.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh : Makmur Hendrik) Bag 11

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 10 klik dibawah ini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh : Makmur Hendrik) Bag 10

Sambungan dari Bag 10..,

“Dalam dan bermakna”…. sahut yang lain pula.

“Bermakna dan indah….” yang lain lagi bicara.

Dan mereka jadinya bicara bergalau. Kemudian galau itu terhenti tatkala sayup sayup terdengar suara bansi. Suara bansi di tengah malam! Bunyi bansi itu lembut mendayu. Mereka saling pandang. Kemudian beberapa orang merebahkan badannya kembali.

Beberapa orang lagi mengikuti berbaring perlahan. Menarik selimut, berkelumun. Namun suara bansi itu tetap mereka dengar. Ada relung hati hati mereka yang terasa teriris pilu bersama suara bansi yang alangkah menghibanya itu.

“Dia merindukan orangtuanya. Saudaranya. Kakaknya, atau siapa saja yang bisa mengenalnya….,’ seorang berkata dari balik kain sarung yang menutupi wajahnya.

Suara bansi itu adalah suara hatinya….

“Alangkah sepinya malam ini. Malam yang gelap di tengah rimba. Namun dirinya ratusan kali lebih sepi dari kesepian rimba ini. Hidup tanpa mengenal apa apa. Bahkan nama dan dirinya sendiri tak dia kenal….,” Datuk Sipasan berkata perlahan, yang lain mendengarkan sementara hati mereka jatuh hiba mendengar suara bansi itu.

Kalau dia memang punya hati pada Nilam, saya amat bersyukur. Nilam baru kehilangan ayah. Kehilangan ibu. Kini dia sebatang kara. Kalau mereka dijodohkan Tuhan, saya yakin mereka akan bahagia.

Nilam akan mendapat perlindungan dari lelaki yang gagah perkasa. Sementara anak muda itu akan menemukan ibu, adik dan saudaranya dalam diri Nilam….,” ujar Datuk itu perlahan.

Malam pun berangkat larut. Tak ada lagi di antara mereka yang bicara, barangkali semua tertidur karena lelah. Tapi barangkali juga tak seorang pun yang bisa memejamkan mata. Salah seorang di antara yang tak bisa memejamkan mata itu adalah Siti Nilam.

Dia berbaring dengan gelisah dalam ruang pedatinya. Suara bansi itu amat menggelisahkan hatinya. Dia tak tahu kenapa dia menangis. Dia tak ingin menangis. Tapi air mata menggabak terus di pipinya.
Dia teringat pada almarhum ibunya. Pada ayahnya yang baru saja meninggal siang tadi. Dia kini sebatang kara. Tak ada famili. Kemana dia harus pergi? Ikut terus dengan rombongan ini? Kemudian mengapa?

Sebagai gadis yang baru saja mekar, dia tahu cukup banyak lelaki yang jatuh hati padanya. Namun dia tak pernah memikirkan lelaki sekalipun. Tak pernah! Tapi tatapan anak muda berbaju putih dan bergiring giring perak itu membuat hatinya berdebar.

Dia berbalik ke kiri, ke kanan. Menghapus air mata. Suara bansi tadi sudah lama lenyap. Yang terdengar hanya suara burung hantu dan desahan air terjun. Desah air itu seperti desah hatinya yang sepi.
Desah hatinya yang sendiri tanpa ayah dan ibu. Dia menghapus air mata. Dia duduk, berdiri dan turun ke tanah. Menghirup udara malam yang alangkah sejuk dan segarnya. Dia melangkah. Di kanannya kelihatan api unggun dimana para lelaki pada berbaring di sekelilingnya.

Dia melangkah ke kiri. Dia ingin menceritakan penderitaan hatinya pada orang lain. Pada perempuan lain. Dia menoleh ke pedati Rahimah yang ada di belakang pedatinya.
Sunyi!

Sudah tidurkah dia? Pasti sudah. Ke sanakah aku? Ah, dia susah tidur. Kenapa harus kuikutsertakan dia ke dalam rusuh hatiku? Dengan fikiran demikian dia melangkah terus.
Dia ingin ke dekat air mancur. Ingin mendengar resahnya air terjun itu. Barangkali keresahan air terjun itu bisa mengalahkan resah hatinya. Bukankah dengan mendengar keresahan lain keresahan kita terasa lebih ringan?

Tapi kenapa bansi itu tak lagi berbunyi? Ah, lebih baik memang dia tak berbunyi. Tapi aku ingin mendengar bunyinya lagi, pikirnya sambil melangkah ke air terjun.

Namun gadis ini tak mengetahui bahwa keinginannya untuk lepas dari kegundahan hatinya itu justru menyeretnya ke dalam bahaya yang mengerikan. Dugaan Datuk Sipasan memang benar, pimpinan penyamun Bukit Tambuntulang itu memang tak mau menyerah begitu saja.

Belum pernah dalam sejarah hidup mereka melepaskan mangsa pergi tanpa upeti. Apalagi rombongan Datuk ini telah mendatangkan celaka pada mereka.

Untuk itu Gampo Bumi mengirimkan empat orang anak buahnya yang tangguh tangguh untuk mengikuti rombongan itu. Mereka jadi gembira rombongan itu justru bermalam dekat air terjun. Hanya mereka jadi kecut melihat anak muda itu tak pernah lepas dari rombongan tersebut.

Mereka menanti di seberang air terjun sana. Menanti saat yang baik untuk membalaskan sakit hati dan dendam. Nyamuk dan kegelapan malam bukanlah hal yang menakutkan bagi mereka. Bahkan harimau dan ular tak bisa menggetarkan mereka.
Mereka sudah terlalu biasa dengan hutan ini. Ini adalah rumah mereka. Mereka mengenal setiap jengkal hutan ini. Karenanya ketika rombongan datuk itu terlena tidur diserang kantuk, nyamuk dan rasa dingin yang menusuk, mereka enak enak saja di dahan kayu mengintai.
Suatu saat salah seorang di antara mereka berbisik.

Sst, lihat itu….

Tiga orang lainnya menoleh. Mereka melihat sesosok tubuh berjalan ke air terjun.
Hei, itu perempuan….
Sst, jangan ribut. Biarkan dia. Ini umpan yang empuk….

Hei, bukankah gadis itu yang gagal dilahap Lelo Cindai siang tadi?

Lelaki yang bernama Lelo Cindai, yang namanya barusan disebut dan yang memimpin rombongan kecil itu mempertajam pandangan. Jakunnya turun naik.

Ya, ya! Dialah gadis itu. Amboi, gadis yang jolong mekar. Susunya sekepelan tangan. Mengkal

Bersambung ke Bag 12..,

Catatan Red: Foto ilustrasi tengah penulis Cerbung ini Makmur Hendrik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *