Catatan GK

Berkunjung ke Aceh dan Menghabiskan Bergelas-gelas Kopi Pancong Setiap Hari

Catatan Gusfen Khairul, Wartawan

Keseharian orang Aceh tidak bisa dipisahkan dari kopi. Itu yang saya lihat. Dari pagi hingga malam pasti mereka akan dipersuakan dengan air hitam ini, berkali-kali. Karenanya, bagi pengopi seperti saya, maka berada di Aceh tidak terasa asing, seperti berada di Minang sajalah rasanya.

Sudah hampir seminggu saya di Aceh. Sejak mulai tiba 11 Agustus 2024 lalu, kini sudah hampir peringatan HUT RI ke-79 pula besok hari. Tidak terhitung lagi gelas kopi yang saya seruput. Asal ada waktu luang, saya mampir ke kedai kopi dan minta kopi pancong. Apa pula itu? Kopi pancong maksudnya dipancung, sehingga cukup setengah saja. Karena disajikan dengan gelas kecil maka hitungannya tetap satu gelas juga, ha ha.

Tradisi minum kopi di Aceh memang dengan gelas pancong ini. Di hampir semua kedai kopi itu gelasnya. Gelas kecil, gulanya sedikit saja, sehingga kelat-kelat manis kopinya yang dominan. Aroma kuat dan candu kopi ini yang selalu bikin nagih, sehingga sekali duduk bisa dua kali pancong saya memesan kopi.

Cara meracik kopi Aceh ini rada unik dan ini pun berkaitan dengan rasa yang dihasilkan. Kopi tidak diseduh sebagaimana biasa. Tapi kopi Aceh dimasak atau direbus panas, sehingga aroma betul keluar dan cita rasa kopinya benar-benar terasa. Kopi panas yang dimasak itu disaring berkali-kali dengan saringan kain.

Meracik kopi Aceh

Proses menyaring ini merupakan atraksi yang sering paling dinanti dan diabadikan oleh pengunjung yang baru pertama kali ke Aceh. Saking lihai peracik kopinya, proses menyaring yang berlangsung cepat ini tak menumpahkan setetes kopi pun. Hingga akhirnya dihasilkan kopi pancong yang jernih, maksudnya nyaris tanpa ampas sama sekali. Jadi kalau kopi pancong diseruput sampai habis pastilah tidak akan terdedak.

Harganya pun murah. Segelas kopi pancong di Aceh House Kupi sekitar Kampus Unsyiah Kuala hanya Rp5.000. Di tempat lain harganya mungkin naik sedikit, tergantung tempat dan fasilitas kafenya, tetapi tidak akan melampaui Rp10 ribu. Karena itu minum kopi bergelas-gelas pun di Aceh tak akan membuat kantong bolong.

Seperti pagi ini, hari Jumat 16 Agustus 2024 saya telah menghabis satu gelas kopi pancong di SMEA Premium Kupi, Jalan Teuku Nyak Arief, Jeulingke Banda Aceh. Kopinya enak. Saya mau pesan satu gelas lagi, rencananya. Istri saya minum teh tarik berikut sepiring seorang lontong sayur.

Jelang memesan satu gelas lagi kopi pancong, saya kirimlah WhatsApp dulu kepada Mak Ketum LKAAM Sumbar Fauzi Bahar Datuak Nan Sati. Mantan Wali Kota Padang dua periode ini berulang tahun ke-62 pada Jum’at barokah ini. Saya ucapkan selamat ulang tahun dan bahagia atas dilantiknya ananda M. Fautiaz jadi anggota DPRD Kota Padang periode 2024-2029. Namanya rezeki memang tidak kemana. Awak mengucapkan selamat ulang tahun, yang Mak Datuak Nan Sati pun bergegas pula mentransfer untuk pembeli kopi. Alhamdulillah Mak Ketum, bisa pula untuk memesan bergelas-gelas kopi lagi selama berhari-hari, he he.

Menunggu kedatangan kopi pancong di SMEA Premium Kupi Jalan Teuku Nyak Arief

Kembali kepada nama kedai yaitu SMEA Premium Kupi. Menggelitik saya untuk bertanya pada sang kasir, apa arti nama kedai itu. Rupanya memang singkatan dari Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA). Pemilik kedai kopi ini, Pak Mustafa yang orang Lempuiyeng, adalah mantan Kepala SMEA. Kedai kopinya banyak, ada beberapa buah di Kota Banda Aceh.

Jumlah kedai kopi di Aceh memang banyak, tidak hanya SMEA dan Aceh House Kupi saja. Banyak banget. Ini karena kebiasaan minum kopi tadi, juga karena Aceh memang daerah penghasil kopi. Orang Aceh betah berjam-jam untuk berbincang di kedai kopi sambil menyeruput kopi. Tua muda, laki laki dan perempuan, semua enjoy mengopi di kedai kopi. Hingga larut malam malah.

