Kepala Dinas Itu Tak Terima Fotonya Dipublish
Foto diatas judul berita foto Yuharzi Yunus penulis artikel ini
Painan, Pilarbangsanews.com, —
Saya akan cerita sebuah pengalaman yang saya alami beberapa hari yang lalu. Ada seorang Kepala Dinas di Kabupaten sebut saja nama Kabupatennya Kabupaten A, saya menulis berita terkait Dinas yang dia pimpin.
Dalam penulisan terjadi kesalahan kutip, saya salah memaknai ucapannya. Atas kesalahan itu dia protes. Saya terima protesnya, karena dalam kode etik jurnalistik wajib bagi seorang wartawan memperbaiki berita yang salah kutip. Saya minta maaf dan saya berjanji segera memperbaiki berita yang salah kutip itu.
Namun yang membuat peristiwa itu menggelitik ketika sang kepala OPD, tak terima fotonya ikut saya publish sebagai foto unggulan untuk mendukung artikel.
“Pak itu foto saya, bapak ambil dari mana? Kenapa bapak posting di media sosial Facebook tanpa minta izin. Seharusnya bapak minta izin ke saya terlebih dahulu, ” kata sang Kepala Dinas protes dengan nada yang sangat kesal kedengaran lewat telp WhatsApp.
“Iya pak.., foto itu memang bisa dilihat di Facebook, tapi setelah foto dan beritanya saya publish di media saya, media online disebut juga dengan portal berita, ” ujar saya menjelaskan.
Terus foto bapak itu saya cari di google dari website PesisirselatanKab.co.id, ” Ucap saya lebih lanjut.
“Itu foto milik saya , kan foto saya. Wartawan itu harus minta izin dulu kalau ngambil foto orang. Bapak ambil tanpa seizin saya, masa bapak tak minta izin pada saya.” katanya dengan kalimat agak menggurui dan sedikit emosi.
“Memang benar itu foto bapak, tapi bukan bapak lagi yang punya foto itu, ” saya coba menjelaskan kepada sang OPD.
“Lha kok bapak bilang foto itu tidak punya saya. Di foto itu kan gambar saya, ” kepala OPD ini tetap ngeyel yang intinya tidak terima fotonya saya posting di media kami Pilarbangsanews.com.
“Benar itu foto diri bapak tapi itu bukan hak milik bapak lagi. Ya…, kalau bapak mau mengadukan saya ke Polisi silahkan saja jika bapak menganggap saya telah mengambil foto itu tanpa izin bapak.
Tanpa izin mengambil milik orang lain bisa diartikan mencuri. Mungkin begitu analisanya sang kepala dinas.
Dengan analisa yang mungkin seperti itu lalu sang kepala dinas akhirnya menutup telpnya. “Ya nanti lah saya pelajari dulu,” ucapnya.
Kebiasaan dan tradisi kami wartawan media online tidak masalah mengambil foto milik media lain jika dibutuhkan. Tapi harus dituliskan sumbernya. Bahkan banyak wartawan yang bandel atau mungkin tidak mengerti seenaknya menyadur berita teman tanpa menuliskan sumbernya. Kita yang wawancara dengan sumber dia tinggal sadur dan mempublikasikan atas namanya sendiri. Jika ada yang begitu, sang wartawan boleh di branding sebagai wartawan plagiat. Dalam salah satu pasal kode etik jurnalistik dinyatakan wartawan tidak boleh plagiat.
Terkait dengan foto, yang penting diperhatikan adalah apakah foto itu memiliki hak cipta atau tidak. Jika memiliki hak cipta, terhadap orang mengambil foto itu bisa dituntut dengan UU Perlindungan Hak Cipta.
Kembali pada foto kepala dinas tadi, sebenarnya foto yang saya ambil itu bukan lagi milik dia walaupun itu foto dirinya. Pemilik hak cipta foto itu adalah website yang pertama kali mempublikasikan foto tersebut. Itupun juga kalau pihak website mendaftarkan foto itu ke Kementerian Menkumham untuk mendapatkan perlindungan Hak Cipta.
Jadi kalau soal izin, saya tidak harus minta izin pada orang yang ada difoto. Minta izin kepada pemilik website yang mempublikasikan foto itu. Begitu etikanya.
Sebagaimana disebutkan diatas, mengambil foto yang telah dipublikasikan akan menjadi masalah jika foto itu didaftar sebagai pemegang perlindungan Hak Cipta ke Kementerian Menkumham.
Kepala dinas yang tak terima fotonya saya ambil itu, silahkan anda menuntut saya kalau foto itu didaftar sebagai memiliki perlindungan HaK Cipta.
Oh.. Walaupun itu foto anda bukan berarti anda sebagai pemiliknya. Paham ? (****)