.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 7

Bagi yang belum baca bag 6 klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 6

Sambungan dari Bag 6..,

Beruk haram jadah! Kucincang tubuh waang…! bentaknya.

Dan dengan sengit dia menerjang maju. Rombongan Datuk Sipasan melihat perlawanannya itu kembali timbul semangat. Meskipun sudah hampir separoh dari rombongan mereka yang mati, tapi kini mereka membalas lagi menyerang. Perkelahian kembali berkobar.

Gampo Bumi menerjang Datuk Sipasan dengan tangan kosong. Terjangan pertama dikibas dengan kelewang oleh datuk itu. Tapi Gampo Bumi memang bukan lawannya. Begitu pedangnya bergerak untuk menghantam kaki Gampo Bumi, kaki itu ditarik amat cepat.

Saat berikutnya kaki kirinya melayang amat cepat. Dan tak ampun, perut Datuk Sipasan kena hantam. Datuk itu tercampak empat depa. Dia muntah darah. Dari barisan belakang terdengar pekik orang meregang nyawa. Salah seorang anggota rombongan datuk itu mati dihujam tombak.

Gampo Bumi mengambil tombak dari anak buahnya.
Waang harus berkubur di sini, beruk! serunya sambil melemparkan tombak itu pada Datuk Sipasan yang jatuh berlutut sambil muntah darah.

Namun saat itu dari batu tadi kembali terdengar bentakan.

Berhenti….!

Suara itu demikian berwibawanya. Menyebabkan semua orang yang tengah berkelahi itu pada berhenti dan tertegak ditempatnya. Tidak hanya itu, orang itu mengibaskan tangannya. Sebuah ranting melayang cepat menyusul tombak yang tengah meluncur ke arah dada Datuk Sipasan.

Sejengkal lagi tombak itu menembus dadanya, tiba tiba ranting tersebut memapahnya di perjalanan. Tombak itu patah dua, dan mental ke dalam semak!

Semula orang menoleh lagi ke batu itu. Semua mereka jadi terkesima. Di batu itu, berdiri kembali anak muda berpakaian putih dan bergiring giring perak tadi!

Mengapa kalian menyebar bencana di sini…? tanyanya dengan suara berbegu pelan.

Gampo Bumi tak dapat menahan berangnya. Meskipun tadi dia melihat kehebatan anak muda ini, tapi sudah puluhan tahun mereka berkuasa di bukit ini tanpa ada yang berani menggangu kedaulatan mereka.

Kini ada saja anak bawang yang berani menyuruh berhenti dan memerintah yang tidak tidak. Bukankah ini suatu yang memalukan dan tak bisa dipediarkan terus?

Hei beruk! Jangan waang terlalu banyak bicara. Waang sangka waang jagoan dengan mengelakkan tombak tombak tadi?

Sehabis berkata begini dia menoleh pada anak buahnya.

Tangkap monyet itu. Bawa dia kemari. Saya akan menyunatnya habis habisan….!

Belum perintahnya habis, empat orang anak buahnya yang bertubuh besar bersenjatakan keris dan golok dengan sorak sorai berlompatan memburu ke atas batu tersebut. Tapi begitu mereka sampai di atas, terdengar anak muda itu membentak.

Mundur…!

Aneh, keempat penyamun itu seperti didorong tenaga raksasa. Mereka terpental bergulingan ke belakang.
Kenapa kalian harus saling bunuh di sini? kembali pertanyaan itu dia ucapkan. Dan kali ini Gampo Bumi menjawab dengan sengit.
Ini kerajaan kami, buyung. Bukit ini dinamakan orang Tambuntulang. Karena kami menyembelih mereka di sini. Nah, kalau waang masih ingin selamat, cepatlah tinggalkan tempat ini….!

Gampo Bumi sebenarnya tidak menggertak. Dia ingin anak muda itu pergi cepat. Sebab melihat makan tangan anak muda ini barusan, hatinya jadi ciut juga. Kalau anak muda ini turun tangan membantu Datuk Sipasan, maka ada harapan mangsa mereka ini bisa lolos.

Tapi anak muda itu tetap tegak di sana. Mukanya yang tenang menatap semua orang. Dan dia melihat beberapa lelaki terkapar mandi darah tak bergerak. Mati!

Teman Bapakkah orang orang yang mati itu…? tanyanya pada Datuk Sipasan, yang masih terduduk dengan mulut berdarah. Datuk Sipasan cepat mengangguk.

Kenapa kalian berbunuhan di sini…?

Mereka merampok kami….
Sinar tajam membersit dari tatapan anak muda berbaju putih yang terbuat dari satin itu. Kembali matanya menatapi seluruh rombongan. Melihat beberapa perempuan. Semua mereka juga menatap padanya.

Perempuan perempuan itu, apakah juga rombongan Bapak…?

Kembali Datuk Sipasan mengangguk. Dan kini, tatapan mata anak muda itu menyapu Gampo Bumi. Kemudian kembali menatap Datuk Sipasan.

Akan kemana Bapak bersama seluruh rombongan ini pergi…?

Bersambung ke bag 8..,

Catatan: Foto ilustrasi diatas penulis cerbung ini Marmur Hendrik (tengah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *