bergeming. Tetap dengan langkah panjang-panjang fokus ke hadapan. Menyusuri pinggir jalan aspal sebelum sampai ke jalan setapak.
“Kenapa kau jadi meragukanku, Nay? Kau setuju, Nay. Kau sudah berjanji. Mengapa kau bohong, Nay? Apa salahku?” Suara putus asa nyaris mengalahkan tekad di hatiku. Tidak. Aku sudah memutuskan untuk sendiri hingga Arya berubah. Tidak akan kubiarkan Indra terluka juga dengan kata-katanya nanti. Masalah ini, biar aku saja yang menanggulangi.
Tolonglah. Bagaimana bisa aku akan menikah jika adikku masih begini? Aku tidak akan pernah bahagia sebelum Arya berubah, dan itu entah kapan. Indra akan lapuk menungguku yang sudah siap jadi debu.
“Ya. Aku pembohong. Terima kasih sudah menemani hingga tiga tahun ini. Aku minta maaf. Jangan menungguku,” sinisku sambil mulai berbelok menuju rumah.
“Oke. Aku tidak akan memaksa. Kita putus sekarang. Dan kita akan balikan begitu kau menginginkan.” Tegas suara Indra justru menimbulkan senyum kecut dari bibirku.
Tidak ada lagi langkah kaki yang mengintiliku di belakang. Tak lama kudengar suara raungan motor membelah udara.
Aku berbalik perlahan. Menatap jalanan dengan air mata mengembang.
“Bagaimana aku bisa mengajakmu balikan, jika mamamu sudah datang dan mengatakan, tidak ingin kau terlibat dalam keluargaku yang berantakan?”
Kristal pecah membasahi wajah. Kepedihan nyata kini. Kueratkan genggaman pada keranjang jualan, lantas menyeka pipi. Biarlah. Mungkin ini yang terbaik. Setidaknya aku masih memiliki saudara bernama Arya.
Dan ….
Kutemukan ia masih membola di kasur.
Bagaimana kesabaranku tidak lebur?
Aku menekan dada, setengah bertanya bodoh, mana yang lebih sakit. Patah hati karena kekasih atau saudara?
Sungguh. Sepuluh kali lipat rasanya lebih sakit ketika hati dan harapanku dipatahkan adik sendiri.
****
Arya. Dia kelas sembilan. Sejak kecil, anak itu akrab dengan kebandelan. Seringkali ayah dan ibu cekcok karena perangainya. Tak jarang, mereka juga harus membayar ganti rugi karena ulahnya.
Kelas tujuh, ibu meninggal. Setahun kemudian, ayah menikah lagi. Setiap minggu ayah berkunjung, tapi itu tidaklah bisa mengembalikan peranan ayah dalam hidup kami.
Wataknya semakin keras dan temperamen. Aku tidak pernah tahu apa yang ada di pikirannya. Saat kutanya, ia diam seribu bahasa.
Apa Arya membenciku yang sering menasehatinya?
Apa dia tak suka tinggal bersamaku?
Apa dia ingin berhenti sekolah?
Demi Tuhan. Jika Arya jujur, aku akan menerima dengan lapang dada apa pun keputusannya. Termasuk jika ia memutuskan berhenti sekolah.
Tabiat buruknya makin menjadi. Ia malas mandi, malas mengurus diri sendiri. Kerjaannya main hp yang dibelikan ayah. Jika kuambil, dengan segala cara ia akan merebutnya lagi, walaupun itu harus mengasariku.
Pergelangan tanganku terkilir karena berebut smartphone dengannya.
Aku menyerah.
Kusuruh dia mandi. Dia tak mau padahal sudah berhari-hari. Kupaksa dengan memberi hukuman, tidak boleh menonton sebelum mandi. Ia marah besar dan meninju jendela serta mendobrak pintu. Aku ketakutan luar biasa, tapi dengan segenap keyakinan, aku tak pernah menciut di depannya.
Surat panggilan datang beruntun dari sekolah. Ia berkasus, mulai dari merokok, berkelahi, membaca novel dewasa curian, sering terlambat, hingga menjelek-jelekkan aku pada gurunya.
Guru sudah angkat tangan. Hukuman apa pun tak mempan. Ia diusir dan di-skor, besok pagi ia sudah nangkring lagi di kelas.
Aku memintanya dikeluarkan saja, tapi guru mempertahankan, karena ia sudah kelas sembilan, tinggal dua bulan lagi akan ujian.
Ketika aku menasehati di rumah, ia tutup kuping dengan headset. Ingin aku merenggut benda itu, tapi tak lagi punya keberanian.
Ia menjelma menjadi sosok asing yang tidak mau membicarakan apa pun denganku. Kecuali makan dan uang.
Jika aku bepergian, habislah kamar dan rumah di bongkarnya. Uang hilang, pintu lecet. Dia kembali tanpa mau mengaku, dan tak ada sorot bersalah di matanya. Terpaksalah aku menumpangkan celengan dan dompet ke rumah tetangga.
Ketika aku keluar rumah. Omongan miring dan pertanyaan menyudutkan selalu datang. Ya. Aku menderita tekanan batin dari dalam dan luar.
Dan puncaknya, aku harus melepaskan satu-satunya yang menganggap aku berharga. Semua karena dia! Karena Dia juga.
Mengapa Tuhan mengambil ibuku? Mengapa Dia menuliskan jodoh yang lain untuk ayahku?
Aku, tidak sanggup menanggung semuanya.
Aku akan membencinya. Aku akan menganggap Arya orang lain, agar hatiku tidak sakit lagi tiap kali melihatnya, agar aku bisa mengabaikannya, seperti aku mengabaikan orang-orang di luar sana.
