Tantangan Terbesar di Indonesia Bukan Teknologi, Melainkan Persiapan Mental dan Budaya
JAKARTA, – Revolusi Industri 4.0 telah menghinggapi hampir seluruh sendi kehidupan manusia, hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya telah terjadi, mulai dari perkembangan teknologi nano yang bisa membuat baju dari daun talas (waterproof) hingga menumbuhkan daging sapi di sebuah laboratorium. Tantangan terbesar yang ada di Indonesia adalah persiapan mental dan budaya masyarakat menghadapi revolusi industri yang terjadi. Bung Karno sebenarnya telah menyiapkan sumber daya manusia Indonesia untuk siap menghadapi era industrialisasi.
Hal itu disampaikan oleh Politisi PDI Perjuangan yang juga menjadi Founder Inovator 4.0 Indonesia, Budiman Sudjatmiko dalam acara Bung Karno Series dengan Judul “Soekarno dan Peta Rencana Industrialisasi Indonesia” yang tayang di akun Youtube BKN PDI Perjuangan dalam rangka peringatan bulan Bung Karno, pada Minggu (26/6/2022) dengan dipandu oleh Host Jaka dan Patricia.
“Perkembangan teknologi ini tentu punya tantangan di Indonesia. Kemarin saya bicara dengan beberapa akademisi, ada profesor, dia bilang permasalahan teknologi ini gampang kita punya banyak orang Indonesia yang bisa kembangkan. Yang paling sulit adalah menyiapkan mental dan budaya generasi muda, Bagaimana ideologinya disiapkan, dampak psikologis ketika semua serba mudah seperti apa? Bagaimana kita menghadapi era keberlimpahan, misal makanan, bahkan keberlimpahan informasi kita sudah semua info mudah dapat online, dan lain-lain. Jangan-jangan orang tidak butuh lagi kerja fisik dan rutin lagi ke depannya. Ini harus disiapkan bagaimana generasi ke depan ini menghadapinya dengan bijak,” ujar Budiman.
Ihwal persiapan Indonesia menghadapi era industrialisasi, Budiman menyampaikan, pada era Bung Karno menjadi Presiden Indonesia, persiapan awal yang dilakukan adalah mengirim ribuan pemuda Indonesia untuk belajar berbagai macam teknologi (beasiswa) ke luar negeri, mulai dari teknik biologi, nuklir, metalurgi, pertambangan, dan lain-lain. Tujuannya, agar orang Indonesia lah yang memanfaatkan kekayaan alam Indonesia, bukan bangsa lain dan kemudian bangsa Indonesia justru yang menjadi pembeli di negaranya sendiri.
“Bung Karno di akhir tahun 50-an mengirim ribuan anak muda seusiamu (milenial) ke luar negeri belajar berbagai macam teknologi, mulai dari pertambangan, nuklir, dan lain -lain. Bung Karno pernah mengatakan, pada intinya jangan gali dulu tambang – tambang kita sebelum bangsa kita siap mengelolanya. Saya pernah ketemu mereka yang diberi beasiswa Bung Karno itu, mereka sudah jadi ahli-ahli, tetapi mereka tidak bisa pulang karena mereka tidak mau disuruh mengutuk Bung Karno (oleh rezim saat itu), mereka akhirnya dicabuti paspornya dan ya kita akhirnya tertunda untuk menjadi negara yang bergerak ke arah industrialisasi. Sampai sekarang kita jadi bangsa yang hanya bisa beli,” kata Budiman.
Lebih lanjut, industrialisasi yang diinginkan Bung Karno adalah pembangunan industri terhadap sumber daya yang ada di Indonesia dengan meningkatkan produktivitas, pengorganisasian kerja, aktivitas ekonomi yang menyisakan untuk diekspor dan dikonsumsi banyak orang serta menghasilkan keuntungan, dan dikelola banyak orang di mana pemiliknya bukan segelintir orang, melainkan oleh banyak orang. Hal itu karena jika hanya dikelola oleh segelintir orang, maka yang terjadi hanyalah penghisapan.
“Bung Karno pro industrialisasi, tetapi penghisapan tidak. Bung Karno tidak mematikan swasta, tetapi meminta masyarakat diikutsertakan. Bung Karno tidak menolak investasi, tidak menolak kerja sama ekonomi yang bisa membawa transfer teknologi kepada bangsa Indonesia,” tutur Budiman.
Adapun Budiman bercerita, saat ini perkembangan industri sudah sampai pada tahap penggabungan rekayasa digital dan rekayasa genetika. Di beberapa restoran di Singapura misalnya sudah dijual daging sapi yang itu ditumbuhkan dari laboratorium. Bahkan, ada orang Indonesia yang sudah membuat baju dari daun talas menggunakan nanoteknologi yang artinya itu kedap air, keringat, dan lain-lain. Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati nomor satu di dunia dan keanekaragaman sosial nomor dua terbesar di dunia harus menyiapkan arah industrialisasinya mulai saat ini. Menurutnya, industri bioteknologi dan kecerdasan buatan adalah dua industri yang harus dikembangkan di Indonesia secara masif saat ini.
“Kenapa bioteknologi dan kecerdasan buatan? karena kita punya keanekaragaman hayati yang luar biasa terkaya nomor 1 di dunia. Rekayasa biologi ini perlu. Lalu kecerdasan buatan ini perlu, kita adalah negara dengan keanekaragaman sosio kultural nomor dua terkaya di dunia. Beberapa tahun belakangan itu, kalau dengan kecerdasan buatan kita bisa memetakan bahasa, kesukaan, dan logika suatu suku, ini kita mau jualan apa saja bisa, kalau ini teknologi yang punya orang lain dan ia petakan suatu suku di Indonesia kan tidak bagus, misalnya Google yang punya teknologi itu kan tidak bagus, harusnya kita sendiri dong yang punya teknologinya,” ujar Budiman. (*)