Mungkin jumlah kedai kopi, besar kecil, sudah mencapai 500 buah di seputaran Banda Aceh dan sekitarnya saja. Kalau di seluruh Provinsi Aceh jumlah kedai kopinya tak terhitung lagi. Ribuan. Mungkin Aceh merupakan urutan satu dalam provinsi dengan jumlah kedai kopi terbanyak.

Dari banyak literatur disebutkan, tradisi minum kopi di Aceh sudah ada sejak zaman Kesultanan Aceh hingga sekarang kini. Kopi adalah perekat hubungan sosial setiap individu masyarakat Aceh, terutama lewat kedai-kedai kopi yang ada di setiap gampong (kampung) di negeri Serambi Mekah ini.

Kopi Pancong

Tak heran, setiap kedai kopi ramai setiap waktu, entah kapan sepinya. Hanya tutup sekitar 30 menit saja pada saat sholat Maghrib. Semua kedai kopi di Aceh memang wajib dimatikan lampunya saat Maghrib tiba. Pada beberapa kedai kopi saya lihat masih ada juga orang di dalamnya duduk, dalam bergelap-gelap itu. Setelah lampu hidup kembali, keriuhan kedai kopi Aceh kembali menyala.

Bagi masyarakat Aceh, tradisi minum kopi sangat erat dengan budaya pergaulan yang ada. Ini sudah terbawa-bawa pula kepada pendatang seperti saya. Juga ribuan orang lainnya, terutama mahasiswa yang menuntut ilmu di Unsyiah Kuala, UIN dan perguruan tinggi lainnya. Semua sudah mencintai kedai kopi. Betah berlama-lama di kedai kopi untuk bercakap-cakap. Bahkan ada istilah yang sering dikutip media “kupi sikhan glah, peh bereukah lua nanggroe” yang artinya minum kopi cuma setengah gelas, tetapi berbincangnya sampai ke luar negeri. Begitu benarlah kopi menyihir kehidupan masyarakat Aceh.

Sejak era kolonial Belanda hingga sekarang, setidaknya ada dua daerah yang jadi sentra produksi kopi di Aceh, yaitu Ulee Kareng dan Gayo. Kopi Ulee Kareng yang termasuk jenis kopi Robusta dihasilkan dari Kecamatan Ulee Kareng. Sementara, Kopi Gayo yang termasuk jenis Kopi Arabika ditanam di daerah Gayo. Di pasar dunia Kopi Gayo termasuk kelas kopi premium. Harganya pun lebih mahal dari Ulee Kareng. Kedua jenis kopi inilah yang mengharumkan nama Provinsi Aceh sebagai salah satu produsen kopi terbaik di tanah air yang merajai 40% pasar dalam negeri.

Kopi Arabika Gayo yang premium dijual Rp120 ribu hingga Rp140 ribu sekilonyo. Sedangkan Robusta Gayo hanya Rp85 ribu setiap kilogramnya. Sedangkan Kopi Robusta Ulee Kareng berkisar pada Rp45 ribu hingga Rp60 ribu setiap kilogramnya.

Selepas minum kopi pancong, bersiap menunaikan ibadah sholat Jum’at di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh

Khusus untuk Kopi Ulee Kareng, bisa dikatakan hampir semua kedai kopi di Banda Aceh menyuguhkan kopi produksi daerah ini. Kopi Arabika Gayo kebanyakan disuguhkan di kafe-kafe. Kopi Robusta Ulee Kareng selain rasanya nikmat, aromanya khas Aceh, dan harganya pun bersahabat.

Di kedai-kedai kopi Aceh, umumnya kopi yang ditawarkan dalam tiga variasi penyajian, yaitu kopi hitam, kopi susu dan sanger. Kopi hitam dan kopi susu mungkin sudah sering kita temui di daerah-daerah lain di Indonesia, tapi Sanger adalah racikan yang khas dan orisinil dari Aceh.

Sepintas melihat tampilannya, kopi ini mirip dengan kopi susu. Tetapi yang khas dari Sanger adalah komposisi susu dan gulanya yang tidak dominan membuat keharuman dan cita rasa kopinya lebih terasa. Campuran kopi saring, susu kental dan gula ini kemudian dikocok hingga berbusa, mirip-mirip dengan teh tarik tetapi warnanya lebih kehitaman. Enak dan disukai anak muda.

Kalau saya memang penikmat kopi hitam saja, yaitu kopi pancong tadi. Dari pagi sampai pukul 11.00 WIB hari Jum’at 16 Agustus 2024 ini, sudah tiga gelas kopi pancong saya seruput di dua kedai kopi berbeda di Banda Aceh. Dari SMEA Premium Kupi, saya pindah mengopi ke seputaran Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Karena sudah beranjak siang, ngopi-ngopi saya akhiri dulu dan saya memasuki area Masjid Baiturrahman untuk bersiap melaksanakan sholat Jum’at. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *