.

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh Makmur Hendrik) Bag 9

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 8 klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” ( Oleh; Makmur Hendrik ) Bag 8

Sambungan dari bag 8..

Gampo Bumi, kemudian tanpa bicara melemparkannya ke arah lingkaran yang mengepungnya!

Gampo Bumi terpekik. Barisan yang melingkar itu sendiri jadi kacau balau. Mereka tak mau melanjutkan serangan. Sebab bisa mencelakakan pimpinan mereka. Gampo Bumi tercampak di tanah yang berkerikil.

Semua jadi terhenti dan memandang anak muda itu dengan wajah pucat. Melihat kejadian ini, rombongan Datuk Sipasan yang tadi kecut karena kekurangan jumlah orang dan kekurangan kepandaian, kini terbit lagi semangatnya.

Kini mereka mengambil lagi pedang dan keris, dengan bersorak mereka mengejar penyamun penyamun itu. Mereka berteriak membalas dendam teman teman mereka yang telah mati barusan.
Beberapa orang di antara penyamun itu kembali mengadakan perlawanan.
Tapi perhatian mereka terpecah pada anak muda bergiring giring perak itu. Mereka merasa anak muda itu akan ikut nyerang. Ini membuat perhatian mereka tidak tertuju pada serangan.

Dalam waktu singkat, beberapa orang terpekik mandi darah.

Rombongan Datuk Sipasan makin bersemangat. Akhirnya dua orang penyamun menghambur ke dalam semak belukar, dan lenyap melarikan diri. Tindakan ini diikuti oleh beberapa orang lainnya. Akhirnya Gampo Bumi sendiri ikut ambil langkah seribu. Meninggalkan sebelas anak buahnya yang telah jadi mayat.

Awas waang, buyung. Kali ini kami kalah, tapi akan datang saatnya nanti, guru kami Harimau Tambuntulang akan mengupakkan seluruh tulang belulang waang. Dan itu pasti takkan lama. Waang akan kami buru, meski ke ujung dunia sekalipun….!

Ucapan ini dilontarkan oleh Gampo Bumi begitu dia akan meloncat melarikan diri ke dalam palunan belukar di kaki Bukit Tambuntulang itu.

Rombongan Datuk Sipasan bersorak gembira.
Mereka ramai ramai mendekati anak muda itu. Dan ketika mereka tegak mengelilingi, baru jelas bagi mereka, betapa masih mudanya dia. Paling banyak baru berumur 24 tahun. Bertubuh agak kurus. Semampai dan tampan serta berkulit kuning bersih.
Tak ada tanda tanda bahwa dia seorang pesilat, apalagi memiliki ilmu tinggi yang sanggup mengalahkan murid Harimau Tambuntulang. Datuk Sipasan maju ke depan.

Terima kasin anak muda. Engkau telah menyelamatkan nyawa kami semua. Tak tahu bagaimana cara membalas budi yang telah kami terima ini. Hanya Tuhan yang akan membalasnya….

Tak usah dipikirkan hal itu. Apakah tak lebih baik menguburkan teman teman yang meninggal?

Semuanya jadi sadar. Mereka lalu ramai ramai menggali lubang besar. Ada sembilan orang yang meninggal. Semua mereka dikuburkan dalam sebuah lobang bersamaan. Ketika mereka selesai menguburkan mayat mayat itu, hari telah senja.

Tak jauh dari sini, ada air terjun Batang Anai. Barangkali lebih baik kita bermalam dekat air terjun itu sambil bertanak. Anak muda, kami mengundang Anda untuk makan bersama malam ini. Jangan menolak, kami punya bekal cukup banyak. Dendeng daging rusa, dan palai rinuak. Marilah kita ke sana….

Ucapan Datuk Sipasan ini disambut dengan gembira oleh semua anggota rombongan. Mereka mengagumi anak muda itu. Mereka ingin mengenalnya. Dan mereka juga berfikir, alangkah baiknya kalau anak muda ini bisa melanjutkan perjalanan bersama mereka ke Luhak Tanahdatar.
Lagi pula mereka belum mengenal siapa namanya, dari mana dia dan dimana perguruannya. Anak muda itu tak menolak. Rombongan itu dengan bernyanyi gembira lalu melanjutkan perjalanan. Tak sampai dua jam, rombongan itu tiba di bawah air terjun di danau kecil yang amat indah.

Tempat itu tak berapa jauh dari Bukit Tambuntulang. Bahaya serangan mendadak dari penyamun penyamun tadi bukannya tak mungkin. Tapi dengan adanya anak muda tangguh ini, mereka yakin penyamun itu takkan berani menampakkan batang hidung.

Anak muda itu ternyata juga mahir dalam obat obatan. Tangan dan rusuk Datuk Sipasan yang patah dia obat dengan ramuan daun daunan yang dia ambil di sekitar air terjun tersebut. Obat itu mendatangkan rasa nyaman dan melegakan pernafasan Datuk tersebut. Ngilu dan nyerinya lenyap sama sekali.
Pengobatan itu dia lakukan setelah selesai makan. Mereka semua berkumpul mengitari api unggun besar yang dibuat tak jauh dari air terjun. Lelaki, perempuan, tua muda berkumpul ingin melihat dan mendengar cerita anak muda yang telah menyelamatkan nyawa mereka itu.

Beberapa orang yang luka juga diobati. Sama keadaannya dengan Datuk Sipasan, luka mereka terasa banyak sekali angsurannya.

Obat apa namanya ini…? tanya Datuk Sipasan.

Inilah pengobatan asli sejak nenek moyang kita. Segala obat yang dibuat berasal dari daun daun dan akar akar serta getah tumbuh tumbuhan….

Dan malam itu rombongan penduduk yang pindah dari Pariaman ke Luhak Tanahdatar itu mendapat pelajaran yang amat bermanfaat. Yaitu belajar meramu obat obatan. Mereka sibuk mencari akar kayu daun tumbuh tumbuhan yang ditunjukkan contohnya oleh anak muda itu.

Dengan diterangi api unggun mereka membuat obat obatan. Menjelang tengah malam, tak seorang pun yang berniat untuk tidur. Datuk Sipasan mengerti apa yang diingini oleh rombongannya.
Ketika mereka duduk sambil menghirup kopi yang dijerang oleh Siti Nilam, gadis berusia 17 tahun yang ayahnya mati di Bukit Tambuntulang tadi, yang dirinya hampir pula dinistai penyamun, datuk itu membuka pembicaraan dengan hati hati.

Maaf, sampai saat ini kami belum tahu harus memanggil apa pada engkau anak muda. Maksud saya, kami belum tahu siapa namamu, dimana kampungmu dan akan kemana engkau sebenarnya.
Sementara tentang diri kami semua, rasanya sudah tak ada lagi yang harus diceritakan….

Anak muda itu tak segera menjawab. Dia memandang ke arah air terjun di Lembah Anai itu. Lambat lambat menanggalkan giring giring perak di kaki kanannya.

Masih ingat pertanyaan saya tadi… ketika masih di Bukit Tambuntulang? dia berkata perlahan.

Ya, saya masih ingat. Engkau menanyakan kalau kalau ada di antara kami yang mengenal giring giring ini, jawab Datuk Sipasan.

Anggota rombongan yang lain pada menggeser duduknya mendekat. Anak muda itu menarik nafas panjang. Matanya menghadap lurus ke depan. Di depannya justru duduk Siti Nilam di samping seorang perempuan lain. Tanpa disadari, mereka bertatapan cukup lama.

Akhirnya Nilamlah yang menundukkan mukanya yang bersemu merah dalam cahaya api unggun.

Siapa nama saya, darimana saya datang, itu yang selalu ditanyakan orang…. anak muda itu….

Bersambung ke Bag 10..

Catatan Redaksi: Foto yang kami tayangkan bersama bag 9 adalah Foto Makmur Hendrik pengarang cerbung ini bersama mantan pomlenya (pacarnya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *