Buku Digitalisasi Informasi NU Karya Armaidi Tanjung Dibedah Virtual
Padang, PilarbangsaNews
Digitalisasi informasi organisasi sebagai upaya penyelamatan arsip semakin penting dirasakan. Artinya sistem kearsipan yang semula menggunakan sistem manual, berbasis konvesional, sedapat mungkin sudah saatnya dapat beralih ke sistem elektronik yang berbasis digital.
Demikian diungkapkan Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlalatul Ulama (PWNU) Sumatera Barat Prof. Ganefri, Ph.D, ketika tampil sebagai nara sumber pada bedah buku 15 Tahun Nahdliyyin Sumatera Barat di Dunia Maya (Berita di NU Online 2005-2020), Sabtu (17/10/2020) malam di Padang.
Bedah buku yang diselenggarakan secara virtual juga menampilkan tiga narasumber lain, Pemimpin Redaksi NU Online Achmad Mukafi Niam, Ketua PW Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Provinsi Sumatera Barat Dr. Ahmad Wira dan Ketua PW Gerakan Pemuda Ansor Sumatera Barat Dr. Rahmat Tuanku Sulaiman.
Ganefri yang tampil dengan tema “Membingkai Realita ke Dunia Maya: Jejak Digital Nahdlayyin di Sumbar”, menyebutkan, buku ini telah menggambarkan pentingnya prinsip provenance (asal-usul, fungsi arsip dalam organisasi) dan original order (aturan asli, konteks dari fungsi arsip untuk organisasi). “Buku ini telah menginformasikan bagaimana rapinya pengarsipan yang disusun secara efektif dan efesien selama 15 tahun di Sumatera Barat pada dunia maya,” kata Ganefri yang juga Rektor Universitas Negeri Padang ini.
Mengutip Robert, Ganefri mengatakan, konsep records in special format merupakan arsip yang memiliki informasi terekam dalam bentuk dan karakteristik khusus selain media tekstual atau kertas. Dalam buku ini termasuk arsip digital.
“Kontribusi atau fungsi buku ini setidaknya ada lima hal. Yakni pertama, informative berisikan tentang berita informasi tertulis kegiatan dari Nahdlatul Ulama di Sumatera Barat. Kedua, edukatif yang memberikan pengetahuan dan konstruksi pemikiran dari tokoh-tokoh NU. Ketiga, solutif yang menggambarkan tentang berbagai strategi keorganisasian NU dalam memecahkan masalah umat. Keempat, imitatif yang terkait dengan ketokohan dan kiprah para pemimpin NU dapat dimitasi, khususnya oleh para Nahdliyyin dalam gaya kepemimpinannya. Kelima, literasi sebagai sumber bacaan atau literature bagi kader NU dan non-NU untuk melihat bagaimana kiprah sebuah organisasi,” tutur Ganefri.
Bedah buku setebal 620 halaman yang ditulis Armaidi Tanjung diselenggarakan dalam rangka memeriahkan Hari Santri 22 Oktober 2020, dipandu moderator Zeki Aliwardana, diikuti pengurus NU di Sumatera Barat, badan otonom, lembaga, kader NU dari Bandar Lampung dan Bogor.
Pemred NU Online Achmad Mukafi Niam mengatakan, dalam rentang sekitar 15 tahun ini, dinamika NU di Sumatera Barat dapat dibaca melalui buku ini.
Sebelumnya tulisan-tulisan tersebut berserak di banyak kanal atau dalam rentang waktu yang berbeda-beda.
“Harapannya, peristiwa-peristiwa tersebut dapat menjadi penyemangat dan refleksi bagi kepengurusan kini dan mendatang. Sebagaimana yang sering kita dengar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Prinsip yang sama berlaku dalam berorganisasi. Dengan mempelajari masa lalu Nahdlatul Ulama, maka kita dapat menarik pelajaran penting sebagai bekal dalam menatap masa depan,” tuturnya.
Ketua PW ISNU Ahmad Wira mengatakan, manfaat bedah buku ini tentu tidak saja bagi penulisnya, tapi juga publik pembaca. Pelajaran terbesar yang diambil ketika seorang penulis berani bukunya dibedah adalah adanya ruang untuk mendialogkan pesan yang ingin disampaikan dari bukunya.
Bagi ISNU Sumatera Barat, bedah buku ini merupakan pekerjaan intelekual. Pekerjaan sarjana NU. Sehingga ISNU melihat kegiatan ini sangat relevan dan perlu terus dilanjutkan.
“Sebuah tulisan yang disuguhkan oleh Armaidi Tanjung kepada publik pembaca patut disambut gembira di tengah sulitnya mendapatkan referensi NU di Sumbar. Tentu ini sebuah karya yang cemerlang. Armaidi Tanjung sudah memulainya,” kata Ahmad Wira yang juga Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Islam UIN Imam Bonjol.
Dikatakan Ahmad Wira, buku ini juga bisa dikatakan buku dokumenter. Karena terkait dengan kegiatan yang sudah dilakukan. Menulis buku ternyata bisa juga dengan membuka jejak digital. Ini satu model yang bisa dikembangkan.
Rahmat Tuanku Sulaiman menyebutkan, penulis buku ini juga pelaku sejarah yang merekam, mencatat apa yang didengar, dilihat, diketahui dan dilakukannya. Tentu saja apa yang ada dalam buku ini tidak semua kegiatan NU, banom maupun lembaganya. Yang patut jadi perhatian serius bagaimana yang dilakukan penulis buku ini bisa jadi inspirasi bagi kader NU lain. Sekecil apa pun kegiatan yang dilakukan ditulis dan dicatat. (At/gk)