Aku akan berusaha membencinya. Tidak peduli lagi padanya, tidak akan memasukkan lagi ke dalam hati kata-katanya, juga pandangan merendahkan dari sudut matanya.
Ya. Hanya dengan cara itu sepertinya aku bisa tetap waras.
“Mana Arya?!” Sebuah bentakan mengejutkan terdengar di halaman. Menyusul suara gedoran yang amat keras. Aku melompat bangun sebelum daun pintu jebol diterjang seseorang.
“Ada apa, Bu?” tanyaku kalem. Sudah biasa aku menerima tamu tak diundang seperti ini. Datang kesetanan pulang kesurupan.
“Kau! Aku akan melaporkannya ke polisi! Dia membawa motorku barusan. Bensinnya baru dibeli, nanti kalau pulang pasti sudah kering! Iya jika dia tidak merusaknya pula. Jika lecet, kau harus menggantinya!”
“Kau tahu? Ayah anakku akan mengojek, kau harus menanggung kerugian berapa jam waktunya yang habis untuk menunggu adikmu. Punya adik tidak kau atur! Itulah dari dulu suka bersuara emas menasehati, sekarang keluar urat leher tak didengarnya!”
“Dasar sampah! Merepotkan!”
Sumpah serapah bagai hujan berhamburan mengisi ruangan. Aku mendengarkan. Lantas mempersilakan wanita itu pulang. Perempuan itu, tetanggaku di samping kanan rumah. Ia paling suka menggoreng apa yang terjadi dalam rumahku dengan tambahan micin sesukanya.
Seseorang menepuk bahuku. Wajah tetangga di depan rumah. Ia yang selama ini sering membantuku agar tetap waras.
“Sabar, Nay. Bagaimanapun, dia adikmu. Akan ada akhir yang indah untukmu,” ia tersenyum menguatkan.
Aku memijit kepala. Mengangguk dan menutup pintu.
Suara tetangga baik hati itu serasa angin lalu. Aku mulai gelap mata.
Membencinya saja tidak akan mengakhiri masalah. Orang-orang tetap akan datang untuk menuntut pertanggungjawabanku atas Arya.
Mungkin satu-satunya cara adalah dengan meninggalkan mereka semua. Ya, s-e-m-u-a-nya.
**Sofiyuen**
“Naya! Naya!”
Kudengar seruan dari kejauhan. Panik sepertinya. Kubuka mata perlahan, sedikit silau dengan cahaya yang menerobos kisi jendela. Kepalaku pusing, perih berdenyut, dan tubuhku lemas sekali.
“Naya! Naya! Buka pintunya!”
Itu tetangga lagi. Ada apa?
Aku mencoba bangkit, tapi tak kuasa. Dadaku sesak, kepala juga berdenyut. Sakit.
Saat aku berjuang untuk duduk, pintu berhasil didobrak. Cahaya menerobos masuk. Aku bersandar pada dinding setelah memaksa bahu untuk tegak.
“Kau di mana Nay? Arya kecelakaan. Dia di rumah sakit sekarang! Naya, Naya!”
Simpang siur bunyi gaduh menyerbu indera pendengaranku. Demi mendengar nama Arya, mataku terbuka.
Pintu kamar mandi dibuka paksa. Aku kembali tergolek di lantai basah.
“Naya! Apa yang kau lakukan? Naya!”
Pekik histeris tak kuhiraukan. Seseorang meraupku dalam gendongan. Teriakan cemas menyebut darah, rumah sakit, kecelakaan, terjatuh, kepala, simpang siur dan tak mampu kuurai menjadi kalimat.
“Arya kenapa?” Kesadaranku kembali. Kurasakan sedikit guncangan. Sepertinya ini dalam mobil.
“Dia kecelakaan. Kakinya patah. Saat ini ia terus menangis memanggilmu. Jangan banyak bicara dulu, kepalamu bocor. Tanganmu juga terkilir sepertinya,” ucap seseorang dengan kecemasan yang terasa menyenangkan.
“Kau mau apa di kamar mandi dengan tali dan kursi? Mau bikin jemuran? Pastilah kakimu tersangkut hingga kau terjatuh.”
Lucu. Aku tersenyum samar. Seseorang itu melarang aku bicara, tapi dia sendiri terus mengoceh.
Tali dan kursi?
Apa aku ….
Ya Tuhan. Astagfirullah.
Terima kasih sudah mengirim malaikat untuk mendorongku.
Aku tidak akan membencinya. Aku tidak akan mengabaikannya! Ampuni aku, Tuhan. Ampuni aku.
Kehilanganku, tidak akan membantu Arya sama sekali. Ia akan semakin terpuruk dalam dunianya. Mengapa aku tega berpikiran untuk meninggalkan Arya sendiri? Sedangkan yang dia punya hanyalah aku.
Gelap sebentar. Aku berjuang menahan mual.
“Cepat, Pak! Dia kehilangan kesadaran lagi.”
Cepatlah. Aku sudah tak sabar ingin bertemu Arya. Aku akan meminta maaf karena berpikir untuk meninggalkannya.
Tidak apa. Tidak apa-apa untuk bersabar sedikit lagi. Meski sekarang dia menganggapku musuh, aku harus tetap menemaninya mencari jati diri.
Walau bagaimanapun, dia adalah adikku, dan kami hanya punya satu sama lain.
Gelap sepenuhnya.
Selesai.
Teluk Kinari, 07 Mei 2020.
Catatan;1. Cerpen terinspirasi dari kisah nyata dengan improvisasi.
2. Foto diatas adalah foto penulis nya