Selepas Zuhur Suatu Hari di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Catatan Gusfen Khairul, Wartawan
Siang hari yang terik di Kota Banda Aceh, tapi di dalam Masjid Raya Baiturrahman sangatlah sejuk. Adem sekali. Rasa dingin datang dari AC dan puluhan kipas yang terus berputar di langit-langit masjid nan indah ini. Karenanya, sholat Zuhur pada Selasa 13 Agustus 2024 ini terasa khusyuk. Alhamdulillah!
Selepas Sholat Zuhur, saya menikmati ademnya masjid, sambil berbincang santai dengan beberapa pemuda asal Aceh yang merebahkan diri dekat dinding. Ada pula laki-laki yang berpakaian putih dan celana hitam beberapa orang duduk mengelompok dan berbincang, sepertinya ASN atau mahasiswa PKL yang istirahat dari kantornya.
Disamping saya duduk seorang bapak, dari songkok khas Aceh yang masih baru di kepalanya, dapat ditebak ia pendatang yang sama dengan saya. Kami pun bertegur sapa. Benar rupanya, si bapak dari Kampar Riau, saya dari Padang, Sumatera Barat.
Kami berbincang mengagumi Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Tentang arsitektur dalamnya seperti mesjid di Arab yang banyak tiang, penuh ornamen dan kemegahan. Juga tentang kekuasaan Allah SWT yang telah menyelamatkan masjid ini dari tsunami dahsyat Aceh pada 26 Desember 2004. Kawasan sekeliling masjid rata oleh sapuan tsunami, tetapi rumah Allah SWT ini tak rusak sedikit pun.
Kembali ke si bapak tadi, kebetulan tujuannya ke Aceh sama pula dengan saya, yaitu mengantarkan anaknya kuliah di Universitas Syiah Kuala, Darussalam Aceh. Anak saya yang bungsu, Getrie Gaydha Gusvera lulus di MAN 2 Padang, lulus diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah. Sedangkan anak pertama dari bapak tadi diterima di Fakultas Hukum Unsyiah Kuala.
Tak terasa waktu berlalu hingga hampir satu jam, kami bercerita tentang anak, tentang tempat kost, kenyamanan melepas anak kuliah di Aceh, hingga tempat-tempat yang layak dikunjungi jika datang ke Aceh, seperti museum tsunami, kapal yang tersangkut di atas gedung karena tsunami, hingga menyeberang ke Sabang untuk mendatangi Titik Nol Indonesia.
Sejarah Masjid Baiturrahman
Sambil melangkah keluar masjid, foto-foto, saya mengagumi arsitektur masjid yang bergaya Timur Tengah dengan berkubah bulat dan memiliki banyak menara. Kemudian ada dengan sentuhan arsitektur Mughal. Kata Mughal merujuk pada Kekaisaran Mughal atau Moghul, yang pada masa jayanya memerintah Afganistan dan sebagian besar wilayah India pada 1526-1857.
Pola arsitektur Mughal ini berdasarkan literatur, percampuran Islam, Persia dan India, yang dicirikan dengan gerbang berkubah, kubah bulat besar di tengah masjid, menara ramping ditiap sudut, ruang aula yang luas dan penuh ornamen halus.
Dari sejarah yang dikutip Wikipedia, Masjid Raya Baiturrahman dibangun pada tahun 1612 di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Ada juga yang mengatakan, bahwa masjid yang asli dibangun lebih awal pada tahun 1292 oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah. Pada saat itu status masjid ini sebagai masjid kerajaan yang menampilkan atap jerami berlapis-lapis yang merupakan fitur khas arsitektur Aceh.
Kemudian ketika Kolonial Hindia Belanda menyerang Kesultanan Aceh pada tanggal 10 April 1873, masyarakat Aceh menggunakan bangunan masjid yang asli sebagai benteng pertempuran, dan menyerang pasukan Kerajaan Belanda dari dalam masjid. Pasukan Kerajaan Belanda pun membalas dengan menembakkan suar ke atap jerami masjid, yang menyebabkan masjid terbakar. Ibadah salat dan lainnya saat itu direlokasi ke Masjid Baiturrahim Ulee Lheue. Jenderal Van Swieten pun menjanjikan pemimpin lokal bahwa dia akan membangun kembali masjid dan menciptakan tempat yang hangat untuk permintaan maaf.
Lalu pada tanggal 9 Oktober 1879, Kerajaan Belanda membangun kembali masjid ini. Konstruksi dimulai pada tahun 1879, ketika peletakan batu pertama diletakkan oleh Jendral Van Der Heyden dan Tengku Qadhi Malikul Adil, yang kemudian menjadi Imam pertama masjid. Pembangunan diselesaikan pada tanggal 27 Desember 1881 ketika masa pemerintahan Sultan terakhir Aceh, Muhammad Daud Syah.
Banyak orang Aceh yang awalnya menolak untuk beribadah di Masjid Baiturrahman yang baru ini karena dibangun oleh orang Belanda, yang awalnya merupakan musuh mereka. Namun pada akhirnya penolakan itu mereda, dan sekarang masjid ini telah menjadi kebanggaan masyarakat Aceh.
Pada awalnya, masjid ini hanya memiliki satu kubah dan satu menara. Kemudian kubah-kubah dan menara ditambahkan pada tahun 1935, 1957, dan 1982. Penambahan dua kubah dari yang sebelumnya tiga kubah pada tahun 1957 menjadikan jumlah kubah menjadi lima buah yang melambangkan Pancasila di Aceh. Hingga saat ini, Masjid Baiturrahman memiliki 7 kubah dan 8 menara, termasuk yang tertinggi di Banda Aceh.
Kuasa Allah SWT memang dilihatkan-Nya terhadap rumah Allah ini. Ditengah amukan gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, masjid ini tetap berdiri tegak. Hanya mendapatkan sedikit kerusakan seperti beberapa dinding yang retak. Salah satu menara 35 meter juga mengalami sedikit keretakan dan jadi sedikit miring akibat gempa bumi tersebut. Semua kerusakan kecil itu sudah diperbaiki dan Masjid Raya Baiturrahman kini sudah megah kembali.
Setiap hari, ribuan orang berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Dari berbagai pelosok negeri. Tidak terasa ke Aceh kalau tidak mampir dan sholat di Masjid Raya Baiturrahman, tentu berfoto dengan latar belakang masjid bersejarah ini. (*)