Tanggapan Atas “Tanggapan Basril Basyar” (Kasus ASN Jadi Anggota PWI)
Oleh : Raja Parlindungan Pane (Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat)
“Ketika manusia dimabuk kekuasaan, ia akan cendrung berdamai dengan kepalsuan dan kebohongan; juga dengan aneka ragam penghianatan”. Saya mengutip perkataan orang bijak yang mengkritisi praktek di dalam dunia politik.
Saya kira kutipan itu tepat saya tujukan kepada perilaku Basril Basyar (selanjutnya disingkat BB, Red) yang lebih menunjukkan syahwat politiknya, ketimbang sebagai jurnalis yang mestinya jujur dan kesatria. BB tidak berhenti berakrobatik untuk menutupi kebohongan-kebohongannya demi merebut kursi sebagai Ketua PWI Sumatera Barat.
Baik. Saya mulai dengan judul tulisannya, “Raja Pane Tidak Etis”. Tulisan itu menanggapi tulisan saya “Soal Kemelut PWI, Bukan Orangnya Tapi Kelakuannya” yang dimuat media digital Cek n Ricek (Kamis 19 Januari). Saya dituduh tidak etis karena menulis soal kemelut PWI Sumbar yang di dalam “lakon” itu BB sebagai tokoh antagonis utama. BB mengaku 40 tahun menjadi wartawan, namun ternyata dia tidak mengenali “DNA” wartawan yang fitrahnya harus bicara terbuka berdasar fakta demi menegakkan kebenaran.
Diksi BB dalam tulisannya memang lebih dekat dengan jejak digitalnya sebagai politikus (ingat, BB juga pernah bermasalah ketika sebagai pengurus Parpol di Sumbar memaksakan diri untuk menjadi Ketua PWI Sumbar) dan kini status sebagai PNS nya yang bermasalah. Sebagai PNS dia menghalalkan segala cara demi menjadi Ketua PWI Sumbar (lagi) yang saya kritisi.
Dengan satu tulisannya itu saja, wajar jika kita meragukan kewartawanan BB. Dia memprotes pekerjaan saya yang menulis di media mengkritisi posisinya. Itu yang dia bilang tidak etis. Padahal, masih segar dalam ingatan, justru dialah yang tidak etis membuat surat terbuka dan menggunakan lawyer mensomasi Pengurus PWI Pusat agar dilantik. Seperti dia tak punya isi kepala lagi untuk menggunakan mekanisme yang disediakan organisasi PWI untuk mencari solusi.
Beberapa informasi yang disampaikan dalam tulisannya menggunakan jurus orang mabok. Dia tidak fokus lagi untuk menerangkan bahwa posisinya tidak lagi sebagai PNS sehingga berhak atas jabatan Ketua PWI Sumbar.
Ia merepet ke sana kemari. Misalnya, menganggap PD/PRT, KEJ, KPW PWI tidak sah karena tidak dicatatkan di notaris. Dia lupa semua aturan organisasi PWI yang disebut itu merupakan produk Kongres PWI di Solo tahun 2018. Mungkin karena mabok, maka lupa juga dia bahwa Kongres merupakan forum tertinggi PWI untuk menetapkan dan membatalkan apa saja. Tuduhannya jelas menghina dan atau melecehkan kemampuan profesional mulai dari panitia kongres, pimpinan sidang, seluruh pengurus PWI Pusat yang terpilih di Kongres Solo itu.
Sebenarnya dengan mudah dia bisa memperoleh notulen kongres jika dia memang berbakat wartawan. Silahkan buka website PWI Pusat. PD PRT, KEJ, KPW hasil Kongres PWI di Solo terpampang di situ. Hanya itu satu-satunya peraturan organisasi PWI yang tercantum secara resmi, itu adalah bagian dari sosialisasi PWI. Tidak ada yang lain.
Kalau BB konsisten mengatakan hanya pengurus yang didaftarkan di notaris, sedangkan PD PRT, KEJ dan KPW tidak, maka itu tidak sah, bagaimana jalannya pengurus saja yang sah padahal sama-sama produk kongres?
Yang fatal, BB tahu konsekwensi dari salah satu produk kongres dimaksud adalah melarang PNS menjadi anggota, apalagi konon menjadi Ketua PWI. Dua suratnya membuktikan itu. Pertama, surat Dekan Fakultas Peternakan Unand yang menginformasikan pengunduran dirinya. Surat itu ditunjukkan pada waktu Konferensi PWI Sumbar bulan Juli 2022. Dengan surat itu, yang disahkan oleh Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat Zulkifli Gani Ottoh, SH (Zugito) melempangkan jalannya maju dalam pemilihan. Zugito sama mabuknya dengan BB, menganggap surat Dekan itu sudah bukti pengunduran diri PNS. Padahal, semua orang tahu pengunduran diri seseorang sebagai PNS harus disahkan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Berdasarkan itu maka, Rapat Pleno PWI Pusat 4 Agustus memutuskan menunda pelantikannya selama 6 bulan atau sampai yang bersangkutan mengantongi surat dari BKN. Surat kedua, dari Wakil Rektor Unand yang diterbitkan menjelang masa tenggat waktu 6 bulan habis. Itu juga bukan surat pengunduran diri yang definitif. Wakil Rektor sendiri menyebutkan perlu proses untuk dapat surat resmi dari institusi terkait PNS (BKN).
Sampai dia menulis menanggapi saya, BB tidak menunjukkan dia sudah berhenti sebagai PNS. Itu yang saya kritisi. Itu yang saya ungkap agar kasus BB ini menjadi pembelajaran seluruh anggota PWI di Indonesia. Apalagi, saya menulis itu sesuai tupoksi sebagai Anggota Dewan Kehormatan PWI. Mau dibawa ke mana organisasi kita dengan person pengurus model BB? Semoga saja yang bersangkutan mendapat hidayah dari Allah SWT. (*)