“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 49…
.
Bagi yang belum baca bag 1 s.d bag 48 klik disini;
Sambungan dari Bag 48…
Bahwa sebenarnya dia membenci penduduk pribumi. Senyum yang dia sungging sunggingkan kiri kanan adalah sekedar pemoles niat jahat Kompeni saja. Sekedar taktik.
Kini, tak segan segannya dia melampang orang yang tak bersalah. Dan tukang cendol sial itu terduduk di bekas cendolnya yang terserak. Dia memang lagi bernasib sial hari ini. Hal itu nampaknya merupakan hukum karma baginya. Hukum Tuhan bagi dirinya juga yang bersalah pada anak bininya.
Dalam tangisnya kena lampang oleh Kapiten Verde dan Pandeka Sangek, tukang jual cendol itu teringat ke rumah bininya. Dia ingat malam tadi bininya minta duit untuk belanja dapur. Anaknya juga minta duit untuk beli penganan di balai.
Tapi tukang cendol ini tak memberinya, malah juga memukuli sembilan anaknya yang meminta duit belanja itu. Sebab duitnya sudah dia berikan pada seorang gadis penjual apam bernama Lebok. Dia sudah lama tergila gila pada si Lebok.
Mula mula gadis itu dia kenal dua bulan yang lalu. Ketika itu Lebok, gadis bertubuh subur, bermuka bundar, berpinggul besar, bertangan dan berkaki besar, berada di sebelah tempatnya menjual cendol.
Dia menatap gadis gepuk itu. Gadis itu menatapnya pula. Mereka saling tatap. Tukang cendol yang bernama Lepai ini, karena kakinya agak lepai, merasa jantungnya gemuruh. Seperti ada letusan meriam bambu saat lebaran di kampung-kampung. Lebok menunduk. Malu malu tikus.
“Apa yang kau jual, upik?” tanya Lepai dengan suara seperti orang kena malaria.
“Apam….” jawab Lebok sambil tetap menunduk.
“Coba saya lihat apammu itu, upik …” pinta Lepai masih dengan suara menggigil.
Apalah beratnya bagi Lebok untuk memperlihatkan apamnya. Tapi dia memang harus melihat apam yang dia jual itu. Tangannya bergerak ke barang yang dia jual. Membuka tutupnya.
“Hmmm. Tebal apammu, upik….” kata Lepai dengan jakun turun naik dan suara tambah menggigil.
“Tebal dan enak rasanya, Uda….” jawab Lebok.
“Benar enak rasanya?
Benar, Uda….”
“Boleh saya coba?
Boleh, Uda….”
“Bukalah….”
Lebok melirik, Lepai lagi lagi merasa darahnya gemuruh. Lebok membuka tutup apamnya. Lepai dengan tangan menggigil menekan nekan apam gadis itu. Terasa panas dan lembut. Karena saking kuatnya dia menekan, jari tunjuknya masuk ke dalam apam itu.
“Masuk tunjuk Uda ke dalamnya….” kata Lebok perlahan.
“Eh iya… ini sajalah awak ambil…” kata Lepai sambil mengambil apam yang tercucuk dengan jarinya itu. Kemudian dia makan. Matanya tabulolok bulolok.
Enak, sedap apammu, upik.
” Siapa namamu?”
“Ah, Uda ini tanya nama segala. Tak useh ye!”
“Masak tanya nama saja tak boleh. Apammu sudah saya kicok. Tapi tanya nama sajatak boleh. Jangan ceke, nanti tak saya bayar apam yang saya makan ini….”
“Nama awak buruk….”
“Tak ada nama yang buruk….”
“Tapi nama awak memang buruk….”
“Ooo… nama upik si Buruk?”
Lebok tertawa. Tukang jual cendol ini terasa lawak di hati Lebok. Dia suka orang lawak. Agak kurus dan matanya liar. Seleranya gedang.
“Nama awak Lebok….”
“Ooo… Lebok… aduh, nama yang seronok itu, upik. Nama yang manis. Semanis orangnya….”
“Ah, Uda ini bisa saja. Awak buruk dikatakannya manis….”
“Betul. Upik manis, apammu enak pula….”
“Kalau memang enak, Uda ambillah semua apam awak ini….”
“Jangan, jangan semua. Nanti apammu ini tak dapat bagian pula orang lain. Tapi saya beli sepuluh buah.”
Upik Lebok lalu membungkuskan apamnya yang tebal tebal dan lembut itu sepuluh buah. Lepai membawa apam itu pulang setelah balai usai. Di perjalanan pulang mulutnya mengguriminkan lagu Falling Love.
Sejak itu dia langganan terus membeli apam Upik Lebok. Tiap hari dia pasti membawa pulang sepuluh apam. Suatu hari bininya mengadu bahwa di rumah beras sudah tak ada sejak kepetang.
“Tapi apamkan ada….” ujar Lepai.
“Mana pula kenyang makan apam tiap hari….”
“Kenyang. Masak tidak. Apam itu besar dan tebal…. bentaknya.”
“Uda ini macam macam saja. Mana mau nasi ditukar dengan apam….”
“Kenapa tidak. Saya saja bisa, kenapa kalian tidak….”
Sehabis membentak begitu Lepai turun ke halaman. Membawa dagangan cendolnya. Dia menyumpah nyumpah tak menentu.
Bini tak tahu membalas guna. Sudahlah gaek, tak pernah merawat diri. Anak sekeranjang. Tiap tahun melahirkan. Puih, sudah loyo. Tidak sekenyal kulit Lebok…. gerutunya, sambil melangkah lebar lebar.
Hari itu bukan hari balai, jadi dia menjual cendolnya masuk kampung ke luar kampung. Lewat tengah hari, di ujung Kampung Tanahhitam dia dengar seorang memanggil cendolnya. Dia melihat ke arah suara itu.
Rasanya dari dalam sebuah kebun ubi. Ya, di tengah kebun ubi itu ada sebuah rumah sederhana. Tersisih dari rumah rumah yang lain.
“Cinduuue….!!” himbau orang itu kembali.
Lepai menghapus peluhnya. Dia melangkah memasuki pagar kebun. Dia terhenti tatkala melihat Lebok, gadis penjual apam itu, tegak di pintu. Gadis itu juga tertegak kaget.
Tak dia sangka orang yang berteriak teriak menjual cendol yang dia panggil itu adalah si Lepai. Lelaki yang selalu berjualan di sampingnya kalau hari balai di Kabunsikolos.
Bersambung ke bag 49…
Catatan Redaksi; Foto ilustrasi Lisda Hendrajoni ketua IPEMI SUMBAR, tidak ada kaitan dengan cerbung ini.