.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” ( Oleh; Makmur Hendrik ) Bag 8

Bagi yang belum baca Bag 7 klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag 7

Sambungan dari Bag 7

Kami akan ke Luhak Tanahdatar. Mungkin juga ke Luhak Agam….

Nah, sekarang berangkatlah selagi hari masih siang….

Datuk Sipasan menatapnya.

Dia ingin tegak, tapi tulang rusuk dan tangannya patah. Kini dia muntah darah, bagaimana dia akan berangkat? Datuk ini menguatkan hati, dia bangkit, lalu menghadap pada teman temannya.

Kuburkan mayat teman teman. Dan bersiaplah untuk berangkat….

Tunggu….!

Yang berseru ini adalah Gampo Bumi. Semua menatapnya. Temasuk juga anak muda itu.

Hei, buyung berbaju putih dan bergiring giring perak, dengarlah! Ini daerah kekuasaan kami, siapa pun yang lewat di sini, harus membayar upeti pada kami. Jika upeti tidak dibayar, nyawa dan hartanya kami ambil. Begitu dilakukan sejak puluhan tahun yang lalu, turun temurun sampai kini….

Dan itu hanya boleh sampai hari ini…. ujar anak muda itu memotong cepat.

Siapa yang membuat aturan itu…?

Saya…!

Gampo Bumi meludah, kemudian tertawa terbahak. Belasan anak buahnya juga ikut tertawa.

Kalau saya tak sayang pada tubuh waang yang kerempeng itu buyung, maka waang sudah saya buat jadi rendang. Bagaimana waang berkhayal bisa memerintah orang orang di Bukit Tambuntulang? He, bagaimana? Apakah waang tersapa atau mimpi?

Anak muda itu tak mengacuhkannya. Dia menghadap dan bicara pada rombongan Datuk Sipasan.
Kuburkanlah teman teman Bapak. Kemudian berangkatlah…!

Hei monyet, waang dengar ucapanku atau tidak?

Waang harus enyah segera dari sini…!

Bentakan Gampo Bumi yang mengguntur itu. Membuat rombongan Datuk Sipasan jadi kecut. Namun anak muda itu kini melangkah menuruni batu besar itu.

Setiap langkahnya menimbulkan bunyi pada giring giring perak di kaki kanannya.

Sekali lagi kau bicara seperti itu kutanggalkan gigimu, ujar anak muda itu perlahan dengan suara yang didengar sangat jelas oleh semua orang.

Bukan main berangnya Gampo Bumi. Seumur hidup, belum pernah ada orang atau setan sekalipun yang berani menghinanya seperti ini. Di depan anak buahnya pula. O, muka pimpinan penyamun ini jadi merah padam dan membengkak seperti orang mau berak.

Giginya berbunyi. Jahanam ini tak boleh dibiarkan hidup. Jelas dia telah mencoreng taik di keningku, bisik hatinya. Dia membaca ajian yang pernah dia pelajari, kemudian didahului oleh sumpah serapahnya, dia maju membuka serangan sambil menyumpah.

Beruk besar… ku….
Ucapannya belum habis ketika sebuah bayangan putih berkelebat. Dan saat berikutnya, Gampo Bumi terpekik. Anak muda itu sudah pindah tempat. Tak seorang pun yang melihat bagaimana dia bergerak.

Gampo Bumi menunduk sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan.
Ketika tangannya dia renggangkan, di telapak tangannya berkumpul empat buah gigi depannya!

Kepung dan mampuskan beruk itu…! suara dan perintah Gampo Bumi mengguntur.

Anak buahnya mengepung anak muda berbaju putih dan bergiring giring perak itu. Dengan tombak teracung dan pedang siap di tangan, mereka mengurung anak muda itu di tengah.

Lingkaran yang mereka buat makin dikecilkan setiap kali mereka melangkah maju.

Anak muda itu masih tetap tegak di tempatnya. Tak bergerak sedikit pun!

Hei beruk, beri tahu siapa nama waang, siapa guru waang, agar bisa mengirim telinga waang pulang atau mengirimkannya ke guru waang yang celaka….

Ucapan ini terhenti lagi ketika tiba tiba bayangan putih melesat ke arahnya dengan kecepatan kilat. Saat berikutnya tubuhnya melayang, dan kini dia berada di tengah lingkaran yang dibuat anak buahnya bersama anak muda itu.

Benar benar merinding bulu tengkuk Gampo Bumi. Tadi dia sedang bicara, jaraknya dengan anak muda itu ada enam depa. Anak muda itu berada di tengah kepungan anak buahnya. Tahu tahu dia merasakan tubuhnya diteteng tanpa dapat melawan sedikit pun.

Ketika sama sama tertegak dalam lingkaran itu, Gampo Bumi mencabut keris di pinggangnya. Selama ini amat jarang dia mencabut keris. Hanya melawan orang orang tangguh saja dia mempergunakannya. Tapi kali ini, dengan bulu tengkuk berjingkrak karena ngeri, dia mencabut senjatanya itu.

Keris itu berlekuk lima berwarna merah. Dan tanpa banyak pikir dia menikamkan keris tersebut pada anak muda yang tegak di kirinya. Anak muda itu mengelak sedikit, saat berikutnya tangannya bergerak, dan terdengar suara berderak dan lolongan Gampo Bumi ketika tangannya disentuh oleh jari tangan anak muda itu.

Lengannyalah yang berderak itu. Patah! Melihat ini, anak buahnya bukannya jadi takut. Malah dengan sebuah bentakan mereka mulai berlari mengitari anak muda itu. Mereka berlari membuat lingkaran.
Pada saat saat tertentu, dua orang dari arah yang berlawanan menyerang ke tengah. Yang satu menusuk dengan tombak, yang satu membabat dengan golok.

Inilah jurus Apik Rotan. Suatu jurus kepungan yang ditakuti kaum pesilat di Minang saat itu. Lawan akan terkurung dan jadi pening dikitari sambil berlari itu.

Jika lawan berniat menangkis serangan kedua orang itu, maka dua orang lainnya segera muncul menyerang pula, dan yang menyerang pertama tadi masuk lagi ke lingkaran sambil berlari mengikuti lingkaran tersebut.

Biasanya pesilat pesilat yang terkurung di tengah tak sampai bertahan empat jurus. Tapi kali ini anak muda itu tak peduli. Dia memegang lengan……,

Bersambung ke bag 9..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *