Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Adalah Bentuk Kezaliman Bukan Keadilan
Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota memberi peluang kepada investor di dalam dan luar negeri untuk memanfaatkan sumber daya ikan pada zona-zona industri melalui perizinan khusus berjangka 15 tahun.
Kebijakan tersebut, menargetkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 12 triliun pada 2024 atau meningkat Rp 1 triliun dari tahun 2021.
“Kebijakan ini menuai eksersif pada nelayan kecil disepanjang pesisir Indonesia. Kebijakan yang tak penuhi rasa keadilan. Nelayan seringkali dijadikan eksploitasi dari hal terkecil hingga penarikan PNBP yang sangat merugikan dapur rumah tangga nelayan.” Ucap Rusdianto Samawa dalam keterangan pers pada media (11 sept 2023).
Sementara eksploitasi penuh (fully exploited) dan eksploitasi berlebih (over exploited) telah berlangsung lama. Hal ini menunjukan pemerintah abaikan aspek lingkungan dan sustainability sumber daya perikanan.
“Selama izin PIT itu diberikan kepada perusahaan dalam dan luar negeri. Selama itu pula penangkapan ikan di Indonesia mengabaikan aspek keadilan. Eksploitasi ini bentuk kezaliman yang nyata terhadap kedaulatan perikanan. Membuat nelayan menjerit, harus bersaing dengan seluruh perusahaan – perusahaan oligarki dalam dan luar negeri yang mendapat izin tersebut.” Kata Rusdianto
Keputusan Menteri KKP tersebut, tidak bersifat keberlanjutan, lebih pada kezaliman atas eksploitasi pada seluruh kelompok sumber daya ikan seperti pelagis besar, udang penaeid, lobster dan rajungan di semua WPP RI.
Sementara seluruh jenis kelompok sumber daya ikan itu sudah sudah mengalami fully exploited dan over exploited. Tidak ada lagi yang berstatus moderate.
Rusdianto melihat lebih jauh bahwa kedepan kebijakan kelautan perikanan harus strong sustainability, Kebijakan PIT harus dibatalkan. KKP bertanggungjawab atas pelanggaran Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Karena telah mengabaikan prinsip penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional tidak terkecuali di bidang perikanan.”