.

GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 80

Makmur Hendrik (Foto; Dok Pribadi)

Yang belum baca Bag 79 klik link dibawah ini;

GIRIANG GIRIANG PERAK ( Oleh: Makmur Hendrik) Bag 79

Tapi pada saat bersamaan, teman Datuk Sipasan yang satunya lagi yang juga berhadapan dengan murid Harimau Kumbang yang lain terpekik.

Sebuah pukulan tangan kiri murid Harimau Kumbang masuk dengan telak menghantam hidungnya. Hidung teman Datuk ini remuk dan melesak ke dalam. Darah seperti pincuran tujuh. Meleleh dan hampir hampir menyembur.

Dia menutupi hidungnya dengan telapan tangan. Dan ini menyebabkan tubuhnya tak terjaga. Murid Harimau Kumbang itu menyarangkan sebuah tendangan ke pusar lelaki dari Pariaman ini.
Lelaki itu melenguh. Sekali lagi sebuah tendangan bersarang. Kali ini menghantam kerampangnya. Lagi lagi dia melenguh. Penyamun Tambuntulang itu mencabut keris dan menghunjamkannya pada lelaki yang sudah tak berdaya itu.

Namun saat itu, Tuanku Nan Renceh yang masih tegak dengan diam, tiba tiba mengibaskan tasbih yang selalu berada di tangannya. Salah sebuah butiran tasbih itu melayang dengan kecepatan kilat.

Sesaat sebelum keris penyamun Tambuntulang tersebut bersarang di dada teman Datuk Sipasan, butir tasbih Tuanku Nan Renceh menghantam mata keris itu. Terjadi hal yang luar biasa. Keris itu seperti dipukul oleh tenaga raksasa. Terpental ke udara.

Setelah menghantam keris, butir tasbih itu melenting tinggi dan jatuh ke arah Tuanku Nan Renceh. Pemuka Islam dari Kamang ini menggerakkan tangan. Untaian tasbih di tangannya tiba tiba tegak seperti ranting kayu. Dan butiran tasbih yang melayang itu jatuh persis pada ujung benang yang kosong di ujung tasbih tersebut.

Begitu dia bersatu dalam untaiannya, tasbih itu kembali lentur dan bersatu lagi menjadi lingkaran. Si Giring Giring Perak yang memperhatikan sejak tadi gerakan Tuanku Nan Renceh ini, menjadi kagum melihat demonstrasi tenaga dalam yang luar biasa itu.

Dalam untaian tersebut ada sekitar enam puluh biji tasbih sebesar ujung kelingking berwarna biru tua. Nampaknya biji tasbih itu terbuat dari semacam batu batu yang indah dari Arab.
Yang aneh adalah ketika Tuanku Nan Renceh mengibaskan tasbih itu, buhul benangnya tiba-tiba terbuka. Kemudian dari ujung benang itu biji tasbih yang terletak paling ujung melesat meninggalkan untaiannya. Ini sungguh hebat.

Bayangkan, ada sekitar enam puluh biji tasbih, yang berada dalam genggaman Tuanku itu hanya sekitar lima belas butir. Berarti yang berada di luar genggamannya lebih dari empat puluh butir. Tapi yang melesat keluar hanya sebuah.

Pastilah biji tasbih selebihnya ditahan oleh suatu tenaga dalam yang amat tangguh, hingga tak ikut tercampak bersama biji yang lain. Tak sembarangan orang bisa berbuat seperti itu. Apalagi mengatur lentingan biji tasbih yang telah menghantam keris hingga bisa berbalik arah kembali pada pemiliknya.

Kemudian menegakkan tasbih itu, dan mengatur agar biji tasbih masuk persis ke benang untaiannya. Padahal pada biji tasbih itu hanya ada lobang sebesar ujung jarum untuk merajutnya jadi satu. Benar benar suatu kepandaian yang sulit dicari tandingannya.

Hantaman biji tasbih itu telah menyelamatkan nyawa teman Datuk Sipasan. Saat itu Datuk Sipasan mendengar pekik temannya yang baru saja kena tendang kerampangnya. Ketika dia menoleh, temannya itu sudah nyaris kena tikam.

Dia berniat untuk menolong. Tapi jarak antara dia dengan temannya itu ada sekitar enam depa. Tak bisa dia menolongnya. Namun saat itu pula tanpa dia ketahui apa sebabnya, keris di tangan penyamun tersebut terlempar ke udara.
Dia yakin ada orang yang telah turun tangan membantu. Dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh datuk ini untuk melompat ke arah temannya. Penyamun Bukit Tambuntulang itu masih terngangak ketika Datuk Sipasan tiba di sampingnya.
Dia menoleh, tapi terlambat, tamparan tangan kanan Datuk Sipasan mendarat di pelipisnya. Lelaki itu terpekik. Kepalanya pening dan pandangan matanya berkunang kunang.

Saat itu pula Datuk Sipasan menyudahi perkelahian itu. Telunjuk kanannya menghunjam ke leher lelaki dari Tambuntulang itu.

Terdengar suara tak sedap ketika telunjuknya menjeblos tenggorokkan lelaki itu. Mata lelaki tersebut terbeliak.
Datuk Sipasan mencabut jarinya yang terbenam hingga ke pangkalnya itu. Darah meleleh perlahan dari lobang tenggorokkan si lelaki. Sekitar lobang itu telah menghitam. Dan lelaki itu jatuh tertelungkup dalam keadaan masih terbeliak dan mulut ternganga. Nyawanya melayang lewat lobang kecil di tenggorokkannya.

Dengan demikian, ketiga murid Harimau Kumbang sudah tamat riwayatnya. Di pihak pendekar pendekar itu belum ada korban seorangpun. Kecuali teman Datuk Sipasan yang kena tendangan tiga kali itu. Dua kali di perut dan sekali di kerampang.

Untuk saja tendangan di kerampang itu tak begitu kuat. Higga tak ada instrumennya yang pecah. Namun kini lelaki itu masih duduk dengan air liur dan air mata meleleh menahan sakit yang alangkah sengsaranya terasa.

Dia merangkak perlahan ke arah balairung, menghindar dari daerah perkelahian yang masih berkecamuk. Datuk Sipasan dan Datuk Nan Hitam, mamak Puti Nuri, juga menepi. Kini yang masih bertarung adalah Harimau Kumbang, murid tertua Harimau Tambuntulang melawan Tuo Lintau, yaitu guru silat tangguh dari Lintau.

Kemudian Pandeka Sangek, murid kedua Tambuntulang melawan Datuk Berbaju Kafan, yaitu Guru Tuo Silat Secabik Kain Sekayu Kasah dari Kotoanau. Yang ketiga adalah perkelahian antara Gampo Bumi, murid ketiga Harimau Tambuntulang.

Dia dan kakak seperguruannya sungguh tak beruntung memerangkapkan diri bertarung di Kampungpisang ini. Mereka memasuki sarang naga. Bayangkan, saat itu berkumpul alangkah banyaknya pendekar pendekar silat. Kalau saja pendekar pendekar ini berniat mengeroyok, besar kemungkinannya tamatlah riwayat mereka.

Bersambung ke Bag 81

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *